02

1195 Words
Sekolah begitu sepi di pagi hari dengan hawa dingin yang menyeruak. Leon merapatkan jaket setelah berhasil memarkirkan motornya. Ia berjalan lenggang dengan sesekali bersenandung menggambarkan hatinya yang sedang berbunga. Datang pagi-pagi membuat ia jadi leluasa untuk berjalan santai menyusuri koridor. Ia memang sudah terbiasa berangkat sangat pagi sejak sekolah dasar. Karena cowok itu tidak ingin melihat adegan di mana teman-temannya berpamitan usai diantar oleh orang tua mereka. Itu juga salah satu alasan, ia sering pulang paling akhir setiap harinya. Karena Leon iri setiap melihat adegan itu. Jam di ponselnya masih menunjukkan pukul enam pagi. Bahkan Pak Dio masih belum selesai menyapu halaman belakang sekolah. Cowok itu berjalan dengan langkah pasti menuju tempat favoritnya saat datang pagi-pagi begini. Tentu saja perpustakaan sekolah. Perlahan ia memasuki ruangan dengan aroma buku yang khas itu. Mengisi daftar pengunjung lalu melenggang masuk menuju lorong buku sejarah yang berada di paling ujung. Mengambil satu buku dengan asal kemudian merebahkan tubuhnya pada bangku panjang yang tersedia di sana. Tidak akan ada yang mengganggunya di sini. Ia mencoba memejamkan matanya. Biasanya hanya dengan menghirup aroma buku saja ia sudah bisa memasuki dunia mimpi. Namun, kali ini ia tak juga dapat memejamkan matanya. Bahkan semalaman ia tidur hanya sebentar saja. Semua ini gara-gara seorang gadis yang baru ditemuinya kemarin siang. Gadis mungil berparas cantik yang telah mencuri perhatiannya. Rupanya gadis itu menyimpan banyak kepedihan dalam hatinya. Kemarin, usai membuat gadis itu menangis, Leon mengajaknya berjalan tanpa tujuan. Ia hanya ingin menenangkan gadis yang ia ketahui bernama Danessa Aulia Putri. Leon melihat rerumputan dengan pohon rindang yang berdiri kokoh di dekat perlintasan kereta api. Lantas ia menarik tangan Danessa untuk ke sana. Keduanya hanya diam duduk di atas batu besar di bawah pohon rindang. Menikmati setiap embusan angin yang menerpa wajah mereka. Rasa canggung menyelimuti keduanya, mengingat mereka baru saja bertemu beberapa saat lalu dengan cara yang tidak tepat. "Masih belum mau cerita?" tanya Leon singkat. Karena sejak tadi ia bingung harus mengatakan apa. Ia hanya ingin mendengar perasaan Danessa saat ini. Apa yang membuatnya sampai melakukan pencurian itu. Danessa masih diam menunduk menutupi mata sembabnya. Ia bingung harus mengatakan apa. Dalam hatinya ingin sekali bercerita, tetapi ia takut. Ia juga malu harus mengungkapkan permasalahannya pada orang lain. "Gini deh ... lo ‘kan, nggak kenal gue. Lo bahkan nggak tahu gue siapa. Lo nggak perlu sebut nama, cukup ceritain aja apa yang jadi beban hidup lo supaya perasaan lo lega. Setelah itu, anggap kita nggak pernah ketemu. Dengan begitu, lo nggak perlu takut gue bakal macem-macem, nyebarin cerita lo, atau apapun itu. Deal?" Danessa mulai mengangkat kepala. Ia menatap mata tajam Leon yang menanti jawabannya. Mata sembabnya mulai memancarkan kepercayaan pada cowok di hadapannya. Ia mengangguk perlahan sebagai respons. "Janji setelah ini kita pura-pura nggak kenal?" ujarnya dengan mengacungkan jari kelingking di hadapan Leon. Cowok itu terkekeh mendengarnya, membuat gadis itu kembali cemberut. "Lo bahkan nggak tahu nama gue, siapa yang bilang kita saling kenal?" ucapnya dengan senyuman meledek. Danessa mencebik mendengarnya. Namun, ia mengangguk membenarkan. "Jadi, alasan lo nyuri adalah?" Leon mengulang pertanyaannya. Danessa merengut tidak suka. "Bisa nggak sih, jangan sebut nyuri!" Leon terbahak, ia merasa gemas sekali dengan gadis di hadapannya ini. "Lah, terus apa dong? Ngambil tanpa bayar gitu?" "Nggak gitu! Ya udah gue nggak jadi cerita!" Danessa mulai merajuk dan hendak beranjak dari sana. Namun, tangan Leon dengan cepat mencekal pergelangannya. "Iya, maaf. Jadi, lo ada masalah apa?" tanyanya kali ini dengan nada lembut juga tatapan seriusnya. Membuat jantung Danessa mendadak berdetak tak beraturan. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya. "G-gue ... gue cuma mau Papa perhatian. Seenggaknya kalau gue ketahuan nyuri, Papa pasti akan datang, kan, buat bebasin gue?" Danessa berujar lirih tanpa mau menatap Leon. Cowok itu tengah melongo di tempatnya dengan mata yang mengerjap pelan. Ia tidak menyangka, jika alasan Danessa melakukan itu sangatlah klise seperti kisah-kisah yang biasa ia tonton dalam film remaja yang membosankan. Namun, ia tidak pernah berharap dapat bertemu langsung dengan kisah semacam ini dalam hidupnya. Ia kembali teringat dengan foto yang ia temukan dalam dompet cewek itu. Terlihat sekali raut bahagia pada setiap wajah dalam potret keluarga itu. Lalu, mengapa Danessa masih membutuhkan perhatian semacam ini? "Kalau emang lo mau ketangkep dan dibebasin sama bokap lo, kenapa lo malah kabur pas gue mau laporin lo?" tanyanya tenang. Ia mencoba terlihat santai dan tidak terkejut sama sekali. "Nggak tahu. Tiba-tiba aja gue takut dan jantung gue deg-degan banget waktu lo pegang tangan gue. Jadi gue milih buat kabur dari lo," jawab Danessa jujur. "So, it's your first time?" tanya Leon lagi dan hanya dijawab anggukan oleh Danessa. Tiba-tiba saja suara dering bel masuk membuyarkan lamunan Leon tentang Danessa. Gadis belia yang baru ditemuinya kemarin siang. Leon tersenyum samar lalu bangun dari posisinya. Ia mengembalikan buku yang ia pegang, lalu menggendong tasnya kemudian berlalu menuju kelas. Ia harus belajar.   ***   Murid-murid tampak tenang ketika guru mata pelajaran memasuki ruang kelas. Tangan mereka bergerak kompak mengeluarkan buku pelajaran tanpa diminta. Hari ini pelajaran kesenian, dan Pak Jimmy—sebagai guru yang mengajar mata pelajaran itu memberikan tugas kelompok sebagai pekerjaan rumah mereka. Usai Pak Jimmy mengakhiri kelas, beberapa murid tampak berkumpul sesuai dengan teman kelompok masing-masing. Mereka membicarakan tugas yang harus dikerjakan lalu membagi bagian masing-masing, terkecuali Leon. Cowok itu hanya diam meletakkan kepalanya pada meja belajar tanpa peduli kebisingan kelasnya. Ia baru saja akan memejamkan mata. Namun, suara tangan yang menggebrak mejanya membuat ia berjengit dan terbangun seketika. Leon menatap si pemilik tangan dengan wajah datar. Itu Widy, yang kalau cowok itu tidak salah lihat, namanya tertulis di bawah nama Leon sebagai anggota kelompok dua. Cewek itu menatap Leon dengan raut kesal yang terlihat malas harus berhadapan dengan cowok super aneh di kelasnya ini. "Lo nggak lihat tuh, nama lo tertulis buat tugas kelompok?" tanya Widy ketus. "Lihat," jawab Leon singkat. Ia masih menatap Widy—dengan kepala yang setia menempel pada meja belajar—yang kini tengah menghela napas jengah menghadapi Leon. "Kita semua udah sepakat, pulang sekolah nanti kita kerjain di rumah lo." Widy berujar tegas dengan tangan yang dilipat di d**a. Leon memutar bola matanya, "Gue nggak bisa." Cowok itu kini menegakkan badannya. "Ya udah kalau gitu besok," ucap Widy lagi. "Besok juga nggak bisa." Leon menjawab singkat masih dengan tatapan tajamnya mengarah pada Widy. "Ya udah besoknya lagi, atau hari minggu, atau lo—" belum sempat Widy melanjutkan ocehannya, Leon lebih dulu menyela, "Kenapa harus di rumah gue, sih?" "Ya karena cuma lo, Le! Rumah Ikbal nggak bisa, ada pengajian. Rumah Aulia ada anak bayi, jadi nggak boleh berisik. Rumah gue sempit, nggak bisa muat banyak orang. Satu-satunya harapan ya rumah lo doang," jelas Widy panjang lebar membuat Leon jengah. "Kita kerjain di luar aja. Di kafe gitu?" usul Leon. "Nggak bisa. Lagian gue nggak ada duit buat jajan ke kafe. Emang kenapa sih, kalau di rumah lo?" Widy masih penasaran karena cowok itu tidak pernah mengizinkan siapa pun mengetahui di mana rumahnya. "Di mana aja terserah, pokoknya jangan ke rumah gue. Mau di kafe juga nggak apa-apa, gue yang bayar." Mendengar itu mata Widy seketika berbinar. "Serius lo boleh di mana aja? Di kafe mana aja? Starbucks boleh?" tanyanya dengan senyum merekah. Leon memutar bola matanya, "Nggak tahu diri lo!"   Tbc ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD