03

1030 Words
Suasana kafe yang hangat dan nyaman membuat beberapa pelajar itu tampak tenang. Mereka terlihat fokus mengerjakan tugas masing-masing. Guru kesenian di kelas meminta murid-muridnya membuat prakarya menggunakan barang tak terpakai. Sesuai yang telah diatur di kelas, kelompok yang terdiri dari empat orang itu berencana membuat sebuah lampu hias dengan bahan botol plastik bekas. Di sinilah mereka sekarang. Berkumpul di meja kafe dan sibuk dengan tugas masing-masing yang telah dibagi sebelumnya. Leon tengah sibuk memotong botol minuman soda berukuran besar, sesuai pola yang teman-temannya buat. Cowok itu tidak banyak berbicara sejak kedatangannya, lebih banyak mengerjakan tugas yang telah dibagi oleh teman-temannya. Ia memilih fokus pada pekerjaannya, sementara temannya yang lain sibuk berbincang tentang berbagai hal. Tiba-tiba suara dering ponsel milik Widy menghentikan aktifitas empat orang di meja itu. "Halo," ucap gadis dengan rambut panjang yang tergerai itu menjawab panggilan. Keadaan sempat hening sesaat, lalu Widy kembali menyahuti suara di balik ponsel pintarnya, "Iya, Ma. Ini Widy lagi ngerjain tugas di luar, sebentar lagi pulang, kok." Kemudian gadis enam belas tahun itu memutuskan panggilan setelah memastikan seseorang di seberang sana selesai berbicara, lalu kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Ia menghela napas, "Uh, Mama gue selalu ribet benget deh, kalau gue pulang sekolahnya telat. Pasti neleponin terus," keluh Widy sambil melanjutkan aktifitasnya menggunting stiker bunga-bunga. Aulia yang duduk di sampingnya turut menyahuti, "Kalau gue sih, pasti bilang dulu kalau mau pulang telat. Jadi Mama gue nggak perlu neleponin terus." Widy terlihat manyun. “Gue juga udah bilang, Li, cuma memang Mama gue suka berlebihan aja orangnya.”’ Ia berujar sambil mengerucutkan bibirnya, kesal. Gadis itu merasa malu karena sudah besar, masih saja diteleponi oleh orang tuanya. Ikbal yang sejak tadi hanya menyimak obrolan dua gadis itu, kini mengangguk di hadapannya. "Ya wajarlah orang tua begitu. Apalagi kalian kan, perempuan. Gue yang cowok aja, kalau pulangnya kemaleman langsung di-spam chat sama nyokap, kok." Leon yang duduk di samping Ikbal tidak memberikan respons apa-apa. Cowok itu berusaha tetap fokus dengan pekerjaannya. Namun, diam-diam ia mengecek ponselnya. Membuka menu pesan, tetapi tidak ada satu pun pesan masuk yang terlihat dari benda pintar itu, apalagi dari orang yang ia harapkan. Ya ngapain juga dia nyariin gue, emang gue siapanya? Ia segera memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Kembali menyelesaikan tugas memotong botol kemasan yang sedikit lagi selesai. Cowok itu berusaha menyingkirkan segala harapan yang terbangun di dalam pikirannya tentang sesuatu yang tidak bisa ia miliki. Mencoba untuk ikhlas menerima takdir atas ketetapan Tuhan yang diberikan pada kehidupannya. Beberapa saat telah berlalu. Kini pekerjaan Leon memotong botol sudah selesai.  Kemudian ia meletakkan hasil pekerjaannya di atas meja. "Gue mau balik," ucapnya tiba-tiba. Sontak ketiga orang di sana menatap cowok itu dengan kompak. Mereka memasang wajah bingung karena sejak tadi Leon hanya diam tidak mau ikut nimbrung obrolan mereka, dan sekarang tiba-tiba memutuskan pergi begitu saja. Widy berusaha mencegah, "Tapi, Le, ini belum selesai." Gadis itu menunjuk beberapa pekerjaan yang masih berserakan di atas meja. "Biar gue aja yang kerjain. Waktunya satu minggu, kan? Udah, ini gue bawa aja." Ia membereskan barang-barang di atas meja yang semakin membuat ketiga temannya bingung. "Nggak bisa gitu dong, Le. Ini kan, tugas kelompok. Ya harusnya kita ngerjain bareng-bareng." Ikbal berusaha menghentikan Leon yang terus memasukan peralatan tugas mereka ke dalam tas. Sementara Leon tidak mempedulikan, dengan masih terus memberskan pekerjaan mereka. "Ini kita udah ngerjain bareng-bareng, kan? Biar sisanya gue aja, gue harus buru-buru pulang." Leon ngeyel mengakhiri kerja kelompok hari ini. "Lo mau ke mana, sih? Kalau hari ini lo sibuk, besok kita bisa kerjain lagi, kok. Atau kita ke rumah lo juga boleh," sahut Aulia, mencoba meyakinkan Leon. Cowok dengan rambut kecokelatan itu menghela napas panjang. Ia sadar jika terus seperti ini, teman-temannya akan menganggapnya anak yang egois, ia tidak boleh seperti itu. Teman-temannya butuh nilai, dan mereka harus ikut andil dalam proses pembuatan prakarya untuk presentasi mereka nantinya. "Sorry ... ya udah besok kita kerjain lagi. Kalau mau di kafe lagi nggak apa-apa, tapi jangan di rumah gue." Akhirnya Leon mengalah. Ia harus memikirkan orang lain juga dalam kehidupannya. Meski ia sedikit kurang nyaman ketika teman-temannya membicarakan tentang keluarga mereka, terutama ibu. Ia merasa iri karena belum pernah dikhawatirkan seperti teman-temannya yang lain. "Nggak usah, besok di rumah gue aja. Kan, pengajiannya udah selesai hari ini, jadi besok pasti bisa kerjain di rumah gue," usul Ikbal dan langsung disetujui oleh Widy dan Aulia. Leon diam sesaat, tampak berpikir, kemudian mengangguk setuju. "Ya udah, hari ini sampai sini aja ya, ngerjainnya."   ***   Hari sudah menjelang sore. Rumah mewah bergaya modern itu terlihat sepi, karena memang tidak banyak yang menghuni. Leon memasuki rumahnya dengan kepala tertunduk. Ia tidak ingin berbicara dengan siapa pun hari ini. Perasaannya sedang tidak baik. Saat ini yang cowok itu butuhkan hanya tidur di kamar tanpa ada gangguan. Namun, satu sapaan dari seseorang menghentikan langkahnya. "Baru pulang, Le? Udah makan belum? Mau Mama siapin makanan?" Suara lembut seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya hampir menginjak lima puluh tahun itu menyapa pendengaran Leon. Ia tercekat mendengar suara perempuan setengah baya yang berdiri di belakangnya. Perlahan, cowok itu berbalik untuk menatap perempuan yang menyapanya barusan. Netranya langsung disambut dengan senyuman hangat dari wajah cantik milik wanita itu. Leon tersenyum samar, "Boleh, Ma. Leon laper, belum makan." Hilang sudah semua rasa lelah dan perasaan berkecamuk dalam pikirannya. Hatinya menghangat menerima perhatian tulus dari seorang perempuan yang ia panggil mama. Sontak perempuan cantik itu tersenyum lembut. Ia mengangguk lalu berkata, "Tunggu sebentar, ya? Kamu bisa ganti baju dulu, biar Mama siapin makanan buat kamu." Usai mengatakannya, perempuan itu segera berbalik menuju dapur. Sepertinya menyiapkan makanan, sesuai yang ia tawarkan pada pemuda itu. Entahlah, karena Leon sudah tidak dapat melihatnya lagi. Kini putra dari Dewangga Askara itu hanya mematung di tempatnya. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Batinnya terus berteriak menginginkan perhatian lebih dari wanita itu. Namun, logikanya berkata untuk tidak egois. Ia tidak berhak diperlakukan seperti itu. Apa boleh gue ngerasain kebahagiaan ini? Apa gue terlalu egois untuk dapetin apa yang gue mau? Gue bahkan nggak pernah minta dia dateng ke kehidupan gue. Ia hanya bisa menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala untuk menghilangkan segala pikiran aneh yang berkecamuk dalam kepalanya. Kemudian bergegas menuju kamar untuk mengganti baju sesuai permintaan sang Mama. Iya, Mama. Begitu ia diminta untuk memanggil wanita itu. Setidaknya ia harus menjadi anak yang baik selagi ia diberikan kesempatan untuk menikmati kasih sayang semacam ini.   Tbc ...    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD