1. Mimpi

1196 Words
"DEE!! AWASSS!!" WUSH! BHAM "Dee! Pegangan Dee!!" BHAKK!! "AAAHHHH!!" "...Dee, aku mencintaimu...." Keringat dingin. Nafasnya tersengal. Matanya membelalak. Selimut dan sprei yang sudah tak karuan. "Dee?! Kenapa lo? Mimpi lagi? Iya?" Darrel yang kaget langsung menghambur ke arah Dee. Membawanya ke pelukan. "Ssstt... Calm down, ok?" dia mengusap kepala hingga punggung adik semata wayangnya itu. Dee hanya diam memaku. Tak ada airmata. Dee sangat syok. Dee akan seperti ini ditiap malam saat mendapatkan mimpinya. Mimpi yang sama. Mimpi yang menghantuinya sejak tiga bulan lalu. Darrel mengambil ponsel dari saku jaketnya. Untunglah dia baru pulang dan belum masuk kamar saat dia mendengar erangan Dee. "Jun, besok bisa pulang?" Dee menoleh lalu menggeleng. "Nggak, Rel. Juna lagi sibuk. Jangan ganggu dia. Biarin aja," kata Dee sambil mengguncang lengan kakaknya. "Iya. Ya udah sih, nggak pa-pa. Lo lanjut aja. Lo mo ngomong?" Darrel memberikan ponselnya pada Dee. "Ha-hallo..." "Kamu nggak pa-pa kan? Obatnya nggak lupa diminum?" "Nggak, Jun. Aku nggak pa-pa kok. Sori ya ganggu." Dee menunduk. Darrel mengusak rambut Dee. "Nggak usah kuatir. Ada Darrel ini," "Aku bakal cepet pulang..." Dee mengangguk, seolah Juna bisa melihatnya. "Ya, hati-hati...." Dee memutus sambungannya. Lalu diam. "Kenapa lo nelpon dia, Rel? Orang lagi sibuk juga..." sungut Dee kesal. "Lo butuh dia. Lagian dia kan suami lo," sahut Darrel. Dee menggeleng,"Lain kali kalo gue kayak gini, nggak usah lo nelponin Juna." "Apa salahnya sih?" "Pokoknya jangan!" "Iya, iya... Bawel!" "Iya, iya! Tapi nggak pernah lo turuti," sergah Dee. Cemberut. Darrel terkikik. Merasa geli dengan tingkah adiknya. "Emh...Dee, lo belum isi juga?" tanya Darrel. "Hng?" "Si Juna atau lo yang belum berani gituan?" sambung Darrel lagi. "Apaan sih? Nggak mutu banget." Wajahnya memerah hingga telinga saking malunya Darrel membahas hal yang sebenarnya tak pernah mereka lakukan. Dee paling tak suka kalo ada anggota keluarganya ngebahas hal sesensitif itu. Tak nyaman. Jengah. Plus malu. Ya, karena setengah tahun pernikahannya dengan lelaki bernama Arjuna Arzea. Mereka belum dapat tanda-tanda bakal ada kabar menggembirakan bagi keluarga besar Damanik dan Ananta itu. Cikal bakal penerus dua keluarga bonafid tersebut. Darrel kembali mengusak rambut adiknya, sambil tersenyum. "Jangan terlalu dipikirin. Mungkin lo-nya yang mesti agresif, lo yang harus nyosor duluan, Dee." ungkapnya sambil terkekeh. Kontan Darrel dapet pukulan bertubi dari Dee. "Lo pikir gue soang apa? Suruh nyosor duluan?! p***n, iya?! Ihhh! Amit-amit jabang baby gue!!" amuk Dee. Diantara amukan sang adik, Darrel menerbitkan senyum khasnya. Dia senang Dee sudah melupakan mimpinya tadi. Ah, syukurlah.... "Lo mimpi serem lagi pasti karena lo belum makan. Gue bawa ayam geprek rica-rica kesukaan lo tuh," kata Darrel. "Lo emang abis darimana, Rel? Nge-date?" tanya Dee sambil mendorong bahu Darrel keluar kamar. Darrel cuma menggendikan bahunya, "Nganterin Liz." "Sumpeh lo? Sejak kapan lo peduli sama Liz? Bukannya kalian musuh bebuyutan ya?" cecar Dee heran. Karena seingatnya Darrel dan Liz itu seperti bumi dan langit. Seperti matahari dan bulan. Seperti anjing dan kucing. Tak ada istilah sinkron ataupun akur dalam hubungan mereka. "Yaelah Dee, orang bisa aja berubah kaliii... Masak berantem mulu sih, nggak bosen apa?" Dee melongo. Ini beneran kakaknya yang 99% super duper juteknya minta ampun itu? Apa iya bisa berubah drastis? Trus bisa bilang bosen berantem sama makhluk bernama Liz?! Dee menggeleng keras. Itu tak mungkin! Atau.... "Jangan bilang lo jadi suka sama Liz?!" sergap Dee. "Gue? Suka Liz? Nggak salah lo doain gue, abang lo, heh?" Darrel menyibak rambut gondrongnya lalu mengikatnya. Jangan protes soal rambut gondrongnya itu, bisa habis dipelintir kupingnya nanti. "Y-ya... kali aja. Pan lo sendiri yang bilang barusan, 'iring bisi biribih kilii... misik birintim mili, nggik bisin ipi?' Itu bacot lo. Lupa?" Dee merotasi bola matanya. Darrel mendengus,"Ya maksudnya bukan berarti gue suka sama londo kampungan itu dong. Turun derajat harga diri gue!" "Pfftt.... bwahahaha.... Adeuhhh, sesama londo jangan saling ngehujat. Pamali," Dee memegangi perutnya yang serasa dikoyak saking gelinya sama ulah sang kakak. Ya, mereka ada keturunan Belanda dari sang Bunda, Ivo. Rambut Dee hitam legam turunan dari sang Ayah, namun mata indah berwarna keabuan milik keturunan sang kakek, Mr. Alfred Schmidt. Lain halnya dengan Darrel yang memiliki keduanya. Rambutnya coklat gelap dengan mata keabuan. Ivo bilang, Darrel mirip sang kakek sewaktu muda dulu. Sayang, mereka belum sempat bertemu kakek neneknya di Belanda sana, karena keduanya telah lama meninggal dunia. "Ketawa aja terus! Ngompol ntar malem lo!" Darrel ngambil piring dari dapur dan menyimpannya di depan Dee. "Ogah, pake ini aja. Males cuci piring gue," tolak Dee. "Heish! Bener-bener lo, pantes aja si Juna males ngadepin lo. Modelan kayak gini, apa-apa males." cebik Darrel. "Lo itu sebagai seorang istri udah kudu hapal, apa gimana maunya suami. Makanan favoritnya, cuciin bajunya, bikinin sarapan, trus--" "Ceramah mulu! Gue tahuuuu... Darreeelll! Apa sih yang nggak gue tahu tentang Juna?!" balas Dee, bibirnya monyong gitu saking kesel sama lelaki di depannya ini. "Juna dulu sama Juna sekarang beda, Dee. Coba lo sebutin apa aja kesukaan Juna? Apa lo tahu dia bangun jam berapa?" Darrel mandangin adiknya. Darrel sebenarnya ingin ngomong sesuatu tapi mengingat kesehatan adiknya itu. Dia selalu terhenti dan terhenti. Tak tega. "Tahu. Yang pasti dia bangun lebih pagi dari gue. Subuh buta kali. Juna suka anime Jepang, sama kayak gue. Hum... Juna suka kerupuk melinjo, sayur sop buatan Bunda. Gehunya mang Pandi. Trus...--" "Itu mah jaman lo-lo masih pada bau iler! Hh... berarti lo emang lupa, belum inget." dengkusnya. Dee diam. Dia bingung. Iya ya, kenapa dia merasa kalo ingetannya cuma stuck sampai di memori saat mereka masih sekolah dulu. Ada point yang terlewat. Ada puzzle yang hilang. Tapi apa? Darrel mengusap kepala Dee. "Sori, gue cuma pengen lo cepet sembuh dan inget semua..." lirih Darrel. "Walau gue tahu resikonya nggak bakal bagus buat kesehatan lo. Tapi sebenernya menurut gue, lo berhak tahu segalanya. Sayang, gue nggak punya wewenang lebih ke ranah itu," Dee menatap jauh wajah kakaknya yang berubah sendu. "Lo tahu sesuatu kan, Rel? Ini ada hubungannya sama kecelakaan lalu lintas yang Papa ceritain kan?" tanyanya. "Gue tahu. Tapi, gue nggak boleh kasih tahu lo. Lo bisa aja jadi amnesia akut. Permanen. Dan gue nggak mau itu," jawab Darrel. Dee mengangguk, paham. Papanya pernah menceritakan bahwa ia dan Juna mengalami kecelakaan. Dan akibat kecelakaan itu sebagian ingatan Dee hilang. Sering Dee ingin bertanya akan hal itu lebih spesifik lagi, tapi Juna maupun Papanya tak pernah memberi kesempatan. Walaupun kata-kata Darrel kasar, mereka sering ribut, mereka saling ejek atau ngehujat, tapi Dee tahu sekali, kalau kakaknya itu lebih menyayangi dirinya dari pada dirinya sendiri. "Trus, gue mesti gimana?" "Cowok dalam mimpi gue, selalu bilang,'aku mencintaimu'. Cowok itu ganteng, posturnya tinggi, semanis apa pun awal mimpi gue bareng dia, pasti akhirnya jadi mimpi buruk. Berakhir dengan tabrakan kenceng banget. Ngeri gue Rel," Dee bergidik. Terbayang tetesan darah dari wajah cowok dalam mimpinya. Dee memejam takut. "Dan gue manggil dia Arres." Darrel tercekat. Ini suatu kemajuan menurutnya. Mimpi itu satu persatu menggiring ingatan Dee. Bukan tanpa alasan Darrel ingin Dee segera mengingat segalanya. Dia kasihan pada adiknya itu, dia takut saat Dee mengingat semuanya, kehancuran nyata di masa depan adiknya itu. Efek hipnoterapi beberapa tahun lalu mulai meluntur rupanya. Atau mungkin kinerja otak akan memori adiknya mulai membaik? Semua tetap berujung dan bermuara pada satu titik. Arjuna. Seketika Darrel mengeratkan rahangnya. Juna, kenapa lo terlibat? *** tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD