2. Debar

1225 Words
. DEE mengendap-endap di balik pintu ruang kerja Papanya. Dari kamar terdengar gelegar kemarahan sang Papa. Entah siapa yang kena amukan papanya kali ini. Dan entah apa pasalnya. Saat ini Dee ingin mencari tahu. Setahunya, Papanya itu sangat lembut hati. Berbeda dengan sang ibunda yang cerewetnya level dewa. "Sekali lagi kamu coba-coba memberitahu adikmu atau bahkan memberi petunjuk sekecil apapun, Papa benar-benar akan mengusirmu!" gelegar suara dari dalam ruangan itu. Dee melotot. Jadi, Papanya sedang memarahi Darrel? Memberitahu apa? Dee tampak berpikir keras. Seingatnya Darrel tak memberitahu apa pun itu padanya. Tentang apa? "Pa, tapi kita nggak mungkin terus-menerus menutupinya. Kasian Dee, kalau dia tahu--" bantah Darrel. "Papa belum siap Rel, untuk kehilangan Dee. Papa akan mempertaruhkan segalanya. Apapun itu," sela Damanik cepat. "Pa..." "Cukup Darrel! Papa mohon padamu. Papa lakukan ini untuk adikmu juga," potong Damanik lagi. Dee menegang dibalik pintu. Semua teka-teki ini membuat Dee pusing. Siapa lelaki itu? Siapa Arres? Wajahnya familiar. Tapi Dee tak dapat mengingatnya sama sekali. Bahkan sampai frustasi! Mengingat kembali mimpi di malam-malam lalu. Ya, bahkan mereka bermain ayunan di ayunan ini. Dee meneguk salivanya pahit. Dia menatap space kosong di sebelahnya. Dalam mimpinya cowok itu menatap penuh cinta padanya. Lama Dee tertegun, menikmati slide demi slide dalam ingatan tentang mimpinya. ~"Nggak banget sih masak honeymoon ke puncak? Emoh! Yang jauhan dikit, kenapa?" rengek Dee. "Oke, kamu pengen kemana? Paris? Roma? Yunani?" "Nggak usah ke luar negeri. Kemping di Randu Kumolo?"~ Dee menggeleng. Kata honeymoon dan Randu Kumolo di ingatnya baik-baik. Nanti akan ia tulis dalam diarynya. Sekarang, dia mulai rajin mencatat apapun yang tiba-tiba ia ingat. Sungguh, Dee kesal dengan ingatannya yang lemot seperti siput. Pandangannya kosong. Menerawang. Mencoba mengingat sebentuk jejak siluet yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi yang menakutkannya. "Mimpi.... Pasti ada hubungannya dengan mimpi gue yang sama tiap malamnya itu. Apa semacam petunjuk? Atau... Lucide dream? Ahh, ini kan bukan drakor yang biasa gue tonton! Apa iya lucide dream itu ada?" Monolognya terhenti ketika melihat bayangan orang yang dirinduinya tapi tak tersentuh itu selama seminggu ini. Arjuna! "Junaaa!!" Laki-laki muda itu melambaikan tangannya. Setengah berlari Dee menghampiri Juna. "Dear..." sapanya. Kedua tangannya mengembang menyambut tubuh gadis itu yang menubrukkan dirinya di d**a bidangnya. Juna membelai rambut Dee. Sayang. Juna sesayang gitu pada perempuan di pelukannya itu. "Kangen," bisik Dee. "Me too," "Sayang," "Me too..." Dee tersenyum. Cukup buat Dee mendengar itu. Walau ia tahu dan sadar Juna berbeda kini, tak sehangat dalam ingatannya dulu. Dee merasa suaminya itu menjaga jarak. Hingga mampu menerbitkan selaksa tanya di benaknya. Tapi tak mampu ia ungkap. "Maaf, baru pulang." Juna mengecup kening Dee lembut. Dee mengangguk lalu mengamit lengan suami gantengnya itu masuk kembali ke dalam rumah. "Di Bangkoknya kok lama banget? Nggak ketemu maho kan? Nggak main ke sembarang club kan?" cecar Dee, memulai kecerewetannya. Juna terkekeh, hingga giginya yang rapi terlihat. Dia menggeleng. "Boro-boro. Kerjaan aku kan banyak." sahut Juna. Dee mempoutkan bibirnya. Dia menyenggol bahu Juna. "Eyy, dari seminggu kamu cuma nelpon dua kali eh tiga, itu juga Darrel yang nelpon tempo hari. Nggak ada kangen-kangennya sekali sama istri," Dee mencebik. "Ngambek nih?" kerling Juna. "Kesel Junnn... Kerjaan aku cuma ada di rumah. Gabut. Aku pengen kuliah lagi, atau apa kek asal ada kegiatan," kata Dee. Juna menggeleng,"Nggak Dear, Papa bisa marah." "Tadi juga Papa marahin Darrel. Kasian banget. Perasaan, Papa marah-marah mulu sekarang. Sering deh," sungutnya. Juna menghembuskan nafas lalu tersenyum. Kedua matanya menatap Dee. "Apalagi kayak gitu. Kamu bisa dicoret dari kartu keluarga Damanik. Berabe, hehehe..." Juna duduk di kursi pantry. Dee cemberut. Lalu membuatkan secangkir teh manis untuk suami tercinta. "Aku pengen kita pindah. Di apart kek, ngontrak kek," cetus Dee. "Hm? Kenapa?" Juna menyesap teh manisnya. "Aku kok kayak diawasi. Dibatasi. Capek Jun," seloroh Dee sedih. Juna meraih jemari Dee lalu dimainkan, diusap lembut. Juna tersenyum sabar. "Kita emang harus bertahan sampai akhir, Dee." tukas Juna. Dee menangkap sekelebat mendung berarak di pandang laki-laki itu. Dia tak paham gelagat suaminya tersebut. Ya, Junanya bukan Juna yang dulu, yang Dee kenal di masa putih-biru, bahkan saat putih-abu. Di masa itu ada yang berubah. Dee tahu. Dee bisa merasakannya. Tapi sayang, dia tak mengingatnya. Dee kesal dan menyesal dalam waktu bersamaan. Cowok yang dikenalnya itu dulunya cukup ceriwis dan cerewet. Hampir menyamai sang Mama, ratu tercinta. Tapi entah kemana keceriwisan dan kecerewetan cowok itu kini. Dee melihatnya menjadi sosok yang berbeda. Seolah ada jarak tak kasat mata diantara mereka. Kembali Dee merasa terusik dengan keheranannya. "Kamu mau bertahan bersamaku?" tanya Dee. Rungunya jelas mendengar itu. Tapi Juna pura-pura bergeming, alih-alih ia justru beranjak dari duduknya. Menghindar. Seperti biasanya. Dee mendengkus. Selalu. Suaminya selalu seperti itu. Menghindarinya. Seolah kuatir dirinya mengorek keterangan lebih lanjut, dengan banyak bertanya. Dee tahu, Juna paling tak suka ditanya-tanya. Makanya dia kurang respek sama yang namanya wartawan. Entah apa hubungannya. Karena sempat beberapa waktu lalu, saat ada wartawan mewawancarai keluarga Damanik. Saat yang lain semua terlibat sesi tersebut, Juna malah menyingkir entah kemana. Dee lalu mengekor kemana suaminya itu beranjak sambil menenteng tasnya dengan langkah gontai. Didapatinya Juna tengah melepas kemejanya. Dee membelalak. Jarang sekali Dee melihat pemandangan indah begini. Punggung toples sang suami yang tanpa cela. Tulang belikat dan bahu yang lebar, kekar. Dan, saat Juna berbalik, delapan potong roti sobek di sana tampak emh...! Menggoda. "Dear..?" Juna mengerutkan dahinya. Heran dengan sikap istrinya yang tiba-tiba mematung di dekat pintu. Juna mendekat, ditepuknya pipi istrinya yang tembem. Menggemaskan. Dee memang selalu menggemaskan baginya. Seperti anak kelinci yang gembil. Dia tersenyum. Paham akan apa yang tengah terjadi pada istrinya itu. "Bengong mulu, ih! Jangan mikir m***m. Aku mandi dulu ya?" Juna lalu kabur ke kamar mandi. Dee menekan dadanya. Ada yang ganjil. Dadanya masih berdebar. Tapi, entah mengapa dia seolah tak merasakan hal yang sama terjadi pada Juna. Seolah Juna cuek-cuek saja padanya. Seolah Juna tak mempunyai rasa yang sama seperti dirinya. Kenapa begini? Matanya memanas. Entah kenapa. Dee pun tak paham. Hatinya merasa sakit. Ada apa dengan Juna? Lalu siapa Arres? Ada apa dengan dirinya? Pertanyaan itulah yang kini memutar bak radio butut ditelinganya, bergaung di hati dan pikirannya. "Ya, ada yang salah...." gumamnya. Tubuhnya lunglai melorot jatuh terduduk. Seingatnya, Juna selama ini tak pernah sekalipun menyentuhnya, layaknya suami terhadap istrinya. Dia selalu mengelak, menolak dengan alasan kalau ia tak ingin Dee sakit. Aku sakit apa? Arjuna Arzea, sosok yang sangat perhatian. Hangat dan selalu melindungi Dee. Tapi Dee merasa itu semua kamuflase. Ia tak pernah merasakan hangatnya pelukan lelaki itu di ranjang. Dee selalu tertidur saat Juna masih bergelut dengan berkas dan laptopnya. Dan esoknya, Dee sudah tak menemukannya. Hanya secarik note di atas nakas yang di dapatinya. Itulah yang terjadi selama enam bulan ini. Dee sungguh tak mengerti. Apalagi kebungkaman Juna yang malah didapatkannya saat ia menanyakan hal itu. Dee akhirnya bosan sendiri. Sementara di dalam kamar mandi, Juna membiarkan dirinya dihujani air dari shower. Berharap pikiran bebal yang sedari tadi bertengger di kepalanya, telah ikut luruh bersama derasnya air dari shower. "Maaf, Dear..." gumam Juna. Luruhlah airmata Juna. Di sana dia mengisak, menghiba. Menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada istrinya, yang juga sahabat kecilnya itu. Jantungnya serasa diremas kuat, menyadari betapa gadis itu telah melalui masa terpahit dalam hidupnya. Dan Juna tak ingin gadisnya kembali ke masa terburuknya itu. Juna tak ingin Dee menderita dan menangis lagi. Bahkan Juna tak ingin Dee kembali meregang nyawa di atas meja operasi lagi... "Dear Dee...." *** tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD