Bab 2 - Menandai Langsung

1454 Words
Halo aku update part selanjutnya nih. Aku tunggu love yang banyak yaaaa :) Andrian "Bantu saya memiliki anak ...." Hal ini hanya alasanku saja. Aku memang ingin memiliki anak dengannya, tapi itu hanya alasan untuk memudahkannya saja. "Maksudnya apa Mas?" Jelita bertanya bingung. Tentu saja dia kebingungan. "Saya perlu istri sementara. Bisa kasih saya anak. Karena saya gak mau Papa dan Mama jadi kepikiran ini terus. Kamu baik dan kamu kenal sama keluarga saya, jadi saya menawarkan ini ke kamu. Sebagai imbalan pembayaran hutang kamu sebelumnya," aku menjawab menekannya. Jelita terdiam lama. Aku tahu dia pasti tidak tahu harus menjawab apa. Aku pun mencoba menanyakannya kembali. "Ta, kamu harus bantu saya. Menikah dengan saya ya?" "Tapi Mas. Jelita gak ngerti, kenapa harus begitu?" Aku mencoba mengarang cerita bahwa aku dipaksa menikah dan memiliki anak oleh orang tuaku. Padahal aku sudah memiliki kekasih, yang sebenarnya tidak ada. Aku menceritakan kekasihku masih belum bisa menikah, tetapi aku tidak akan melepaskannya. Jadi untuk menggantikannya sementara dan menenangkan orang tuaku, ku minta dia menikahiku. Akhirnya Jelita seperti terdengar mulai paham. Padahal aku sudah menyukai Jelita sejak lama. Aku menyukai rambut lurusnya yang hitam legam, matanya yang bulat bersinar, dan bibirnya yang merekah indah menghiasi wajahnya. Namun aku selalu menahan diriku dulu. Karena dia hanya anak belasan tahu yang merupakan sahabat adikku. Aku memutuskan pergi melanjutkan kuliah ke luar negeri, yang kupikir bisa mengurangi sedikit rasa inginku padanya. Alih-alih berkurang, rasa itu malah semakin nyata. Jelita terus membayangi hari-hariku. Media sosial Anita ternyata menjadi alat yang sangat bermanfaat untuk mengobati rindu 5 tahun ini pada Jelita. Aku bisa mengetahui berbagai aktivitasnya bersama adikku, karena Jelita sendiri selalu menutup diri, dia tidak memiliki media sosial apapun. Upayaku menahan rindu masih bisa kulalui hingga hampir 2 tahun bekerja di London setelah lulus kuliah. Tapi pagi itu kabar mengejutkan datang dari Anita di hari kelulusannya. Flashback Teleponku berdering tak berhenti. Nama penelepon yang muncul memang dia adikku yang tidak akan berhenti menerorku, sampai aku memberikan kabar terbaru untuknya. "Mas ... mas ... gue lulus dong keterima kuliah di Jakarta." "Serius kamu? Yaampun adik kecilku sekarang mau kuliah nih?" "Serius dong mas. Seneng banget asli ... tapi ...." "Tapi kenapa Nit? Kamu mau coba kampus lain?" "Nggak kok ... tapi ... gue sedih aja gak bisa bareng belajar sama Jelita lagi mas." Ya selalu begini, setiap kabar yang disampaikan Anita padaku, pastinya mencakup kabar tambahan mengenai Jelita. Entah disengaja atau tidak oleh Anita, tetapi kabar terbaru Jelita pun menjadi kabar yang selalu kutunggu-tunggu jadinya. Tapi kenapa dengan kabar yang satu ini? "Jelita gak satu kampus sama kamu? Emang Jelita lanjut di kampus mana? Yaudah gak apa-apa 'kan masih bisa ketemu juga tiap hari." jawabku seraya tidak menunjukkan kepedulian lebih atas pembahasan Jelita ini. "Loh bukan cuma gak satu kampus mas. Tapi Jelita gak bisa lanjut kuliah dulu katanya. Padahal dia juga keterima, tapi ...." "Kamu tuh ya, ngomong selalu ada tapinya. Kenapa Jelita gak lanjut kuliah padahal keterima?" tanyaku mulai penasaran dan tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. "Kasihan Jelita mas sekarang. Gue gak bisa ceritain di sini. Dia sejak lulus udah mulai kerja jadi guru privat. Awalnya anaknya temen mama, tapi sekarang udah agak banyak sih muridnya. Cuma gue gak tega aja, dia pinter gitu tapi ...." "Ah kamu ini, tapi tapi mulu. Udah kalau ceritanya udahan mas tutup dulu ya Nit. Nanti telpon lagi. Dah!" ucapku dan menutup telepon setelah Anita juga mengucapkan "Dah!" Kabar yang disampaikan Anita mengenai Jelita tidak sampai disitu. Setelah mengetahui Jelita tidak melanjutkan kuliah, Anita kembali datang dengan kabar baru. Anita hanya mengabarkan melalui pesan singkat saat itu, sebuah pesan singkat yang membuatku memutuskan sudah waktunya aku kembali ke Jakarta. From: Anita (photo attached) "Mas gue lagi di rumah sakit nih. Itu Jelita. Dia pingsan di rumahnya, nyokapnya nelpon gue. Kata dokter kepalanya kebentur. Kata nyokapnya karena didorong sama debt collector kakaknya." Satu bulan kemudian, aku mengirimkan pesan balasan pada Anita. From: Andrian "Mas pulang minggu depan, kamu jemput ya di Bandara Nit." ***** Sesampainya di bandara, dari kejauhan aku sudah melihatnya. Sosok di samping adikku yang terus mencoba menenangkan kekesalannya. Aku memang sedikit terlambat menghampiri mereka, karena aku sedang menuntaskan rindu penglihatanku. Rindu akan sosok yang tak pernah kulihat langsung selama 5 tahun terakhir. Dia berbeda. Jauh lebih cantik dari yang kuingat, tetapi tidak lagi menampilkan keceriaan seperti dulu. Senyumnya tak mencapai matanya. Entah bagaimana dengan hatinya. Dia telah beranjak dewasa, walau hanya 18 tahun tetapi pesonanya bisa melemahkan pertahananku juga. Aku mendekatinya dan langsung memeluknya dari belakang. Aku hirup seluruh harum tubuhnya di kesempatan ini. Tingginya bertambah, kini sudah mencapai daguku. Kepalanya tepat dan pas di ceruk leherku. Sialnya tidak hanya itu yang kurasakan, tubuhnya pun sudah berubah. Tubuhnya berlekuk indah menempel di tubuhku. Aku merasakan hasrat ini lagi dan suaraku menjadi serak saat mengucapkan "Gimana kabarnya adik manja?" Dia membeku hingga Anita memecahkan keheningan dengan menyatakan bahwa aku salah mengira Jelita sebagai dirinya. Lalu mendadak Jelita melepaskan dirinya dan menatapku. Aku mendengar dia menanyakan kabarku, tapi aku tidak bisa meresponnya. Tidak saat aku masih belum bisa mengendalikan diri dengan hasratku yang ingin lebih lama merasakan tubuhnya lagi. ***** Akupun menyaksikan sendiri apa yang menyebabkan Jelita terlihat lebih murung. Laki-laki yang sebelumnya mencengkeram rambut Jelita itu akan mendapatkan balasannya. Jika tadi Anita tidak menghadapinya lebih dahulu, mungkin dirinya sudah berakhir dengan bersimpuh darah. Beraninya dia menyentuh Jelitaku. Dan apa katanya tadi? Jelita akan dijadikan bayaran untuk melunasi hutang kakaknya? Jangan bermimpi. Dia milikku. Kalaupun dia harus membayar hutang kakaknya dengan dirinya, pembayaran itu hanya aku yang boleh menerima. Saat itulah aku mendapatkan ide untuk memudahkanku mendapatkannya. Jelita sudah cukup umur. Aku sudah bisa mendapatkannya dan mencintainya sepuas hatiku, tapi aku takut dia tidak mencintaiku. Lebih baik aku memaksanya menikahiku. ***** Akhirnya hari ini aku akan bertemu langsung dengannya. Jelitaku. Setelah menjelaskan maksudku untuk meminta ganti bayaran pelunasan hutangnya dengan menikahiku, kini aku akan bertemu dengannya secara langsung. Jelita tidak mudah menerima tawaranku saat itu. Bahkan dirinya cenderung mencoba menolak dan berjanji akan melunasinya dengan cara lain. Aku berkeras bahwa dia harus menjadi istriku dan memiliki anakku. Baru aku akan menganggap hutangnya lunas. Penolakan belum berakhir, hingga akhirnya aku mengeluarkan ultimatum terakhirku. "Aku tidak menerima cara pelunasan lain Jelita. Aku siudah membantumu. Sekarang waktunya kamu membantu. Kutunggu besok di restoran dalam Hotel Lurise jam 7 malam. Jika kamu tidak hadir, aku terpaksa akan melaporkan kamu dan ibumu karena telah mencuri uangku." Jawaban dari Jelita datang tanpa menunggu lama. Aku tahu dia akan melemah jika harus mengorbankan ibunya. "Baik mas. Aku datang besok. Tapi jangan laporkan aku dan ibu ke polisi." Sebenarnya aku tidak suka harus menekan Jelita seperti ini. Akan tetapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini. Kesempatan memiliki Jelita seutuhnya hanya untuk diriku. Dia tidak perlu kesusahan lagi, karena aku akan bekerja mencukupi kebutuhannya. Dia tidak akan bertemu orang lagi yang menggodanya di jalan dan membuatnya takut, seperti yang Anita ceritakan, karena dia hanya boleh beraktivitas di dalam rumah. Tepatnya di atas ranjang menemaniku. ***** Restoran Hotel Lurise – Jam 7 malam Tepat pukul 6.40 sore, dari kejauhan aku sudah menangkap sosok Jelita di depan pintu restoran ini. Beberapa kali dia ragu untuk masuk dan terlihat kebingungan. Akhirnya saat jarum jam menunjuk pukul 7.00 malam, Jelita melangkah masuk ke dalam restoran ini. Kepalanya beberapa kali memutar mencari keberadaanku. Hingga saat dia berhasil menemukan mejaku dan menghampiriku dengan sedikit ragu-ragu. "Duduk, Ta," ucapku sambil menarik satu kursi dan mempersilahkannya duduk, sebelum aku kembali ke tempat dudukku. Jelita terus terdiam dan mencoba menghindari tatapanku. Aku tahu dia tidak bisa memulai pembicaraan ini. Jadi aku memulainya dengan percaya diri. "Kamu datang artinya kamu udah setuju kan, Ta? Karena aku gak mau nunggu lama lagi." Wajahnya terangkat dan aku melihat ada air mata yang mengancam keluar dari matanya. "Aku ...." satu kata itu pun tidak berhasil diselesaikannya. Aku meraih tangannya seraya berkata "Ta... kamu tenang aja ya. Aku akan cukupi kebutuhan kamu sama ibu. Kamu gak perlu kesusahan lagi." "Tapi... nanti... setelah pacar Mas kembali, bagaimana kita menjelaskan perceraian kita? Aku gak mau ibu kecewa." Sungguh polos Jelita dan pertanyaannya, tentu aku tidak akan menceraikannya. Apalagi keberadaan pacar karanganku itu tidak akan pernah benar-benar kembali. "Tenang Ta. Setelah kita menikah, kamu melahirkan anakku. Kalaupun kita bercerai, kamu akan mendapatkan jaminan hidup dariku selamanya. Kamu 'kan ibu anakku nantinya. Jadi kamu mau, 'kan?" Jelita akhirnya sedikit mengangguk, sebelum kembali bertanya "Jadi kita ini nikah kontrak ya Mas? Aku harus tanda tangan kontrak gitu kalau pernikahan ini akan melunasi hutang-hutang keluargaku?" "Hmmm ... Tanda perjanjian kontraknya gak perlu tandatangan Ta. Aku punya cara mengesahkan perjanjian ini dengan lebih mudah. Ayo ikut aku!" kataku sambil menariknya menuju lift hotel ke arah kamar yang sudah ku pesan. Aku akan mengesahkan perjanjian ini dengan caraku sendiri Jelita, yaitu dengan menandaimu langsung... Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD