Ke 2

2336 Words
14 tahun kemudian.   Maxime kini telah tumbuh menjadi pria yang tampan, memiliki badan yang membuat para wanita tak dapat berpaling, otak yang jenius, harta berlimpah, ambisius, angkuh, dan tidak mengenal belas kasih. Bahkan semua pengusaha hingga politikus sangat hormat padanya. Baik dari dunia putih ataupun dunia hitam semuanya segan terhadap dirinya. Bahkan Maxime pernah menjadi pengusaha termuda yang sukses diusia belia. Usahanya hampir mencapai semua sektor. Tapi dia tidak pernah puas dan masih terus mengembangkan usahanya. Kini saat sayapnya semakin lebar dan dunia ada di dalam genggamannya semua terasa lebih mudah. Maxime membaca data keluarga Chaster yang diberikan oleh pamannya selama 14 tahun ini. Semua dilakukannya dengan hati-hati dan teliti. Dia sengaja mengulur waktu dan membiarkan gadisnya bermain - main dulu. Tapi perlahan - lahan dia akan menunjukkan kepemilikannya pada gadisnya dalam waktu dekat ini.   Di dalam ruang basecamp The Lionliar, Maxime mengamati foto seorang gadis yang selama 14 tahun ini telah memenuhi pikirannya. Dia kemudian mengambil foto itu. "Bagaimana kabarmu little girl?" gumamnya.   Tok... tok....   "Masuk!" Kata Maxime tanpa mengalihkan perhatiannya dari foto Slidia. "Jika tidak penting aku akan membunuhmu Xander" kata Maxime dengan tatapan tajamnya yang terarah pada Xander.   "Maafkan saya Tuan. Saya mendapat kabar bahwa nona Slidia akan bertunangan dengan Alexander Lemos. Putra jaksa agung yang terkenal akan ketegasannya dan tidak pernah bisa ditekan oleh siapapun. Mereka akan bertunangan malam ini. Mereka sengaja menggelar pesta sederhana agar tak banyak orang yang tahu tentang pertunangan putra mereka dengan nona Slidia Chaster mengingat kelamnya masalalu nona Slidia. Mereka sanksi akan mendapat kecaman masyarakat karena tidak bisa memilih menantu yang memiliki latar belakang yang baik. Selain itu, nona Slidia juga pernah terseret kasus pembunuhan 7 tahun yang lalu dan kasusnya terangkat juga berkat bantuan jaksa agung yang tak lain adalah ayah dari Alexander Lemos. Tapi nona Slidia tidak bisa ditahan karena anda menghapus semua bukti yang ada dan menjaminnya dengan angka yang fantastis. Membuat jaksa agung tak dapat berkutik dan gagal dalam memberikan keadilan.   Tuan Lemos menyuruh anaknya yang tak lain adalah Alexander Lemos untuk mendekati nona Slidia agar dapat menemukan anda. Namun itu semua malah menjadi boomerang untuknya karena nyatanya putra semata wayangnya malah jatuh cinta pada nona Slidia Chaster. " Xander mengatakan semua informasi yang ia dapatkan dengan tenang. Tapi berbeda dengan Maxime yang sudah dilingkupi oleh kemarahan besar. Dia mengambil jas nya kemudian pergi dengan diikuti oleh Xander. Dia tak pernah mengira bahwa orang tua Slidia memanfaatkan kebaikannya. Seharusnya dia mengambil alih Slidia 7 tahun lalu. Bukannya memberikan gadisnya pada orang yang tidak tahu diuntung seperti mereka.   Xander merupakan tangan kanannya. Ia mengangkat Xander sebagai tangan kanannya karena selain jenius Xander juga sangat setia kepadanya. 13 tahun yang lalu saat dia menyelesaikan kuliah S2 - nya. Dia menemukan Xander yang tergeletak ditengah jalan dengan luka tembak dimana-mana. Dia kemudian membawa Xander bersamanya dan kini Xander mengabdikan seluruh hidupnya untuk Maxime.   ** "Semua sudah siap?" Lemos menatap wanita berpakaian seksi dan menggoda dihadapannya. Tanpa menghentikan kegiatannya menghisap cerutunya yang mengeluarkan banyak asap bertebaran.   "Seperti yang anda inginkan Tuan Lemos. Pertunangan ini tidak akan terjadi. Kami akan membunuhnya sebelum acara pertukaran cincin." Wanita itu membalas dengan kerlingan matanya sambil menyesap winenya dengan perlahan.   "Jangan sampai meninggalkan bukti. Aku tidak mau sampai putraku tahu. Apalagi sampai namaku terseret dalam hal ini. Tugasmu adalah memastikan semua berjalan sesuai rencana dan tidak meninggalkan bukti sekecil apapun. Ratakan Mansion Chaster dan bunuh assasin yang kau tugaskan setelah dia menyelesaikan tugasnya." Wanita itu langsung membungkukkan badannya dan berlalu dari hadapan Lemos.   "Kau telah membuat aku tidak berdaya di hadapan hukum. Maka aku akan membuat hukum untuk mengikatmu. Aku memang belum tahu siapa orang yang selama ini selalu menjadi perisaimu. Tapi aku yakin bahwa aku akan mengetahuinya nanti. Cepat atau lambat dia akan muncul." Lemos menerawang kearah pemandangan kota. Hampir dalam semua kasus selalu bisa ia selesaikan. Kecuali kasus Slidia Chaster. Setiap dia mendapatkan kasus Slidia, seolah semua bukti itu musnah. Sehingga dia tidak bisa memenjarakan gadis itu.   **** Gadis itu nampak muram. Padahal hari ini adalah hari bahagianya. Dimana dia dan pasangannya akan melangsungkan pertunangan. Dia muram bukan karena orang tuanya tidak mengadakan pesta yang meriah melainkan karena dia tidak menyukai calon tunangannya.Tapi karena kebebasannya harus terenggut, Pekerjaannya sebagai assasin mengharuskannya untuk senantiasa berhati - hati dalam mengambil setiap langkah.Tunangannya memang tampan, Kaya raya, dan perhatian. Tapi entah mengapa sejak mereka pertama kali bertemu dia merasakan firasat yang tidak baik terhadap orang itu. Tapi sejauh mereka bersama tidak pernah terjadi apa - apa. Apakah mungkin benar kata orang tuanya bahwa dia hanya takut padahal yang belum tentu kebenarannya?   Sejauh ini pria itu tampak sangat mencintainya dan menyayangi kedua orangtuanya. Membuat Slidia mau tak mau menerima pertunangan ini atas dasar desakan orang tuanya yang menginginkan ia segera menikah dengan Alexander Lemos.Meskipun ia sama sekali tidak mencintai pria itu.   "Mengapa putri ibu yang cantik ini merenung, hmm?" Livi memeluk putrinya dari belekang, membuat Dlidia melepaskan pelukannya dan berbalik menatap wajah ibunya yang wajahnya tetap cantik meskipun usianya sudah tidak lagi muda.   "Aku merasa ini tidak benar Bu. Aku merasa resah sejak beberapa hari. Aku selalu ingin didekat ibu dan ayah. " Kata Slidia mengutarakan perasaannya selama ini. ' Ibu juga begitu nak. Tapi lebih baik kau menikah dengan alex, ibu tidak bisa membiarkanmu jatuh ke tangan pria itu. Setidaknya ibu bisa merasa lega karena alex sangat mencintaimu. Ia pasti bisa melindungimu dari ayahnya yang berusaha menjatuhkanmu.' batin livi tersenyum getir.   "Itu hal yang wajar nak. Setiap gadis pasti akan merasakan itu semua. Dulu ibu juga merasakannya. Lagipula kau hanya akan bertunangan jadi jangan mencemaskan hal yang tidak perlu. Setelah bertunangan kau akan tetap tinggal bersama ayah dan ibu. Jika kamu masih ragu biar nanti ibu yang bicara pada nak Alex agar nanti setelah menikah kalian akan tinggal disini. Bagaimana?" Kata Livi berusaha menyakinkan putrinya. Slidia pun tak dapat mengelak lagi.   "Baiklah kalau begitu. Mari kita turun dan menyambut para keluarga kita yang sudah menunggumu dari tadi." Slidia pun mengikuti ibunya untuk turun ke lantai satu dan menemui para tamunya yang tak lain adalah keluarganya sendiri. Pertunangan ini memang dilaksanakan secara sederhana. Slidia tidak pernah keberatan saat keluarga Lemos meminta pesta diadakan sederhana karena ia sendiri juga tidak menyukai keramaian.   Betapa terkejutnya Slidia dan ibunya saat mendengar suara tembakan yang bertubi-tubi dari lantai bawah. Dan ketika Livi dan Slidia melihatnya dari tangga mereka sangat terkejut saat melihat keluarganya sudah mati dengan luka tembak di kepala mereka. Membuat dirinya kehilangan kendali amarahnya. Dia langsung mengambil pisau lipatnya dan menghajar 6 orang yang berpakaian serba hitam itu. Dengan jiwa psikopatnya sangat mudah bagi Slidia untuk menghabisi nyawa mereka.   Meskipun begitu nyatanya Slidia juga tidak bisa menganggap remeh mereka semua. Nyatanya kemampuan mereka sebagai assassin tidak dapat diremehkan. Hingga ketika dia berhasil membunuh 3 orang assassin peluh membasahi tubuhnya hingga make up nya sedikit berantakan dan gaunnya sobek di beberapa tempat akibat perkelahiannya.   "Jika kau menghabisi mereka maka nyawa ibumu menjadi taruhannya!" Teriak salah seorang assassin yang sudah berhasil menyandera ibunya.   Slidia langsung berbalik dan menatap ibunya yang sudah tak berdaya dalam cengkeraman seorang assassin. Membuat Slidia menjatuhkan pisau lipatnya. Kekuatan dan pelindungnya adalah orang tuanya. Rumah untuk dia kembali adalah orang tuanya. Emosinya adalah orang tuanya. Orang tua adalah kelemahannya. Terlebih ibunya yang sangat dia sayangi.   "Lepaskan ibuku. Dan lakukan apa yang kau mau. Aku tidak akan melawan." Kata Slidia lemah. " Jangan lakukan itu nak. Pergilah! Ibu tidak apa-apa. Selamatkan nyawamu nak!" teriak ibunya namun tidak didengarkan oleh Slidia. Ia tetap pada pendiriannya.   Sang assassin tidak melepaskan kesempatan itu, dia mengkode dua anggota assassin yang lain. Dua assassin itu kemudian memukul kepala Slidia dengan senjata laras panjang mereka hingga Slidia jatuh tersungkur dan kepalanya mulai mengeluarkan banyak darah. Tidak sampai di situ saja mereka bahkan menginjak pergelangan kaki Slidia hingga patah. Tapi Slidia tetap tidak melawan dan terus merangkak mendekati sang ibu yang kini sudah terisak dan berusaha untuk menolongnya.   "Ternyata kau tidak gampang menyerah ruapanya, huh!" kata sang assassin yang menyandera ibunya.   "Lepaskan ibuku!" Teriak Slidia sambil berusaha menahan kesadarannya agar tidak jatuh pingsan dan terus menahan rasa sakit di kakinya.   "Haha...ha..ha..." Tawa para assassin menggelegar di dalam mansion itu "Dasar gadis bodoh! Kau pikir aku akan melepaskan ibumu kan? Baiklah akan ku lepaskan sesuai janjiku!" Assassin itu tersenyum miring dan mendorong ibunya dari atas tangga. Membuat tubuh Slidia menegang kaku karena melihat sang ibu didorong dari atas tangga dengan tidak manusiawi.   "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"   "Ibuuuuuuuuuuuuu"   Slidia hanya mampu menyeret tubuhnya Karena kakinya patah dan tak bisa digerakkan. Ibunya jatuh di hadapannya dengan bersimbah darah.   Dor   Dor   Dor   Maxime dan anak buahnya datang dan langsung menghabisi tiga assasin. Pandangan Maxime jatuh pada gadisnya yang sedang menangis di depan tubuh ibunya yang tidak berdaya dan bersimbah banyak darah.   "Nyonya Livi" Maxime mendekat ke arah ibu Slidia sementara Slidia tetap menangis. ia berjongkok dan menggenggam erat tangannya.   "Tuan Maxime. Tolong jaga putri saya seperti anda membantunya dulu..." Kata Livi berusaha menahan rasa sakitnya " Maafkan kesalahan saya-" tangan livi yang awalnya menggenggam erat tangan Maxime melemas setelah mengucapkan kata maaf terakhirnya kepada Maxime.   "Ibuuuu" kata Slidia   "I-kut lah be-ber-sa-ma-nya. D-dia a-ada-lah ru-mah-mu se-ka-rang....." Livi pun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Maxime dan di hadapan putrinya.   "Ibu...." teriak Slidia sebelum akhirnya kegelapan mulai menghampirinya.   Maxime kemudian memerintahkan Xander beserta anak buahnya untuk mengurus pemakaman keluarga Slidia. Sementara dirinya langsung membopong tubuh Slidia menuju mansionnya. Sesampainya di sana semua awak medis sudah siap menunggu kedatangan Maxime dan Slidia. Mereka langsung membawa Slidia ke dalam mansion dan mengobatinya. Di mansionya, Maxime memiliki semua peralatan medis bahkan lebih lengkap dari rumah sakit yang ada. Karena Menjadi seorang mafia membuat dia dan anggotanya tidak bisa dirawat disatu rumah sakit dalam waktu yang lama. Selain itu, karena Maxime juga memiliki perusahaan yang memproduksi alat medis. Jadi, sebelum alat itu di luncurkan Maxime sudah lebih dulu memilikinya.   10 jam sudah berlalu, Slidia berada di dalam kamarnya yang sudah dirubah menjadi ruang operasi. Tak lama seorang dokter muncul. "Bagaimana keadaannya?" Tanya Maxime pada dokter Ashley. Salah satu dokter perempuan di basecampnya.   "Luka di kepalanya cukup parah. Terjadi penggumpalan darah di otaknya. Tapi sekarang keadaannya sudah lebih baik. Dia sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja dia tidak akan bisa berjalan lagi sementara waktu karena keretakan di kakinya cukup parah." Ashley berusaha menjelaskan dengan tenang meskipun dalam hati dia sangat was-was. Karena bisa saja tuannya ini melepaskan timah panas secara tiba-tiba. Dan tentu saja dia masih sangat sayang nyawa. Walaupun menjadi dokter Collmiler dia digaji tinggi namun jika gagal nyawa adalah taruhannya.   "Dia lumpuh?!" tanya Maxime dengan mata berkilat marah.   "Ti-tidak be-begitu tuan. Kakinya memang lumpuh untuk sementara waktu. Namun dia bisa kembali berjalan dengan melakukan kemoterapi." kata dokter Ashley dengan bibirnya yang gemetar.   "Pergilah!" Perintah Maxime. Sang dokter membungkukkan badan tanda hormat kemudian pergi dari hadapan Maxime.   Maxime masuk ke dalam kamarnya. Disana terlihat Slidia tidur di atas Baldacchino Supreme bed miliknya. Tampak tubuh Slidia yang terbaring lemah dengan ditopang alat medis di sekujur tubuhnya.   Maxime duduk di tepi ranjang. Tangannya menggenggam erat tangan Slidia. "Akan kubuat mereka merasakan apa yang kau rasakan. Bahkan mungkin kematian akan lebih baik bagi mereka." Sambil mengusap kepala Slidia. "Seandainya aku tidak memberikan kesempatan pada orang tua mu. Mungkin kau sudah menjadi milikku dan tidak harus merasakan rasa sakit ini."   Tok...   Tok....   Tok....   "Tuan." Xander menunduk hormat.   "Semua assassin telah kami pindahkan ke sel bawah tanah sesuai perintah anda. Kami juga meletakkan mereka di tempat yang terpisah. Dan yang paling mengejutkan adalah salah satu assassin itu adalah seorang perempuan bernama Ranjun yang berasal dari Jepang. Salah satu assassin terbaik milik anda."   Hal itu sontak membuat Maxime berang "Dasar perempuan tidak tahu diuntung. Aku memungutnya dan ini balasannya terhadapku. Kita lihat sampai mana keberaniannya sekarang!" Tanpa mempedulikan Xander, Maxime berjalan keluar kamar menuju ruang bawah tanah.   Di sepanjang lorong bawah tanah banyak suara tangis pilu dan teriakkan meminta ampunan. Namun sepertinya hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Hingga membuat para penjaga tampak santai saja menikmati alunan suara menyayat hati.   Maxime berhenti pada salah satu sel yang terdapat Ranjun di dalamnya. Di sana tampak Ranjun langsung menunduk hormat kepada Maxime. Namun sayangnya Maxime yang tengah dilingkupi kemarahan besar tanpa belas kasih menendang tubuh Ranjun dengan keras hingga membuat tubuh Ranjun terpental ke dinding. Ranjun memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia yakin sekarang ini tulang rusuknya pasti sudah patah akibat tendangan dari tuannya.   Maxime mendekati Ranjun, menarik kerah baju wanita itu hingga membuat wanita itu mau tidak mau harus berdiri. Maxime mencengkeram leher wanita itu "Aku memungutmu dari sampah yang hina. Dan kau malah berusaha membunuh gadisku, hah!" Teriak Maxime di depan wajah Ranjun.   "Sa-saya tidak tahu bahwa gadis itu milik anda." Ranjun tahu ini pasti tidak akan berakhir dengan mudah.   Maxime menarik rambut Ranjun dengan kasar dan menyeret wanita itu mengelilingi selnya. Beberapa rambutnya yang indah menjadi korban. Hingga membuat kepala Ranjun sakit dibuatnya. Bahkan kini sebagian rambutnya sudah berserakan di sekitarnya. Maxime masih belum berhenti meskipun Ranjun sudah meminta pengampunan. Tidak sampai di situ, Maxime bahkan membenturkan kepalanya ke dinding hingga membuat kepalanya berdarah.   "Katakan padaku siapa yang menyuruhmu!" Maxime menjambak rambut Ranjun hingga membuat sang empunya mendongak ke atas.   "Tu-tuan Daniel men-menyuruh saya untuk mem-membunuh keluarga Chaster." Ranjun sudah pasrah jika dia harus mati. Nyatanya, kematian mungkin terasa lebih baik daripada dia hidup dan mendapatkan siksaan lebih dari ini.   Jawaban Ranjun nyatanya mampu membuat Maxime lebih marah lagi. Hingga membuat Maxime melempar tubuh Ranjun hingga membuatnya tersungkur ke tanah.   "Kau membuat kepalanya terluka." Kata Maxime menendang kepala Ranjun. Ranjun berusaha menjaga kesadarannya. Karena jika sampai dia pingsan mungkin nanti hukumannya akan lebih buruk.   "Tanganmu membuat gadis ku menagis!" Maxime menginjak kedua tangan Ranjun hingga terdengar suara retakan tulang dan rintihan kesakitan.   "Kaki gadisku tidak bisa berjalan, maka kakimu pun harus sama." Tanpa belas kasih Maxime mematahkan kedua kaki Ranjun. Hingga membuat Ranjun tidak sadarkan diri.   Maxime keluar dari sel. Membiarkan tubuh Ranjun tergeletak mengenaskan di dalam sel. "Xan! urus dua assassin lainnya. Aku mau mereka disiksa sampai mereka ingin mati. Tapi jangan biarkan mereka mati sebelum aku sendiri yang menyuruhmu membunuh mereka."   "Baik tuan. Lalu bagaimana dengan Ranjun?" tanya Xander.   "Biarkan dia tetap di dalam sel. Jangan ada yang menolongnya apalagi memberikannya makan. Dia akan mati dengan sendirinya. Aku yakin 2-3 hari lagi dia sudah tidak bernapas." Maxime berkata acuh tak acuh. Maxime memang tidak pernah memandang laki - laki ataupun perempuan. Jika mereka berani mengusik miliknya maka mereka akan menanggung akibatnya. Ia sendiri yang memastikan setiap orang yang berusaha mengambil miliknya maka tidak akan pernah bisa mati dengan mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD