Eps. 2

1038 Words
Liliana terbangun dari tidurnya, tetapi ketika kedua matanya terbuka, ia tidak bisa melihat apa pun selain warna hitam. Gadis itu meraba kedua pasang matanya, terdapat perban yang mengelilingi kepalanya, membuat penglihatannya tidak berfungsi karena terhalang. Ia mencoba mendudukkan diri, meraba ranjang miliknya. Kasur yang ditempatinya bukanlah kasur yang biasa ia kenakan. Kasur itu lebih empuk. "Aku ada di mana?" lirihnya. Liliana hendak melepas perban di kepalanya, tetapi punggung tangannya terasa sakit ketika tertarik ke atas. Satu tangannya kini meraba tangan lain. Liliana mendapati selang di tangannya. Ia meraba selang itu sampai ke atas. Ke botol flabot infus yang terpasang di tiang. "Kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Liliana pada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, tetapi kepalanya menjadi pusing. Dengan terpaksa Liliana kembali merebahkan diri di kasur untuk meredakan pusing yang mendera di kepalanya. Tak lama, telinga gadis itu menangkap suara langkah kaki. Ia mencoba mempertajam pendengarannya, beberapa langkah kaki semakin mendekat. Liliana kini bisa mendengar suara derit pintu yang dibuka. Suara dari sepatu fantofel itu semakin dekat dan keras. Liliana menolehkan wajahnya ke samping, meski ia tidak bisa melihat siapa yang datang. "Ane, kau sudah sadar?" Suara seorang lelaki terdengar. Liliana hapal milik siapa suara itu, suara yang sudah ia dengar lebih dari lima belas tahun. Ya, itu adalah suara Marquis Brown, ayahnya. Liliana menoleh ke arah suara. "Ayah? Kenapa Ane bisa ada di sini? Kenapa mata Ane ditutup dengan perban?" tanya Liliana bertubi-tubi. Ia bersyukur karena ayahnya datang karena jujur saja gadis itu sedikit takut berada di sana sendirian, terlebih ia tidak bisa melihat apa pun. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut ayahnya, hal itu membuat Liliana sedikit khawatir. "Ayah?" panggilnya sekali lagi, tetapi ayahnya tetap diam. "Ayah bisa kau jelaskan padaku apa yang terjadi? Ini rumah sakit bukan? Kenapa aku bisa ada di sini? Aku tidak ingat apa pun." Liliana memegangi kepalanya dan meringis kesakitan ketika tengkoraknya kembali berdenyut nyeri. "Berbaringlah, Miss. Brown. Anda butuh istirahat agar segera pulih," kata seorang wanita asing. Liliana belum pernah mendengar suara itu sebelumnya. "Saya akan memeriksa kondisi Anda terlebih dahulu." Wanita itu mulai memeriksa kondisi badan gadis itu dengan teliti. Setelah beberapa menit, ia menyelesaikan pemeriksaan fisiknya dan mengatakan jika Liliana baik-baik saja, hanya saja pergelangan kaki kirinya terlikir dan bengkak. Gadis itu harus dirawat di rumah sakit beberapa hari agar dokter dapat memantau perkembangannya. Sang dokter takut jika ada cedera yang ternyata terlewat atau tidak terdeteksi pasca kecelakaan. Mendengar kata kecelakaan membuat Liliana seketika teringat akan bayangan ketika dirinya pulang sekolah sambil membawa surat undangan dari Oxford memenuhi ingatannya. Ia juga mengingat tentang mobil sport berwarna biru yang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi lalu menabraknya. Kini Liliana mengingatnya, ia sudah ingat mengapa dirinya dibawa ke rumah sakit dan memerlukan istirahat. Itu karena ia telah mengalami kecelakaan. "Ayah, aku tidak bisa berada di sini. Undangan, di mana surat undanganku? Satu bulan lagi aku harus mengikuti ujian untuk masuk ke Oxford University, Ayah. Aku perlu belajar di rumah, mereka sudah memilihku, aku tidak boleh mengecewakan mereka," kata Liliana panik. Marquis Brown berjalan mendekat ke arah putrinya, ia duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut Liliana lembut. "Jangan khawatirkan hal itu, kau adalah anak Ayah yang paling jenius. Kau akan tetap bisa masuk ke sana tanpa belajar, fokuslah pada kesembuhanmu dulu," ucap Marquis lembut. "Tapi, Ayahー" Liliana hendak memprotes, namun ayahnya bersikukuh menentangnya sehingga Liliana hanya bisa pasrah. "Istirahatlah, Ibumu akan segera tiba di sini. Ayah dan perawat akan memanggil dokter terlebih dahulu," Liliana mengangguk menuruti keinginan ayahnya. Ia berbaring lagi di kasur, menarik selimutnya hingga ke batas d**a. Setelah itu Marquis mengecup singkat dahi putrinya. Keluar dari ruang rawat bersama wanita yang ternyata adalah seorang perawat. Liliana kembali sendirian, tetapi tidak lama karena setelah itu indera penglihatannya kembali menangkap suara decitan pintu yang terbuka. "Liliana," kata seorang wanita yang tidak lain adalah ibu dari gadis yang tengah terbaring di atas kasur rumah sakit tersebut. "Ibu?" Liliana merasa lega, wanita paruh baya itu menghampiri putrinya dan langsung memeluk Liliana erat. "Syukurlah kau tidak apa-apa, Sayang. Ibu khawatir karena sudah dua hari kau tidak membuka matamu." Serena mengecup kening putrinya berulang kali. Liliana terkejut, jadi dirinya sudah terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit? Gadis itu cemas, ia masih saja memikirkan tentang beasiswa ke universitas Oxford. "Ibu, aku harus segera keluar dari rumah sakit, bulan depan aku harus mengikuti ujian untuk masuk ke Oxford. Ayo kita pulang, Bu. Bantu aku melepaskan infus dan perban ini," rengek Liliana. Sang ibu hanya bergeming, melihat putrinya dengan air mata yang banjir di pipi. Ia sebisa mungkin menahan isakannya agar putrinya tidak mendengar tangisannya. Pintu kembali terbuka untuk ketiga kalinya. Serena bangkit dan berdiri di sisi ranjang melihat siapa yang datang. "Selamat sore Miss. Brown. Syukurlah Anda sudah sadar, hasil pemeriksaan Anda sudah keluar. Anda mengalami fraktur kaki kanan yang parah dan dua tulang rusuk yang patah, serta .... " Sang dokter tidak melanjutkan ucapannya. "Dan apa, Dok?" tanya Liliana penasaran. Sang dokter berdeham lalu mengalihkan pembicaraan. "Baiklah, kita bisa membuka perbannya sekarang. Excusme, Miss. (Permisi, Nona)," kata sang dokter lembut. Dengan perlahan sang dokter membuka perban yang mengelilingi kepala Liliana hingga terbuka sepenuhnya. Gadis itu mencoba membuka kedua mata setelahnya, tetapi hanya hitam yang terlihat. Ia panik. "Ibu, Ayah. Kenapa semuanya berwarna hitam? Aku tidak bisa melihat apa pun," jerit Liliana sambil meraba kasurnya. Sang dokter menghela napas panjang. "Maaf, Miss. Brown, kepala Anda terbentur cukup keras ketika kecelakaan yang mengakibatkan cedera pada saraf optik, selain itu pecahan kaca yang masuk telah merusak kornea mata Anda." Liliana tercengang mendengarnya, ia paham apa yang dimaksud oleh dokter. Perlahan air matanya mulai turun. "Maksud Anda, saya buta, Dok?" Bibir Liliana bergetar ketika mengucapkannya. "Dengan berat hati kami mengatakan, iya," lirih sang dokter dengan nada penuh penyesalan. "No! (tidak) Aku tidak bisa menerimanya, aku tidak mungkin buta, Dok!" jerit Liliana. Isakan tertahan Serena terdengar setelahnya. Ia memeluk putrinya, berusaha untuk menengangkan Liliana yang terguncang. "Tenanglah, Sayang." Dielusnya lembut punggung putrinya. "Tidak, Ibu. Bagaimana dengan impianku? Bagaimana bisa aku melanjutkan pendidikanku dalam keadaan buta?" Liliana menangis keras. Ia masih tidak percaya semua ini terjadi padanya. Ia merasa hidup itu tidak adil, baru saja ia mendapat kebahagiaan tetapi hal itu direnggut paksa olehnya. Ia tidak bisa menerimanya begitu saja. to be continue ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD