BUKIT KEMUNING

1237 Words
            Dhani memandangi teman-temannya. Entah kenapa ada perasaan bersalah yang muncul. Erika yang menangkap kegelisahan Dhani pun segera menghampiri pemuda itu.             “Kau baik-baik saja?”             “Entahlah. Aku merasa telah mengambil keputusan yang salah.” Dhani tertunduk.             “Kenapa begitu?”             “Aku hanya tidak ingin identitas kalian terbongkar. Tapi aku juga tidak ingin kalian dalam bahaya.”             Erika meletakkan tangannya di bahu pemuda itu. “Kita sudah pernah melakukan hal-hal semacam ini sebelumnya. Aku yakin kita akan baik-baik saja.”             “Tapi aku merasa ini akan menjadi perjalanan yang berbeda.”             Di kejauhan, Bomi yang sedari tadi masih mengawasi Dhani pun beranjak menghampirinya. Ia mengisyaratkan pada Erika untuk memberi mereka waktu sebentar.             “Kau tidak punya alasan untuk merasa bersalah,” ucapnya begitu Erika telah menjauh.             Dhani mendongak. “Bagaimana mungkin aku tidak merasa bersalah? Jika bukan karena kecerobohanku, semua ini tidak akan terjadi.”             “Semua orang pernah melakukan kecerobohan.”            Dhani yang mulai tidak sabar pun langsung bangkit berdiri, namun Bomi dengan sigap langsung menahannya.             “Kau bicara begitu seakan kita belum pernah melakukan sesuatu yang semacam ini.”             “Ini berbeda. Aku bisa merasakannya. Aku merasa telah mengambil keputusan yang salah. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?”             “Seperti apa?”             “Sesuatu yang terburuk,” bisik Dhani.             “Kita telah membuat keputusan. Kau bahkan masih meminta pendapat kami kan? Jadi kau tidak perlu merasa bersalah karena kita semua telah setuju.”             “Jadi kita berangkat kapan?” suara Jessica membuat Dhani dan Bomi menoleh.             “Haruskah kita berangkat sekarang?” tanya Dio yang telah siap dengan barang-barangnya.             “Aku harus menanyakan ini pada kalian.” Dhani berdiri menghadap mereka, sementara mereka hanya menatapnya tidak mengerti. “Apa kalian tidak menyesal menerima tantangan ini?”             Erika dan Jessica saling pandang, sementara Ziyu yang sedari tadi bersantai di balik tirai di dekat jendela pun langsung melompat keluar.             “Apa maksudmu?” tanya Dio.             “Kita sudah pernah melakukan hal semacam ini,” sahut Jessica.             “Maaf, tapi aku merasa kali ini berbeda. Kita akan mengahadapi ratusan atau mungkin ribuan roh jahat.”             “Lalu?” Tio masih berusaha memperhatikan Dhani.             “Lalu, aku tidak yakin apakah nantinya kita bisa keluar dari sana atau tidak. Kalian pun tahu Zito masih terperangkap di sana.”             “Dhan, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba kau penakut seperti ini, tapi kumohon tenanglah.”             Dhani menoleh, kini ia mendelik ke arah Ziyu. “Penakut katamu? Kau mengira aku takut pada roh jahat di sana? JUSTRU AKU TAKUT SESUATU YANG BURUK AKAN MENIMPA KALIAN!” Ziyu beringsut mendengar bentakan Dhani, sementara Tio berusaha menarik Dhani menjauh dari Ziyu.             “Dhan, kita sudah mengambil keputusan kita sendiri. Jadi kalau sesuatu terjadi pada kita, itu sepenuhnya resiko yang harus kita tanggung sendiri,” bisik Tio. Ia masih berusaha menenangkan Dhani.             “Lebih baik kita berangkat. Perlu waktu dua jam lebih untuk sampai ke sana.” Ucap Bomi masih dengan nada tenang.                                                                                             ***             Membutuhkan perjalanan sekitar satu jam dari Tulungagung ke Trenggalek, belum lagi ke daerah Siki yang juga membutuhkan kisaran waktu yang sama. Berkali-kali mereka terbangun dari tidur selama perjalanan, namun hanya satu diantara mereka yang masih tetap terjaga, Dhani. Pemuda itu menatap jalanan dengan pandangan gugup, sesekali memandangi wajah teman-temannya.             “Masih memikirkan hal itu?” tanya Erika yang ternyata telah terbangun.             “Pikiranku kacau.” Bisikan Dhani hampir tidak terdengar.             “Kau akan melupakannya begitu kita tiba di sana.”             Dhani menoleh ke tempat duduk belakang. “Begitu kah?”             Erika hanya mengedikkan bahu kemudian kembali menyandarkan kepalanya di bahu Bomi.             Mobil menepi di sebuah masjid tua di daerah yang mereka pun tidak tahu namanya. Menurut informasi dari sang sopir, perlu tiga puluh menit lagi untuk sampai di Siki. Mereka pun memutuskan untuk istirahat sebentar sambil menunggu adzan Maghrib selesai dikumandangkan.             Hampir lima menit mereka berada di sana namun tidak satu pun warga terlihat mendatangi masjid itu. Bahkan muadzin sudah menyuruh mereka untuk bergegas melakukan sholat berjamaah.             “Nak, monggo sholat rumiyen (mari sholat dulu),” ucap bapak itu. Dhani dan yang lain hanya mengangguk dan tersenyum.             Begitu selesai sholat, Tio memberanikan diri untuk mendekat dan mengajukan pertanyaan pada muadzin itu.             “Maaf kalau tidak sopan, Pak. Dari tadi saya lihat masjid ini sepi. Kenapa orang-orang tidak ada yang ke masjid ini ya?”             “Oh, niku (Oh itu),” Bapak itu menggeser duduknya dan menatap Tio. “Maaf saya biasa pakai Bahasa Jawa. Maaf kalau saya jawabnya tidak lancar pakai Bahasa Indonesia,” ucapnya dengan Bahasa Indonesia yang medok.             “Mboten nopo-nopo, Pak (Tidak apa-apa, Pak).” Tio menjawabnya sambil tersenyum.             “Jadi alasan masjid ini sepi karena mereka memilih ke masjid yang baru, yang lebih besar. Saya tidak bisa membiarkan masjid ini kosong terus, jadi saya tetap adzan dan sholat di sini.”             Mereka mengangguk. Walaupun masjid itu kecil dan gelap tapi memang tidak seharusnya dibiarkan kosong begitu saja. Mungkin masjid itu akan kembali ramai kalau aliran listriknya diperbaiki.             “Kalian mau kemana?”             “Siki, Pak. Mau ke Bukit Kemuning,” jawab Jessica. Sontak bapak itu terkejut, kemudian memandangi mereka satu per satu. Ada ketakutan dari tatapan itu.             “Sudah dipikir matang-matang?”             “Sudah, pak.” Jawab Dhani mulai was-was.             “Sudah tahu ceritanya?”             “Sudah, sebagian besarnya saja. Memang ada apa ya pak?” tanya Ziyu pelan.             “Kalian tidak takut kalau tidak bisa keluar?”             Mendengar jawaban itu, mereka pun saling berpandangan. Jessica bahkan mulai menarik lengan baju Erika sementara gadis itu terus berontak, meminta Jessica melepaskan cengkeramannya.             “Kami yakin kalau kami bisa keluar, Pak,” Tio berusaha bersikap tenang. “Kami sudah pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya.”             “Pesan saya yang penting jangan panik. Jangan langsung keluar dari rumah itu begitu kalian bisa lolos dari labirin. Pastikan tidak ada satu pun dari kalian yang tertinggal di dalam labirin itu.”             “Bapak percaya dengan adanya labirin itu?” Dio yang telah selesai mengikat tali sepatunya itu pun kini menghadap beliau.             “Walaupun itu hanya rumor, tapi sudah ada yang menjadi korban. Ada dua pemuda yang masuk ke rumah itu dan terjebak di labirin. Yang satu berhasil lolos dan langsung keluar dari rumah itu tanpa menunggu temannya. Akhirnya temannya terjebak di dalam, sampai sekarang.”             “Zito,” gumam Dio.             “Apa?”             “Oh, tidak pak. Tidak apa-apa.”             “Orang-orang bilang roh jahat yang paling kuat di rumah itu sudah menguasai tubuhnya. Adik Bapak tinggal di kaki bukit Kemuning. Dia sering mendengar geraman-geraman mengerikan dari rumah itu.”             Bomi mulai tidak tenang, berkali-kali ia memeriksa jam tangannya kemudian berusaha memberi tahu teman-temannya agar bergegas. Dhani yang menangkap isyarat itu pun langsung mohon izin untuk melanjutkan perjalanan.             “Maaf, Pak. Sepertinya kami harus melanjutkan perjalanan,” ucap Dhani.             “Oh iya, silahkan.” Bapak itu mengantar mereka sampai ke mobil. “Ingat satu hal ya nak. Jangan langsung keluar rumah sebelum memastikan jumlah kalian lengkap,” ucap Pak tua itu begitu mereka telah masuk ke mobil.             Dhani mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Begitu mobil dijalankan, ia tidak sengaja melirik kaca spion dan Bapak itu sudah tidak ada, bahkan pagar masjid yang diterangi lampu remang-remang itu pun kini telah gelap.                                                                         ***                                           Setelah melanjutkan perjalanan yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di Siki. Namun mereka harus jalan kaki untuk sampai di Bukit Kemuning karena mobil tidak bisa ke sana.             “Saya tidak bisa mengantar mas dan mbak ke sana,” ucap si sopir.             “Iya mas, tidak apa-apa. Tapi mas mau menginap di mana?” tanya Dio.             “Saya punya kerabat di desa ini.”             “Oh, ya sudah. Terima kasih ya mas. Besok kemungkinan kami pulang agak siang,” Dhani memberikan ongkos pada sopir itu, kemudian mengajak teman-temannya untuk segera melanjutkan langkah mereka.             Rumah-rumah di kaki bukit itu benar-benar tertutup rapat, namun suara-suara aktivitas di dalam masih terdengar. Di luar, tidak ada satu pun yang terlihat. Padahal kalau di daerah pedesaan, banyak orang-orang yang saling berkunjung di malam hari. Jessica merasa ada yang tengah mengawasi mereka dari salah satu rumah. Begitu ia melirik sedikit, ia pun melihat seorang anak laki-laki yang mengintip mereka dari balik jendela.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD