Sebuah permulaan
“Dari semua perempuan, kenapa mesti dia yang kamu jadikan selingkuhan?”
“Diara, hentikan omong kosong kamu.”
“Berhenti? Bagaimana bisa kalau kamu selalu melihat dia?”
“Harus berapa kali aku jelaskan aku bukan seperti yang ada dalam pikiran negatif kamu?”
“Pikiran negatif ini tidak muncul tiba-tiba. Ini semua disebabkan karena ulah kamu sendiri.”
“Ulahku? Ulahku yang mana yang kamu maksud?”
“Ulah yang tidak pernah kamu akui.”
“Kapan? Yang mana? Buat ini transparan jadi kita bisa bahas ini, Di.”
“Kamu tahu apa yang aku maksud.”
Arvel menipiskan bibirnya mendengar percakapan abang tertuanya dan kakak iparnya dari balik pintu yang tidak tertutup sempurna. Matanya memindai sekitar. Jam satu kurang lima belas menit, begitu jarum pada jam dinding menunjukkan waktu. Wajar jika seluruh kubikel kosong. Hanya tersisa dirinya di depan pintu ruang kerja Raihan.
Dia menarik napas lalu melepaskannya lewat mulut. Pertengkaran Raihan dan Diara memang tidak didengar karyawan lain namun kepantasan mereka membahas rumah tangga mereka di kantor merupakan pertentangan di kepala Arvel.
Tangannya merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu yang sudah lecek.
“Kayaknya Rai lagi sibuk sama Kak Diara. Gue jadi nggak bisa minta ditraktir makan siang. Please, Bray, lo cukup buat gue makan dan pulang dengan selamat sampe istana mami Yulia,” kata Arvel sambil mengangkat uang tersebut setinggi wajahnya.
Dia memutar tumitnya ke arah ujung koridor. Pelan-pelan dia melangkah menjauhi ruang kerja CEO perusahaan tempatnya bekerja ini. Sayup-sayup masih dapat dia dengar suara Diara yang meninggi dibalas suara gebrakan meja.
Badannya memutar sedikit, mengecek ulang pintu ruangan yang kini tertutup sempurna.
“Rai, lo dan Diara,” gumam Arvel. Matanya belum lepas memandangi pintu ruangan paling menonjol itu dalam sorot sendu yang kentara.
“If you need me, just say the magical word. Only one word then I'll be there to do everything for your sake.”
Kali ini Arvel benar-benar meninggalkan kantor setelah bermonolog. Di tengah penantiannya menunggu pintu lift terbuka, ponsel di saku celananya bergetar. Malas-malasan dia ambil ponselnya lalu menggeser ikon hijau tanpa memperhatikan nama si penelepon.
“Vel, bisa tolong ikuti Diara. Dia sedang on the way turun ke lobi,” suara Raihan menyambut gendang telinganya tanpa basa-basi.
Arvel tersenyum. You said it, Rai!
“Heh, lo pikir gue mata-mata lo sampai punya kewajiban ngebuntutin istri lo. Ogah,” kata Arvel pura-pura ketus.
“Tidak ada lembur malam ini dan gue bayar cicilan apartemen lo bulan depan. Deal?”
“Perfect.” Mata Arvel menangkap sosok Diara yang berjalan gontai ke arahnya. Dia memutuskan hubungan teleponnya dan menyimpan kembali ponsel itu ke saku.
“Vel?” Diara terkejut mendapati sosok Arvel menjulang di depannya.
“Gue lapar, kak. Ada tawaran makan siang di rumah belum lunas milik keluarga kecil Raihan dan Diara,” canda Arvel.
Diara terkekeh sembari menutup mulutnya dengan anggun. “Sure. Mau makan lasagna?”
“Apapun, oke. Asal double portion.”
Diara mengangguk bertepatan pintu lift terbuka. Diara yang pertama masuk ke dalam disusul Arvel yang tidak hentinya tersenyum.