1

1603 Words
Arvel POV Ada tiga jenis cewek di muka bumi ini. Pertama, yang wujudnya menyaingi gambaran bidadari dan sikapnya kayak aristokrat. Contoh; Kak Diara. Kedua, yang wujudnya kayak peri hutan dan sikapnya nggak mudah ditebak kayak monyet. Contoh; Kak Ratu. Ketiga, yang wujudnya kayak nenek sihir dalam kisah Hansel and Gretel yang menyeramkan dan sikapnya level kerak bumi. Contohnya; atasan gue si Tante perawan sadis. “Tampang bisa tolong dikondisikan, Vel?” Lamunan gue lenyap seketika mendengar sindiran sahabat sejak masa interview sampai kita jadi karyawan tetap. Gayatri. Cewek yang nggak masuk satupun dari tiga kategori di atas karena gue sering lupa fakta bahwa ini cewek sebenarnya cewek tulen. Bayangkan, Bray, dadanya rata. Pantatnya tepos. Mukanya sering cengar-cengir nggak jelas. Nggak pakai makeup. Nggak ingat lipstik yang dia beli itu merek apa, harga berapa, dan dari tahun kapan. Which means dia nggak tahu lipstik yang dia poles cuma saat meeting itu sudah kadaluarsa atau masih layak pakai. Parah kan nih cewek! “Ganteng ya tampang gue?” Narsis sedikit bukan dosa. Yang dosa kalau gue buka celana terus nawarin ke tante-tante girang. Ih, amit-amit gue jadi cowok model begitu. “Ganteng dari selat Bermuda? Tampang lu ketara banget habis disiksa Dementor,” kata Gaya sambil menyuap nasi gorengnya. Salut gue sama ikatan bathin gue dan Gaya yang makin kuat hari ke hari. Belum cerita saja, radar doi sebagai best buddy forever and ever sudah dapat menangkap kode nurani gue yang menjerit minta tolong. “Si Tora ngomel lagi. Dia kesal sama kinerja Aksa. Nggak paham gue gimana awalnya, gue sudah zikir sejak pagi, ujungnya gue dipanggil doi disuruh mengerjakan kerjaan Aksa.” Tora-Tora yang gue sebut ini bukan Tora Sudiro. Bukan nama cowok ganteng pakai jas Armani yang hobi berkeliaran kantor mengeluarkan aura bos jutek terus minta karyawati ngangkat rok demi memuaskan batangannya. Kagak! Salah, Bray! Tora-Tora ini nama alias buat atasan gue yang jenis kelaminnya female tapi ganasnya mengalahkan harimau. Tora dalam bahasa Jepang artinya harimau. Nah, dia tuh harimau. Meleng dikit langsung terkam. Cewek tua ganas. “Kenapa lu yang kebagian ampas kerja Aksa? Kalau ini tanggung jawab Aksa ya mestinya lu tolak perintah Tora, lu kan juga masih punya kerjaan. Baru juga kemarin lu ngeluh pulang sampai rumah jam sebelas. Masak mau lembur buat kerjaan orang kali ini.” Gaya sengaja menghentikan makannya demi menyahuti curhatan gue. Sodara gue nih si Gaya. “Memang nasib lu banget ya, Vel. Nggak di rumah, nggak di kantor, dianggap anak tiri. Cindarvella banget,” lanjut Gaya yang mulus bikin gue keselek makan siang gue yang cuma gado-gado plus nasi dan gorengan bakwan. Sialan, Gaya! Dia masih ingat saja ledekan Kak Ratu buat gue. CindARVELla. Gara-gara gue selalu diposisikan serupa Cinderella sama abang-abang gue, mami, dan sekarang -menambah panjang daftar penyiksa gue- atasan gue. “Gue kira lo bakal bela gue.” “Gue bela lu, cumi. Memang kurang pembelaan gue? Masak lu minta gue menghadap atasan lu demi mengurangi jatah kerjaan lu. Gue juga kan masih level bawahannya bawahan. Lu dong yang anak owner usaha lebih keras membuktikan secepatnya lu bakal naik jabatan. Kejar posisi abang-abang lu yang hawt dan ganteng parah.” Mata Gaya mulai mengawang-awang nggak jelas. Virus drama Korea yang dia idap sejak tiga tahun belakangan pasti lagi kambuh. Isi kepalanya pasti lagi membayangkan kotak-kotak di balik kemeja Rai dan Gege terus senyum bullshit dua abang gue yang tahunya gimana cara menyiksa gue. Gue hela napas saja sambil geleng-geleng. Cewek dan khayalan mereka, mau suami orang juga selama di mata mereka sudah masuk kategori 'ganteng parah' ya sudah dianggap suami bersama dalam imajinasi. “Gay, bersihin otak lo. Rai dan Gege sudah nikah. Lagian gue belum bisa kejar mereka, dari umur saja gue beda jauh. Gue mau dua lima, Gege sudah tiga satu, dan Rai sudah tiga delapan.” “Jangan panggil gue 'Gay', aneh tau kedengarannya.” “Lah nama lo Gaya, disingkat dikit jadi Gay. Wajar lah. Kalo gue panggil lo Lesbi tuh baru lo patut marah,” kilah gue. “Anak Marcomm memang paling lihai ya mencari alasan,” dumel dia. Gue cengengesan saja. “Gay, Gay, model kayak lo ada kepikiran nikah?” Tanya gue tanpa alasan apapun. Asli bibir gue memang tercipta begini. Gampang ketemu topik obrolan. Kalau kata almarhum papi, gue keturunan mami seratus persen tanpa gugatan. Gen paling ketara ya di bibir gue yang doyan cuap-cuap. Kesannya gue cowok lemes gitu. Padahal bakat gue diarahkan papi menghasilkan pundi-pundi sebagai Marcomm di kantor. “Ada lah. Gue sudah dua lima. Nyokap gue sudah tanya-tanya calon. Lu ada minat meminang gue?” Asli, Bray, si Gaya kasih gue pertanyaan begini sambil wink ganjen bukannya bikin gue desar-desir malah pengen ngakak. Then YES, gue ngakak. “Otak lo somplak ya? Keluarga bagaimana yang mau lo buat bareng gue? Mau adopsi anak ayam kita?” Gue becanda seusai ketawa. Parah memang lawakan si Gaya. Baru kemarin dia pedekate sama anak finance, kenapa bukan anak itu yang dia goda. Wait, jangan-jangan, otak gue mulai mengeluarkan asumsi. “Lo sama si Steven gimana?” Tanya gue setelah bisa menormalkan diri. “Nggak ada yang seru. Payah tuh bocah,” jawab Gaya sambil menandaskan satu gelas jus alpukat. Kebayang nggak ini cewek perutnya kayak gimana. Sambil nunggu nasi goreng, dia nyemil batagor, terus dia minum satu gelas jus alpukat yang banyak skm cokelat. Beuh, gue mesti kasih dia edukasi dikit biar terlihat lebih anggun dan bisa menarik cowok. Mata gue berputar ke seluruh kantin kantor. Nggak banyak yang gue kenal di sini. Biarpun gedung punya keluarga gue, nggak berarti gue harus kenal dan dikenal seluruh orang yang bernaung di dalam gedung selama jam kerja. Tolong, Bray, yang pada gila kisah roman orang kaya dicuci dulu otaknya. Nggak semua owner, CEO, atau keluarga CEO dikenal dari lantai G4 sampai lantai empat puluh. Nyatanya, Raihan yang menjabat CEO management building nggak dikenal resepsionis perusahaan sebelah. So, be wise to read and filter your info. Keluarga gue belum sekaliber perusahaan Om James Riady yang sudah menggurita seluruh Indonesia. Kalau ada yang nggak kenal siapa Riady ini silakan pakai ponsel dan cari sendiri. “Lo tahu kenapa ada rumah tangga yang susah dijaga padahal mereka memulai pernikahan dengan jalan menyakiti perasaan orang lain?” Oke, kembali bibir gue angkat topik paling nggak penting. “Kurang bersyukur,” cetus Gaya sambil comot kerupuk merah yang ada di atas gado-gado gue. “Selain itu?” “Mereka belum cukup mengenal pasangan mereka.” Kali ini air teh tawar hangat gue kena sasaran dibajak Gaya. “Belum mengenal setelah menikah tahunan?” “You talk about human. Manusia dan ego. Manusia dan gengsi. Manusia dan pemikiran mereka. Apa cukup menjelaskan kemungkinan kayak gitu bisa hadir dan jadi sandungan selama bertahun-tahun?” Gaya benar-benar keterlaluan, dia bajak piring nasi dan gado-gado gue. “Bagaimana cara membuat sandungan itu hilang?” Gue agak bergetar nanya beginian. “Throw it out of the way,” jawab Gaya di sela kunyah paket makan siang gue yang harganya lima belas ribu. “Nggak ada detail yang lebih memudahkan otak gue proses jawaban lo?” Gaya menyelesaikan makanan gue dengan cepat. Dia letakan sendok lalu menatap gue serius. “Boleh gue tebak ini soal salah satu abang hawt lu?” Gilak, radar Gaya. Best buddy forever and ever bisa bahaya gini. Jangan bilang dia tahu gue pakai sempak baru dibeliin mami. Merek Calvin Klein nih! “Bukan urusan lo, jawab saja.” Gue begajulan tapi masih ingat ajaran Ustad Mansyur, sekali berbohong akan terus berbohong. Lidah perjaka gue mesti dijaga dari panas api neraka, Bray. Gaya berdecak sebal. Kesal dia gagal tahu kabar hot dari top rank hawt men in the office. “Cari tahu sandungan mereka itu apa, jembatani dengan komunikasi, kalau udah nikah malah enak ditambah ekhm ekhm.” What the... Hahahaha!! Gue bilang apa, Gaya memang jenis cewek exception. Doyan bahas yang menjurus lontong dan apem. Cadas otak akunting kita satu ini. “Yang ekhm ekhm memang bisa buat hubungan jadi lebih you know.” Gue nyengir lebar, kebingungan memilih kata. “Kalau ekhm ekhm kan terjadi penyatuan badan, tinggal doa saja biar Tuhan melakukan penyatuan hati juga.” “Pintar!!” Gue menjentikkan jari gue lalu kabur sambil bilang 'bye-bye' sok imut kayak keponakan gue si Fatih. Kantin kantor letaknya di G1, kantor gue adanya di lantai dua puluh. Ini mesti banget lantai dua puluh, kadang gue mikir enak kali kalau kantor di lantai paling atas. View Jakarta pasti lebih tokcer. Tapi gue malas berdebat soal itu. Lift yang gue tumpangi berhenti di lantai lima belas. Kebetulan lift cuma diisi gue jadi siapapun yang masuk pasti langsung melihat gue. “Baru makan siang, Vel?” Kepala gue yang awalnya menunduk segera naik. Durian runtuh banget, gue baru pikirkan eh sudah nongol manusianya. Raihan dan Diara. Mata gue menangkap sosok lain di antara mereka. Atasan gue, si Tora ganas. “Iya, kak. Kakak kebetulan bareng...” Lidah gue nyeri sebut nama atasan gue. “Aku teman SMA Jocelyn. Tadi kita makan siang bertiga. Kalau ketemu kamu pasti kakak ajak juga,” sela Kak Diara yang antusias. Rai memilih mingkem tanpa mau basa-basi ucapkan Halo ala teletubbies ke gue. Tora hanya lirik terus pura-pura sibuk dengan ponselnya. Teman SMA? Atasan gue dan Kak Diara? “Jossy ini atasan Arvel, Ra,” kata Raihan. “Oh ya? Ah, aku ingat. Kamu pernah cerita dulu,” sahut Kak Diara lembut khas cewek idaman pria buat diajak ketemu orangtua. Sumpah, siapapun yang melihat Raihan dan Kak Diara pasti berpikir mereka ini sweet couple teranyar sejagad. Bahkan mungkin atasan gue berpikir yang sama. Kecuali mata gue salah menangkap keganjilan dari mata si Tora yang memicing aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD