Chapter 2

1260 Words
Gue bersama 10 siswa lainnya termasuk Aluna, dikumpulkan di lapangan sekolah kami. Kami harus hormat ke tiang bendera dihadapan kami sebagai hukumannya. Bahkan, gue tidak diberikan kesempatan oleh Pak Khadir untuk menjelaskan kenapa gue terseret dalam kejadian ini. Dari jauh gue melihat ketiga sahabat gue yaitu Gabriel, Arka dan Adrian menatap kebingungan ke arah gue seakan meminta penjelasan. Gue hanya berdecak sebal. Bagaimana mungkin siswa teladan seperti gue mendapatkan hukuman rendahan seperti ini? Ini pertama kalinya! Gue melihat Arka menghampiri Pak Khadir dan sepertinya bertanya mengapa gue ada di sini bersama anak-anak yang terkenal nakal ini. Pak Khadir segera melemparkan pandangannya ke arah gue, ia melambaikan tangan ke arah gue mengisyaratkan untuk gue segera menghampirinya. Gue melirik ke arah Aluna, ia menatap gue dengan pandangan meminta maaf. Gue balik memandangnya sinis. "Kamu kenapa ada di sana?" tanya Pak Khadir kepada gue. Gue menunjuk Aluna. "Sekarang dia tinggal di rumah saya Pak, atas izin orang tua saya. Dan kami wajib berangkat sekolah bareng. Bapak tahu kan, sebulan lalu orang tuanya mengalami kecelakaan? Aluna juga gak punya sanak saudara." Jelas gue. "Kamu yakin atas izin orang tua kamu? Aluna gak hamil kan? Kalian gak nikah muda kan?" tuduh Pak Khadir. Gue berdecak, mendengar tuduhan pertama dari Pak Khadir membuat gue semakin khawatir dengan reputasi gue di sekolah ini. Gimana kalau semua anak tahu? Gimana kalau Gladys tau? Gladys adalah cewek yang gue taksir dari kelas sepuluh, kalau sampai reputasi gue dimata dia jelek, gue pasti bakal ditolak mentah-mentah! "Ya nggak lah, Pak. Saya masih waras.." kata gue ketus. "Yaudah, kamu boleh ke kelas.." kata Pak Khadir, membuat gue bernapas lega. Setelah gue lepas dari hukuman Pak Khadir, ketiga sahabat gue langsung mencegat gue. Mereka meminta penjelasan mengapa tidak dikabari soal ini. Arka yang cerewet, langsung menghujani gue dengan berbagai pertanyaan. Cowok berambut kribo tersebut tidak tahu kalau gue dan Aluna saling mengenal, begitu juga dengan Adrian dan Gabriel. Gue memang tidak pernah sekali pun menyebut nama Aluna di depan mereka. Untuk apa juga? Nggak penting kan? Arka merupakan sahabat yang bisa dibilang paling klop sama gue ketimbang Gabriel dan Adrian. Bahkan, kita mengetahui rahasia masing-masing yang Adrian dan Gabriel tidak ketahui. Arka tidak akan keberatan bila gue tahu rahasia-rahasianya begitupun dengan gue. Kita juga memiliki satu hobi yang sama, main arcade game. Kalau kita berdua udah main, Adrian dan Gabriel pasti sibuk pergi ke toko buku untuk melakukan hobinya masing-masing. Gabriel dengan buku-buku tentang pianonya, sementara Adrian dengan majalah-majalah otomotifnya. "Ini masalah penting! Masa lo gak cerita apa-apa ke kita?! Gila lo ya!" protes Adrian, sahabat gue yang famous banget di sekolah karena dia merupakan orang yang ramah kepada siapa pun. Semua tentangnya dikenal baik oleh semua siswa di sekolah ini. Reputasinya sangat baik, meskipun ia tidak pernah peduli dengan itu.. "Nggak penting." Kata gue ketus. "Tapi kalau dilihat-lihat cantik juga sih dia," cetus Arka yang membuat gue pengen banget noyor kepalanya. "Setau gue dia udah seminggu bolos sekolah, dan baru hari ini dia masuk sekolah," ujar Gabriel, "dan bareng sama lo." Lanjutnya. "Lo tau dari mana, Gab?" tanya Adrian. "Lo lupa, gue sekelas sama dia?" Gue berdecak, "Udahlah, gak penting." Ucap gue, lalu meninggalkan mereka. * Jam istirahat, seperti biasa gue dan ketiga sahabat gue berkumpul di kantin. Mereka masih terus membahas tentang Aluna sejak tadi, dan itu membuat gue makin kesal dan tidak berselera makan. Ah, gue belum lihat Aluna sejak tadi. Gabriel bilang, Aluna kembali ke kelas sejak jam pelajaran kedua selesai. Pasti saat itu hukumannya sudah selesai. "Kenapa sih, kok kayaknya lo kesel banget Van?" tanya Arka. "Lo gila ya? Gue tinggal bareng sama biang kerok begitu, apa yang harus dibanggakan? Baru ngasih tau ke satu guru aja udah dituduh nikah muda! Gimana satu sekolah tau? Terutama Gladys." Jelas gue, "Ditambah, gue akan terus kena masalah kalau gini caranya. Reputasi gue bisa hancur." "Ervan." Suara yang sudah sangat familliar, sekaligus sangat gue benci. Aluna. Kami berempat serentak memandang ke arah kedatangannya. Bisa gue lihat dengan jelas pipi kanannya yang lebam, serta luka di pergelangan tangannya. Untuk apa dia merelakan dirinya dipukuli hanya untuk membela tukang onar lainnya? Gue berdecak, namun Adrian dengan cepat menyikut lengan gue, mengisyaratkan untuk menyelesaikan masalah kami berdua dahulu. "Kenapa?" tanyaku pada Aluna. "Maaf soal tadi, gue gak akan bilang Mama kok." Katanya. Gue melirik sekeliling, beberapa siswa yang sedang berada di kantin memperhatikan kami. Mereka berbisik bertanya-tanya apa yang terjadi di antara kami berdua. Aku bangkit dari tempatku duduk, lalu berdiri dihadapannya. Semua tidak sesimpel itu. Meminta maaf, lalu dimaafkan. Gue risih. Gue nggak mau terseret masalah apa pun lagi karena dia. "Masalahnya nggak sesimpel itu." kata gue, lalu pergi. * Pulang sekolah, tawuran kembali terjadi. Pasti karena kejadian tadi pagi, SMA Bayangkara membalaskan dendamnya. Sekolah kami memang sudah biasa menghadapi hal seperti ini, tawuran sepulang sekolah. Terakhir terjadi tawuran adalah dua minggu lalu. Biasanya, seluruh pintu gerbang sekolah di tutup, dan para siswa dilarang pulang sebelum tawuran reda. Aluna. Yup, gue harus nyari dia dan melarangnya untuk ikut tawuran. Sebenci apa pun gue sama dia, gue nggak boleh melupakan ultimatum dari Mama. Karena kejadian tadi pagi saja, Aluna sudah sukses membuat pipinya lebam. Gue nggak mau dia tambah babak belur akibat tawuran. Kurang baik apa kan, gue? Yang biasanya gue dan ketiga sahabat gue ngumpul sambil melakukan hobi kami masing-masing di kelas untuk menunggu tawuran reda, saat ini gue harus mencari Aluna dan membelah kerumunan siswa yang sedang menonton tawuran dari koridor lantai dua. Menyusahkan. Gue baru saja melihat Gabriel keluar dari kelasnya, dia mengeryitkan dahi. Gue langsung bertanya, di mana Aluna. Gabriel menjawabnya dengan mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan siswa di gerbang sekolah yang sedang mencoba mempertahankan gerbang sekolah yang terus menurus dicoba diterobos dari luar. Mata gue mencari keberadaan Aluna, dan tebak, dia berada paling depan, bersama kakak kelas gue yang bernama Lukas. Mereka terlihat sedang berusaha menahan gerbang sekolah. Lukas merupakan pentolan sekolah ini. Rekor -terkena masalah terus- nya berada satu tingkat di atas Aluna. "Udahlah, memang dia kayak gitu sebelum kenal lo juga kan?" Kata Gabriel. "Kalo bukan karena nyokap gue, gue ogah kayak gini." Sahut gue. Mungkin, jika di rumah tidak ada Bibi Rini, gue akan dengan santainya membiarkan Aluna tawuran. Bahkan, gue akan masa bodo jika terjadi sesuatu padanya. Tapi di sini situasinya berbeda, Bibi Rini setiap hari datang dan akan melaporkan kejadian apa pun kepada Mama nantinya. Karena sejak dulu, Bibi Rini merupakan orang kepercayaan Mama. Gue mengepalkan tangan, mencoba menyeruak kerumunan siswa lagi untuk menuju ke lantai satu. Yup, gue akan mencoba menarik Aluna dari sana. Ini adalah keputusan terbodoh yang pernah gue lakukan seumur hidup. Gue membaca situasi, lalu berlari menuju Aluna dari pinggir lapangan. Karena pasti gue udah kena sambit batu kalau melewati tengah lapangan. Tawuran terjadi sangat ricuh, SMA Bayangkara terus melemparkan batu-batu dari luar gerbang sekolah. Gue melihat kaca pos satpam sekolah sudah hancur karena terus menerus menjadi korban akibat batu-batu itu. "Aluna!" Panggil gue, yang segera menarik pergelangan tangannya. Aluna terlihat kebingungan melihat gue yang ternyata menghampirinya, dahinya penuh dengan keringat. Rambutnya bahkan terlihat sangat berantakan, wajahnya yang tidak pernah terkena riasan terlihat kotor' "Ervan lo ngapain di sini?" Tanyanya. "Lo gila?! Kalo lo sampe mati karena tawuran, gue bisa kena masalah sama nyokap gue!" Kata gue agak berteriak, karena keadaan sangat ribut. Gue juga nggak yakin apa Aluna mendengar gue atau tidak. "Tapi kan..." "AYO!" Bentak gue padanya, dan segera menariknya pergi. Namun, baru saja gue berjalan beberapa langkah, sebuah batu kerikil yang ukurannya tidak terlalu besar, mendarat dengan mulus tepat di pelipis gue. Gue meringis kesakitan, dan segera memegangi pelipis gue. Gue bisa merasakan darah segar keluar dari sana. Oke, ini pertama kalinya gue terluka karena hal konyol. "Ervan!" Seru Aluna, lagi, ia memasang wajah seperti itu. Wajah dengan perasaan merasa bersalah. Wajah yang membuat gue semakin membencinya. Tanpa peduli dengan seruannya, gue segera menariknya pergi dari sana. Sekaligus, menyelamatkan diri gue sendiri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD