Chapter 3

1486 Words
Saat ini gue berada di ruang UKS bersama Gabriel, Adrian dan juga Arka. Gue menyuruh Aluna pergi setelah gue bertemu mereka tadi. Gabriel dengan hati-hati mengobati luka yang ada di pelipis gue. Untungnya, luka tersebut bukanlah luka yang parah katanya. Masih bisa ditangani tanpa harus dijahit. Konyol. Baru dua hari sejak gue tinggal bersama Aluna, dia sudah menyebabkan masalah segini parahnya. Gue nggak bisa membayangkan masalah apa lagi yang akan timbul kedepannya. Jujur, gue merasa nggak sanggup ngadepin ini semua. Seperti kalian tau, kami berempat dikenal sebagai siswa teladan di SMA Adhi Bangsa. Kami tidak pernah terlibat dengan masalah apa pun di sekolah, hanya ada prestasi bagi kami. Entah itu mengikuti lomba antar sekolah atau provinsi, bahkan Gabriel pernah dikirim ke luar negeri untuk lomba piano di sana. Keren kan? Gue sendiri beberapa kali dikirim oleh wali kelas gue untuk mewakili sekolah di lomba cerdas cermat serta olimpiade sains bersama Adrian. Jadi, jika kami berempat, dan gue khususnya, terus menerus terlibat dalam masalah, prestasi kami akan terganggu. "Terus kedepannya, lo mau gimana Van? Kayaknya lo harus diskusiin masalah Aluna ke orang tua lo deh. Gabisa kayak gini terus kan?" protes Arka, yang sepertinya juga lumayan terganggu dengan masalah ini. Dia memang selalu satu jalan pikiran dengan gue. "Tapi gue yakin dia bisa berubah kok." Sahut Adrian. Seperti yang gue bilang tadi, semua tidak sesimpel itu. Kalau seandainya seorang Aluna bisa berubah, kenapa tidak sejak dia tinggal di rumah gue aja dia memiliki keinginan untuk berubah? Apa dia memikirkan perasaan nyokap gue kalau tahu tentang ini semua? Cepat atau lambat, wali kelas gue pasti akan membicarakan hal ini kepada gue. Dan sialnya, Mama dan Papa juga sedang tidak berada di Jakarta. Siapa yang akan menangani masalah ini selain gue? Nggak mungkin kan mereka kembali ke Jakarta hanya untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh Troublemaker itu? Masalah perusahaan Papa di Surabaya saja sudah cukup menyusahkan mereka. "Jadi, nyokap bokap gue lagi di Surabaya dan nggak tau kapan pulangnya. Perusahaan di sana lagi kacau-kacaunya, dan anak macam apa gue kalau harus menyeret mereka juga dalam masalah Aluna ini?" jelas gue. Gue menghela napas. Selagi gue berpikir bagaimana cara untuk menyelesaikan dan membuat Aluna merubah sikapnya, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruang UKS. Oke. Itu Gladys. Hari ini aku sama sekali belum bertemu dengannya karena terlalu sibuk dengan Aluna. Aku tersenyum kikuk, ekspresiku berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat wajah cantik Gladys. Kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung karena ia memiliki darah Arab sepertiku, serta alisnya yang tebal. Seperti biasa, ia membiarkan rambutnya yang ikal tergerai dengan sebuah jepit rambut yang berada di sisi kanan rambutnya. Dia cantik. Gladys merupakan salah satu cewek berprestasi di sekolah, sama seperti gue. Kami bertama kali bertemu saat kami mengikuti lomba cerdas cermat antar kota. Semenjak itu, kami sangat dekat namun tidak memilih untuk merubah status kami menjadi berpacaran. Gue dan Gladys memutuskan untuk fokus pada pelajaran dan tetap saling menjaga perasaan kami masing-masing. Selain aktif mengikuti berbagai kegiatan lomba, Gladys juga merupakan anggota Organisasi Siswa di sekolah. Dia menjabat sebagai wakil ketua. Ekstrakulikuler basketnya juga cukup menyita waktunya, jadi, keputusan tepat untuk tetap berteman baik tanpa harus berpacaran. Gue tidak keberatan. "Ada apa Dys?" tanya gue. "Boleh gue bicara berdua sama Ervan?" tanyanya kepada ketiga sahabat gue, dan mereka mengangguk. Oke, sepertinya dia sudah mendengar topik yang sangat hangat hari ini antara gue dan Aluna, si cewek troublemaker. Saat ini Gladys juga berwajah serius, membuat gue agak takut dia akan menjauhi gue. Setelah ketiga sahabat gue itu keluar dari ruangan, Gladys duduk di samping gue. Dia menatap gue lamat-lamat lalu bertanya, "Kata orang-orang itu bener, Van? Kok bisa?" Tepat dengan dugaan gue, Gladys bertanya tentang itu. Dan gue pun mengangguk, memilih jujur karena memang tidak ada gunanya berbohong pada Gladys. Dia akan tahu jika kalian berbohong beberapa detik setelah kalian berbicara. Oh ya, Gladys juga sangat dekat dengan Mama. Dia beberapa kali datang untuk belajar bersama di rumah gue. Kita juga sering menghabiskan akhir pekan bersama jika ada waktu luang. "Mama sama Papa kan deket sama orang tua Aluna sejak kita kecil, jadi Mama memutuskan untuk bantuin Aluna. Dia nggak tega kalau mesti naro Aluna di panti asuhan." Jelas gue, "Tapi kamu nggak perlu khawatir soal ini kok, aku bisa ngatasinnya." Lanjut gue, meyakinkan Gladys. "Aku nggak masalah kok, aku juga setuju sama Mama kamu. Tapi kenapa kamu nggak cerita ke aku soal ini? Kamu juga nggak pernah cerita tentang kamu dan Aluna yang udah deket dari kecil." Gue menghela napas, "Aku nggak merasa deket sama dia dan aku nggak suka dia dari kecil. Meskipun waktu kecil dia nggak nakal, sih. Nggak tahu juga kenapa dia sampe begitu sekarang." "Oh ya, Bu Yani nyuruh aku manggil kamu sebenarnya. Dan wali kelas Aluna juga sedang nunggu kamu di ruang guru. Kayaknya kamu bakal terlibat masalah." Sepertinya memang sejak kemarin gue terlibat masalah. Dan hari ini, masalah itu semakin menjadi-jadi. * Di ruang guru sudah berada wali kelas gue Bu Yani, wali kelas Aluna Bu Diyah dan juga Aluna. Mereka menunggu gue sejak tadi. Tampang Bu Yani sudah serius, dia terlihat kecewa dan meminta penjelasan gue. Gue duduk di sebelah Bu Yani, melirik ke arah Aluna sebentar. Cewek itu menundukan pandangannya, tidak berani menatap gue ataupun wali kelas kami. "Ervan, apa benar sekarang Aluna tinggal di rumah kamu?" tanya Bu Yani, gue mengangguk. "Kamu bisa panggil orang tua kamu besok? Bagaimana pun wali Aluna sekarang adalah orang tua kamu. Aluna tidak bisa seperti ini terus, dia anak perempuan." Kata Bu Diyah. Gue cepat-cepat menggeleng, "Orang tua saya sedang ada masalah di Surabaya, mereka tidak bisa datang. Untuk masalah Aluna, biar saya yang akan mengurusnya." Kata gue. Ini pertama kalinya gue datang ke ruang guru bukan untuk membicarakan soal olimpiade sains, cerdas cermat atau perlombaan. Tapi karena gue kena masalah. "Maafin saya Bu, saya nggak bisa diem aja kalau teman saya sendiri dipukulin. Saya juga nggak bisa diem aja dong sekolah saya diinjak-injak harga dirinya." Ucap Aluna, akhirnya dia mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang sama sekali tidak ada penting-pentingnya. "Aluna, Ibu sudah berkali-kali bilang sama kamu. Kamu ini anak perempuan, oke, kamu juara taekwondo, kamu jago berantem. Tapi apa harus kamu melakukan itu semua?" tanya Bu Diyah yang sepertinya sudah lelah dengan kelakuan Aluna. "Kamu bisa menggunakan keahlian kamu untuk hal lain, untuk membanggakan sekolah kita. Kalau sekolah kita punya beribu kebanggaan, untuk apa kita meladeni sekolah tetangga yang bersikap kekanakan?" lanjutnya. "Ibu nggak ngerti, semua itu berbeda–" "Aluna! Bisa nggak sih lo jaga sikap!" bentak gue memotong argumennya yang nggak penting dan berguna, yang membuat kedua wali kelas kami terkejut. "Bu, seperti yang saya bilang, saya akan bertanggung jawab atas Aluna selama orang tua saya pergi." Kata gue. "Saya permisi." Lanjut gue, lalu pergi meninggalkan ruang guru. * Gue pulang sekolah tanpa Aluna. Gue nggak tahu di mana keberadaan dia sekarang, dan sudah jelas Mama marah-marah sama gue karena gue ninggalin dia. Mama nggak tahu soal Aluna yang ikut tawuran sampai wajahnya lebam-lebam, dan nggak tahu soal gue yang juga terluka. Gue melarang Bi Rini untuk memberitahu Mama soal ini dengan alasan agar Mama fokus untuk menyelesaikan masalah perusahaan Papa di sana. Untung saja, Bi Rini setuju sama gue. Jam sudah menunjukkan jam sembilan malam, tapi Aluna tidak ada tanda-tanda akan pulang. Sementara Mama sejak tadi sudah sibuk menelepon dan mengirimi gue Whats App, menyuruh gue mencari cewek itu. Lagi-lagi, gue terganggu. Gue menutup buku pelajaran, lalu memasukkannya ke dalam tas. Gue mengambil jaket gue dan segera pergi untuk mencari Aluna yang gue aja nggak tahu dia lagi di mana sekarang. Mama mengirimi nomer ponsel Aluna, dan gue segera meneleponnya. Nomornya tidak aktif. Gue menggeram kesal, lalu membuka gerbang rumah, berniat mengeluarkan motor. Baru saja gue membuka sedikit gerbang rumah, gue melihat Aluna yang sedang berjongkok di samping pot tanaman yang sengaja di taruh Mama di samping gerbang rumah. "Lo ngapain di sini? Dari kapan?" tanya gue yang kebingungan. Aluna bangkit, ia tidak berani menatap gue. "Baru aja kok." Katanya singkat, lalu masuk ke dalam rumah melewati gue. Apa-apaan maksudnya? Kan dia yang seharian ini menyebabkan masalah, kenapa gue yang harus merasa bersalah gini? Gue segera menutup kembali pintu gerbang rumah, lalu berlari kecil untuk mengejarnya. Gue menarik lengannya agar dia melihat gue. Kali ini, gue benar-benar marah. "Maksud lo apa? Kenapa lo harus masang wajah seakan-akan gue yang salah?" Tanya gue, membentaknya. Aluna meringis kesakitan karena gue yang terlalu keras mencengkram pergelangan tangannya. Apalagi, di sana terdapat luka akibat kejadian tadi pagi. "Gue nggak begitu, kok. Lepasin." Katanya, mencoba melepaskan cengkraman tangan gue. "Sampe kapan lo mau kayak gini? Lo bahkan belum seminggu tinggal di sini, tapi udah bikin banyak masalah! Lo gatau orang tua gue lagi kesulitan, hah?!" Hening. Aluna merunduk, dia diam. "Gue nggak mau lo bikin masalah lagi. Cukup jadi cewek normal kayak yang lain, bisa?" pinta gue, "Kalo lo nggak mau ngelakuin ini demi gue, seenggaknya demi nyokap gue." Gue segera melepaskan cengkraman tangan gue, dan Aluna pergi begitu saja. Gue bisa mendengar dia menangis, namun gue tidak mempedulikannya. Dia lah yang menyebabkan masalah, dan dia juga yang harus merubah sikapnya sendiri. Bukan gue. Sebelum gue pergi ke kamar, gue mengambil kotak P3K dari kamar Mama dan menaruhnya di depan pintu kamar Aluna. Kurang baik apa gue?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD