✉ 2 || Riga Nara Neonatha

1083 Words
    Begitu kakak panitia memberi waktu para peserta MOS untuk beristirahat, aku segera berjalan ke arah pintu keluar aula. Tapi sebelum kakiku berhasil mengakses pintu, tanganku sudah terlebih dahulu ditahan seseorang. Si pelaku adalah cowok berkacamata yang kalau tidak salah adalah teman sekelasku di kelas sementara saat MOS.     Cowok itu tampak kebingungan sebentar. Lalu tampak ragu-ragu untuk berbicara. Akhirnya, aku duluan yang buka suara. "Ada apa?"     "Maaf, boleh nggak kalau kita tukeran posisi?" tanya cowok itu.     Aku mengernyit. Lebih karena tidak paham dengan omongannya. "Maksud lo apa?"     "Ehm, saya tidak sanggup kalau jadi ketua kelas. Tapi saya bersedia jadi wakil ketua kelas," ujarnya takut-takut.     Ya, tadi pagi, kakak pantia MOS membagi kepengurusan kelas sementara untuk kelas kami. Cowok di depanku ini dipilih sebagai ketua kelas secara sepihak oleh kakak panitia. Rupanya dia tidak sanggup mengemban tugas itu.     Aku sendiri terpilih sebagai wakilnya. Tadi pagi, dia juga yang memintaku memimpin barisan. Padahal dia ketuanya. Benar-benar cowok yang payah.     "Oke, kita tukeran posisi." Aku setuju.     Cowok itu kembali tampak berpikir. "Kita harus laporan terlebih dahulu ke kakak panitia."     Aku menghela napas sambil melirik jam di pergelangan tanganku. Waktuku tersita lumayan banyak. Padahal aku masih harus pergi mengecek surat yang kuterima tadi pagi. Bukannya aku mempersulit diri, tapi aku harus mengecek surat itu di tempat yang sungguhan sepi.     "Oke, ayo cepetan. Gue masih ada urusan nih!" seruku mulai tak sabar.     Cowok itu mengangguk antusias. Kami menemui kakak kelas yang mengampu kelas sementara kami. Kami bicara dengan kakak panitia itu selama beberapa saat. Setelah memberi alasan ini dan itu agar boleh bertukar posisi, kami pun diperbolehkan pergi.     Sialnya, baru beberapa langkah menjauh dari kakak panitia itu, bel tanda istirahat sudah selesai berbunyi.     Banyak murid baru yang mulai berjalan kembali ke aula. Tapi kuputuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke aula.     Aku mempercepat langkahku. Tapi belum sampai toilet, aku terpaksa berhenti melangkah. Baru saja aku ditabrak oleh seseorang. Untung saja keseimbangan tubuhku baik. Aku masih berdiri tegak sedangkan orang yang menabrakku tampak terhuyung-huyung lalu terjatuh ke lantai. Aku sedikit merasa tidak enak karena membuat seorang cewek terluka. Yah, tapi kan jatuh ke lantai tidak akan membuatnya luka parah.     Sebenarnya aku hendak mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Namun pergerakan cewek itu cepat juga. Cewek itu segera berdiri dengan tenaganya sendiri dan mulai merapikan roknya. Ia juga menggumamkan kata maaf yang kurasa ditujukan untukku, lalu nyelonong pergi ke aula.     Rupanya dia anak baru juga, sama sepertiku. Aku masih mengamatinya hingga beberapa detik kemudian. Aku sih tidak tertarik pada cewek itu. Aku lebih tertarik pada sebuah surat yang ia selipkan di saku rok seragamnya. Mungkin karena tadi ia terjatuh, surat yang ia simpan di dalam roknya pun sedikit terdorong keluar. Alhasil, aku bisa melihatnya.     Aku bisa menebak kalau cewek itu juga mendapat surat sejenis surat yang aku terima. Ya, surat itu juga berwarna hitam sama seperti surat yang kutemukan. Aku jadi penasaran, apakah cewek itu yang memberiku surat ataukah dia juga salah satu penerima surat? Mungkinkah ada banyak orang yang mendapat surat semacam ini?     Dari pada menebak-nebak tak jelas begini, lebih baik aku langsung menuju ke toilet dan melihat sendiri isi surat yang kuterima itu.     Aku bersandar di dinding toilet. Toilet ini benar-benar kosong jadi aku merasa leluasa untuk membaca surat ini tanpa takut ada yang memergoki. Bukannya aku bertindak kriminal, hanya saja aku kan belum tahu isi surat ini apa. Bahaya kalau ternyata surat itu adalah surat perekrutan untuk menjadi bandar n*****a di sekolah dan kebetulan ada saksi mata yang melihat aku mendapat tawaran itu. Pokoknya, surat ini rahasia banget deh.     Surat ini sudah membuatku kehilangan fokus sejak tadi. Aku terus menebak-nebak isi surat ini. Padahal belum tentu juga surat ini sepenting itu untuk kupikirkan. Tapi ya sudahlah. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Sekarang aku hanya perlu membaca surat ini. ✉ Untuk Riga Nara Neonatha Hallo, Riga. Kamu mendapat kesempatan untuk menjadi kandidat Raja dan Ratu Sekolah. Silakan datang ke ruang makan setelah acara MOS hari ini berakhir. Temui kandidat yang lain dan kamu akan mendapat keseruannya. Kesempatanmu ini tidak akan datang dua kali. Salam hangat, Raja dan Ratu Sekolah ✉     Leluconkah ini? Aku masih merenung. Benarkah masih ada Raja dan Ratu Sekolah yang akan mengatur seluruh kehidupan di sekolah ini?     Aku hanya bisa terdiam. Ada rasa senang sekaligus kecewa. Aku menaikkan sebelah alisku, tanda aku sedang berusaha berpikir serius. Mataku menyapu surat itu sekali lagi. Ternyata jabatan itu memang masih ada sampai saat ini.     Rasa kecewa memang yang paling mendominasi hatiku saat ini. Keterlaluan banget mereka ini. Harusnya, jabatan itu sudah ditiadakan.     Aku berpikir ulang. Apa tujuan mereka? Bagaimana bisa mereka memintaku menjadi salah satu kandidat? Apakah ini kebetulan atau memang sudah direncanakan? Apakah mereka tidak tahu siapa aku?     Aku meninju tembok di hadapanku. s**l, tanganku jadi sakit sekarang!     Aku memilih keluar dari toilet yang pengap untuk mendinginkan otak dan hatiku. Rasa sesak sedikit berkurang saat aku sudah berdiri di depan toilet. Aku meremas surat itu dan memasukkannya ke dalam saku celana.     Aku menghela napas. Mungkin memang seharusnya aku menjadi kandidat. Dengan begitu, aku memiliki akses untuk mengetahui siapa saja orang yang ada di balik layar s****n itu.     Aku berjalan kembali ke aula. Beberapa panitia tampak berjaga di pintu masuk. Aku harus membuat alasan yang logis agar diperbolehkan masuk ke dalam. Walau sebenarnya aku tidak keberatan kalau tidak diperbolehkan mengikuti sesi-sesi MOS ini. Tapi aku masih waras untuk tidak cari masalah mengingat aku hanyalah anak baru di SMA ini. o0o     Aku akhirnya bisa masuk ke dalam aula. Sebenarnya tadi hampir saja aku mendapat hukuman dari kakak panitia yang super resek. Sepertinya dia gatel banget pengen menghukum anak baru. Untunglah ada ketua panitia—yang cukup bijaksana—yang membelaku.     Aku duduk di barisan belakang dan menempati kursi yang tersisa. Selang beberapa kursi dari tempatku duduk, aku bisa melihat cewek yang menabrakku tadi sedang melamun. Pasti dia gagal fokus karena surat yang ia terima itu. Yah, kurang lebih sama sepertiku.     Aku jadi bertanya-tanya, apa dasar pemilihan Raja dan Ratu Sekolah ini. Jujur saja, cewek yang tadi menabrakku itu sama sekali tidak cantik. Penampilannya terlalu standar. Pasti ada kriteria tertentu kan dalam pemilihan kandidat?!     Kalau aku, kurasa aku lumayan populer saat SMP. Aku mudah bergaul dan punya banyak teman. Aku juga lumayan berprestasi. Bisa dibilang aku sering menyumbang piala untuk sekolahku dulu. Tapi aku sih tidak peduli karena kriteria apa aku dipilih. Kurasa semua ini sudah direncanakan. Mereka sengaja merekrutku.     Kalau sampai aku berhasil memergoki siapa saja dalang di balik pemilihan Raja dan Ratu Sekolah, akan kupastikan mereka semua menanggung akibatnya.     "Dek, duduk yang tegak," tegur kakak panitia pada siswa di sebelahku.     Mau tak mau, aku harus berpura-pura memperhatikan sesi MOS yang tengah berlangsung kalau tak mau kena tegur juga. Aku melirik ke jam tangan warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sebentar lagi, sesi MOS akan berganti. Semoga saja acaranya lebih seru. o0o
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD