Satu

2420 Words
Dua tahun yang lalu.. Semilir angin di siang hari menerpa kawasan pemakaman di bilangan Jakarta, menimbulkan suara gemerisik dedaunan di pohon yang saling bersentuhan. Bulan ini memang memasuki musim pancaroba, padahal satu jam yang lalu masih terasa teriknya matahari, dan saat ini sudah tampak mendung. Tinggal menunggu beberapa menit lagi mungkin hujan deras akan turun tanpa gerimis. Sudah lebih dari satu jam Garin berdiri di depan sebuah makam yang bersebelahan dengan dua makam penyandang nama belakang yang sama dengan Garin. Sebenarnya Garin membenci makam di hadapannya, hanya saja Garin tidak tau harus berlari kemana jika ingin menemuinya. Setidaknya melihat nama lengkap beserta tanggal lahir yang terukir pada nisan itu, sedikit mengobati rasa rindunya terhadap sosok yang tidak pernah Garin percaya berada dibalik gundukan tanah ini. Tebakan Garin tidak salah, hujan deras turun seketika, menandakan kunjungannya hari ini sudah cukup. Garin berlari mencari tempat berteduh untuk menunggu hujan reda, namun ditengah langkah cepatnya sambil menutupi kepala dengan tasnya, Garin melintasi sebuah makam dengan pengunjungnya yang tidak beranjak meski hujan turun semakin deras. Mata Garin memicing, pemakaman ini tampak sepi, melihat seorang cewek berjongkok dengan rambut lepek akibat terguyur hujan membuat Garin sedikit bergidik, jika saja Garin tidak menyadari seragam batik yang dikenakan cewek itu. Motif seragam batik yang sama dengan yang digunakan Garin. “Lo gak berasa ini ujan, ya?” pertanyaan Garin ditujukan kepada cewek itu, sedikit berteriak agar tetap terdengar ditengah hujan deras. Cewek itu menoleh ke asal suara, menatap Garin yang berdiri dengan tas masih di atas kepalanya. “Yaa tau, emangnya kulit gue water poof.” “Ohh, oke.” Lalu Garin kembali melanjutkan langkahnya. Tanpa Garin duga, cewek itu berlari mengikutinya, “Gue gak tau tempat berteduh disini, keliatannya kayak gak ada tempat buat neduh. Kalo harus jalan sampe depan, tetep aja terlanjur basah kuyup.” “Baru pertama kali kesini?” “Udah tiga kali si, tapi baru semingguan ini.” Garin mengangguk, lalu kepalanya mengarahkan pada pos jaga setiap blok di pemakaman tersebut. “Oh iya.” Keduanya mempercepat langkah mereka agar segera sampai pada pos tersebut. Sesampainya disana mereka mengusap wajah masing-masing yang masih dipenuhi air hujan. “Ternyata lo kalo bolos kesini ya, Garin?” Garin menoleh pada cewek yang ternyata mengetahui namanya itu. “Kita temen sekelas, saking jarangnya lo masuk kelas ampe gak kenal temen sendiri ya.” Cewek itu langsung menjawab menyadari kebingungan di wajah Garin. “Nama gue Hera.” Katanya tanpa ditanya. “Oh, sorry. Gue gak terlalu kenal anak-anak cewek barisan depan. Lo pasti duduk di depan kan?” “Bener si.” Hera berusaha mengeringkan rambutnya yang sangat lepek, sampai ia kembali bersuara. “LDKS juga lo gak ikut kayaknya.” “Ngapain ikut, gue gak punya cita-cita jadi presiden.” Hera berdecak, Garin benar-benar mengartikan Kepemimpinan dalam LDKS sebagai pemimpin negara. “Harusnya kita kenal sebelum LDKS sialan itu ya, pasti gue gak bakal ikut.” “Sengeselin itu ya panitianya?” Hera hanya mengangguk, namun tidak meyakinkan. Percakapan mereka terhenti sementara disana, kini keduanya sibuk membetulkan seragamnya yang lepek. Hujan masih turun begitu deras, Garin bukan tipikal orang yang gemar menerjang hujan saat berkendara motor. Ia tidak suka air hujan menghalangi penglihatannya. “Jangan bilang siapa-siapa kalo lo ketemu gue disini ya?” Hera menoleh sesaat, terkekeh pelan. “Gue gak sebawel itu kok.” Garin tersenyum kecil mendengar jawaban Hera. “Lo pasti udah sering ke tempat ini ya? Gue mau nanya, boleh?” “Apa?” “Gimana cara lo ngatasin rasa sesak di d**a lo, seolah gak terima, tapi dipaksa ikhlas, nyesel sama tindakan lo, tapi gak memperbaiki apapun. Gue pengen nangis, tapi ngerasa gak berhak nangis.” Suara Hera perlahan memelan, tidak seriang suaranya saat terlibat percakapan sebelumnya dengan Garin. “Gue rasanya mau gila.” “Kenapa nanya ke gue?” “Karena gue yakin lo pernah ngerasain itu, dan lo berhasil mengatasinya.” Garin diam sesaat, kemudian menjawab. “Gue gak percaya sama nama yang ada di nisan itu, jadi gue gak pernah ikhlas dan berusaha nerima kayak yang lo bilang.” Hera mengerutkan dahinya, tidak mengerti dengan jawaban Garin. Garin tidak memperjelas ucapannya di hari itu, meskipun Hera bertanya apa maksudnya. Namun ternyata di hari-hari berikutnya, mereka terus bertemu, membuat keduanya semakin dekat, hingga Garin kembali mempercayai bahwa ia masih berhak memiliki satu harapan lagi. Untuk tetap bersama Hera apapun yang terjadi.   ***   Felisia memutar bola matanya menyusuri setiap sudut kantin sekolahnya, hampir semua bangku kantin terisi penuh. Namun sebenarnya ia tak perlu khawatir, di salah satu bangku kantin terlihat kedua temannya sudah menempati meja, Anggita dan Azura terlihat sedang menyantap makanan mereka masing-masing sambil menunggu Felisia datang. Felisia pun berjalan ke bangku dimana Anggita dan Azura duduk, ia duduk sesaat di sebelah Azura, menyedot minuman yang sudah di pesan untuknya oleh kedua temannya ini. Mata Felisia kini kembali memutari kantin, sampai pandangannya jatuh pada seorang siswa yang duduk tak terlalu jauh darinya. "Git, Ra, gue mau ngasih mimpi buruk ke Garin dulu yaa." kata Felisia kepada kedua temannya, ia berdiri, namun tangannya iseng memasukan bakso yang di pesannya ke dalam mulutnya, hingga mulut itu menggembung. Senyuman jail tercipta di bibir Felisia, saat melihat Garin sedang makan di kantin bersama seorang siswi berambut pendek yang Felisia ketahui berasal dari kelas Sepuluh Satu. Felisia yakin sekali, siswi itu bukanlah orang yang kemarin Garin bawa mojok di kelas. "Hai, Sayang.." sapa Felisia, tangannya bergelayut manja, melingkar di leher Garin. "Kamu kok ke kantin gak ngajak aku?" Felisia mulai berlagak, suaranya di buat semanis dan semanja mungkin, matanya menatap Garin dengan binar. Garin sudah hafal, pasti cewek aneh itu lagi yang mulai bertingkah. Segala tingkahnya membuat Garin muak setengah mati. Dengan kasar Garin menepis tangan yang masih melingkar di lehernya. "Lo apasih? Suka gak jelas!" sentak Garin, menepis tangan Felisia dari lehernya. "Emm, dia siapa, Kak?" cewek berambut pendek yang makan berhadapan dengan Garin melirik Felisia dengan pandangan tidak suka. "Gatau, orang gila kali." cetus Garin asal. Meski nyatanya Garin selalu menganggap cewek itu benar benar gila. "Hey, Garin Sadin!" Felisia memekik dengan suaranya yang terdengar di tegaskan. "jadi lo nganggep gue orang gila, setelah apa yang lo lakuin sama gue semalem, Hah?" Felisia yang overakting menatap Garin dengan jengkel, manik matanya menatap Garin dengan tatapan kesal. "Apa? Dia pacar Kakak?" cewek berambut pendek itu tampak shock dengan ucapan Felisia, dalam hati Felisia ngakak abis. "Heh cewek bego! Gue yakin lo pasti tau kan tentang si b******k satu ini? Kenapa lo masih mau di ajak makan bareng sama si b******k sialan ini sih?" Felisia menggentak cewek berambut pendek itu, sambil tangannya menunjuk nunjuk Garin. Tanpa banyak bicara dan mengeluarkan banyak suara, cewek itu berdiri dengan kesal. Tatapannya tersirat rasa kecewa yang begitu besar. Felisia yakin, cewek itu pasti salah satu penggemar Garin di sekolah ini, dia pasti berjingkrak dengan gembira saat Garin mengajaknya ke kantin bareng. Dan Felisia bisa menebak, pasti cewek itu langsung berlari ke toilet dan menangis dengan tersedu sedu karena kelakuan Felisia. Felisia bukan jahat, justru dia gak mau bikin cewek polos itu terjebak sama permainan Garin. Garin kan hobi banget ngedeketin dan ninggalin cewek sesuka hatinya. "Sampai kapan sih lo mau ganggu hidup gue, hah?" Garin memandang Felisia dengan pandangan frustasi, frustasi menghadapi kelakuam cewek rese ini. "Sampe elo menyadari kalo gue ini satu-satunya cewek yang menerima lo apa adanya. Uh, soswit banget kan gue." Saut Felisia ringan, di sertai seringai jailnya. Garin memicingkan matanya memperhatikan wajah Felisia yang rambutnya dikuncir satu dengan tinggi, wajah Felisia memang gak jelek, tapi kelakuannya gak bagus. "Mending gue jadi maho kalo cewek tuh Cuma elo satu-satunya" ketus Garin sambil bergidik kegelian. "Tuh kan, begonya suka gak kira-kira, memahami konteks kalimat gue aja gak bisa. Kan gue bilang ‘satu-satunya cewek yang menerima lo apa adanya’ bukan berarti gue cewek satu-satunya, t***l. Tapi kayaknya gue harus berpikir ulang, kasian kan kalo nanti kita punya anak, dan ternyata anak gue malah jadi bego kayak lo. Ih, bisa hancur dunia persilatan." Garin bergidik. Kalo selama ini Felisia menyebutnya bego, gak punya otak, atau apalah itu, jika memikirkan ucapan Felisia perihal anak mereka nantinya, Garin benar-benar tidak kebayang. Gen kebodohan Garin bercampur dengan kegilaan Felisia. Benar-benar hancur dunia persilatan. Ah sial, kenapa Garin ikutan berpikir tentang anaknya dan Felisia? Disuruh jadi pacar cewek inipun dia gak sudi. Dengan raut wajah kesal bercampur frustasi, tampang yang selalu di tunjukan Garin setelah berurusan dengan Felisia, Garin berdiri dengan mendorong meja kantin, lalu pergi meninggalkan Felisia terduduk di bangkunya. Felisia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya menatap kepergian Garin. Rasanya ia takkan pernah puas untuk menggoda Garin. Tanpa berlama lama di bangku bekas Garin, Felisia kembali ke bangku kantin yang semula. Dimana ada kedua temannya yang masih menunggunya disana. "Udah gangguin Kak Garinnya?" tanya Azura ketika melihat Felisia kembali terduduk di sampingnya. Tangan Felisia mengambil sebotol saus untuk di semprotkan kedalam mangkuk berisi baksonya yang sudah agak mendingin. "Cih, Kak Garin. Jelas-jelas dia gak naek dan sekelas sama kita. Kenapa lo pada nurut ajasih disuruh manggil dia Kakak." sunggut Felisia, yang pasalnya, dia adalah satu-satunya anak kelas sepuluh yang tidak mau memanggil Garin dengan embel-embel Kakak di depannya. Padahal Garin udah memberi pengumuman untuk semua siswa kelas sepuluh memanggil dirinya Kakak. Karena biar bagaimanapun, Garin sudah beresekolah dua tahun lebih lama daripada mereka. Tapi Felisia gak peduli, dua bulan duduk sebangku dengan Garin, sedikit banyak Felisia mengenal Garin. Garin gak bakalan berbuat kasar sama cewek. Dan meski tampangnya frustasi setiap ngeliat Felisia, Garin itu tukang ojek paling setia bagi Felisia. Karena setiap hari selalu anter jemput Felisia. Ajaib kan? "Apasih keuntungan lo ngegodain dia, Fel? Gue rasa dia bener bener nganggep lo musibah terbesar di hidupnya deh." Anggita berkomentar, sambil tangannya mengotak atik tab-nya. "Gemas tau liat Garin frustasi gitu. Duh gue punya kesenangan tersendiri buat semua itu." Anggita dan Azura terkekeh mendengar penuturan Felisia. “Sebenernya lo suka beneran gak sih ama dia?" Azura menopangkan dagunya menatap Felisia yang tampak semangat menikmati suap demi suap makanannya, sambil sesekali ia menyedot minuman yang tersedia di sampingnya. “Yaa enggaklah. Kecuali kalo dia ikut pertukaran otak kayak Patrick terus jadi pinter.” Kedua temannya hanya menggelengkan kepala mendengarkan penjelasan Felisia yang cukup gila ini. Anggita jadi merasa bersalah, kalo aja dia dulu mau duduk sebangku sama Felisia, mungkin Felisia gak bakal sebangku sama Garin. Habis mau gimama lagi, Azura sudah datang lebih dulu menempatkan tempat duduk untuknya. Felisia gak marah kok, wajar kan? Anggita dan Azura kan temen dari smp. Kalo sama Felisia mereka akrab pas mos aja. Lagipula, terlepas dari bodoh, b******k, dan mudah emosi tiap kali berhadapan dengan Felisia, Garin tidak terlalu buruk.   ***   Pelajaran sudah masuk jam ke delapan, dua jam lagi bel pulang akan berbunyi. Namun jam jam seginilah para murid berada di titik jenuh dan depresi otak karena dalam sehari harus menghadapi sepuluh mata pelajaran yang bikin otak sulit bernafas. Kebetulan guru pelajaran selanjutnya belum masuk, Garin yang gak pernah peduli sama pelajarannya pun langsung menyambar tas gembloknya dan beranjak untuk keluar dari kelas sumpek ini. Berjalan dengan tanpa dosa seakan bel pulang sudah berbunyi, masyarakat kelasnya sih udah gak aneh sama tingkah Garin yang kayak gini. "Mau kemana?" Tanya Felisia yang duduk sebangku dengan Garin, saat melihat Garin bergegas untuk pergi dari kelas. "Lo mau tawuran yaa?" Tebak Felisia sekenanya, karena biasanya sih begitu. "Bukan urusan lo!" Saut Garin cuek lalu melenggang pergi meninggalkan kelasnya. Felisia pun berdiri dari duduknya, lalu berjalan mengikuti Garin di belakang. Langkah Garin cukup cepat untuk bisa di imbangi oleh Felisia. "Lo ngapain?!" Garin berbalik ke kebelakang karena menyadari Felisia mengikutinya. "Ikut sama lo." Saut Felisia enteng. Lagi-lagi Garin memandang Felisia dengan tatapan seperti ini, hanya pada Felisia, Garin menatap seperti itu. Tatapan kesal sekaligus frustasi. "Jangan ngaco! Masih ada dua pelajaran lagi yang harus di ikutin anak pinter kayak lo!" "Oh makasih Garin, gue gak nyangka lo mengakui kecerdasan gue." Felisia tersanjung di iringi senyuman khasnya. "Lo tau masih ada dua pelajaran lagi, kenapa lo malah pergi?" Felisia menatap Garin penuh selidik. Seolah bodoh dan b******k masih belum cukup, rutinitas Garin yaitu tawuran sudah jelas tidak ada faedahnya. "Itu urusan gue, bukan urusan lo!" Rahang Garin kini serasa mengeras, selalu seperti itu, darahnya selalu drastis naik ketika menghadapi cewek menyebalkan sedunia akhirat ini. "Yaudah, kalo gue ikutpun, itu urusan gue, bukan urusan lo!" Felisia membalikan omongan Garin, lalu kini berdiri di samping Garin, dengan senyum mengembang penuh kemenangan. "Sekarang, kita mau kemana?" Tanya Felisia penuh semangat, membuat mata Garin melotot. Untung saja Garin pantang kasar terhadap cewek, kalau tidak, mungkin Felisia sudah akan di tonjoknya sampai memuntahkan darah, kalau perlu sampai masuk UGD, lalu di jamin tidak akan bisa keluar dari rumah sakit lagi kecuali untuk di oper ke ruang mayat untuk kemudian di masukan ke liang kubur. Yaa, ingin sekali Garin berbuat seperti itu pada cewek menyebalkan ini. Kalau tidak ingat Felisia masih lima belas tahun, yang ada Garin terjerat kasus kekerasan pada anak dibawah umur. "Gue yang mau pergi, bukan kita!"  Garin menegaskan ucapannya, sambil mata merahnya melotot pada Felisia. Terkadang, Garin juga suka bersikap biasa pada Felisia, kalo Felisia nya gak betingkah bikin Garin kesal, Garin juga tak akan seperti itu. "Yaelah, gue gak minta gendong kok." Felisia merengek, sambil memasang tampang innocent agar dapat di ajak. Garin berpikir sejenak, sebelum akhirnya menghembuskan nafas berat sambil berkata. "Ambil tas lo sana." akhirnya Garin tak dapat berbuat apa apa, meski ia tau Felisia sudah sering sekali ikut bersamanya. "Emang harus bawa tas yaa? Biasanya enggak." "Gue gak mau nganterin lo balik lagi ke sekolahan buat ngambil tas yaa." "Oh, oke oke. Lo tunggu sini yaa, jangan kabur. Kalo sampe kabur.." Felisia menghentikan ucapannya sambil tersenyum misterius. "Jangan harap besok lo duduk di bangku, gue pastiin lo besok ngedeprok di kelas." "Terserah lo, udah cepet!" Felisia segera berlari kecil kembali ke kelasnya untuk mengambil tasnya. Setidaknya Felisia bisa percaya kata kata Garin. Garin itu gak pernah bohong sama dia, yaa sekiranya sampai detik ini begitu. Saat kaki Felisia kembali melangkah ke kelas, suara riuh kelas memang benar benar menghancurkan gendang telinganya. Meskipun Garin biang rusuh, tapi dia gak pernah ikut ikutan ngerusuh di kelas, gak seru ngerusuh sama anak yang baru lulus smp, kadar gue tuh yaa anak kelas dua belas lah. Itulah ucapan Garin saat Felisia iseng bertanya. Huh, udah gak naek gak tau diri, dia gak sadar apa kalo sampe detik ini dia masih di kelas sepuluh? "Mau kemana, Fel?" Teriak Azura yang melihat Felisia berlari sambil menenteng tasnya. "Cabut, di ajak Garin." Balas Felisia sambil tangannya melambai saat sampai di pintu. Kedua temannya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku Felisia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD