bc

FelisiaL

book_age0+
952
FOLLOW
4.6K
READ
powerful
sweet
like
intro-logo
Blurb

Bagi Garin, Felisia itu seperti kutukan. Felisia selalu membuntutinya kemanapun, dan selalu melontarkan pertanyaan untuk setiap hal yang Garin lakukan. Dari mulai “Mau kemana?’. “Mau ngapain?”, “Gue ikut.”. Dia bocah yang baru lulus SMP dan berumur lima belas tahun, jadi Garin tidak mungkin kasar terhadapnya. Bisa-bisa, dia dipanggil ke KPAI.

Bagi Felisia, Garin itu orang paling sok tua tapi gak nyadar kalo dia itu tidak layak dipanggil Kakak. Umur Garin sudah delapan belas tahun, tapi masih berada di kelas sepuluh karena tidak naik dua tahun. Alergi sama anak kelas Sepuluh, selalu ngerasa kalo dia Kakak Kelas, makanya Felisia senang menempelinya, semata ingin membuat Garin frustasi. Toh, semarah-marahnya Garin, dia selalu menuruti permintaan Felisia yang konyol.

Felisia pikir, Garin hanya siswa bodoh yang bisa-bisanya langganan tidak naik kelas. Tapi ternyata, seluruh hal yang berkaitan dengan Garin terlalu rumit. Dan Felisia, bocah yang hobinya mengusik hidup Garin, akan dengan ‘sok’ mengurai benang kusut dalam kehidupan Garin. Atau justru semakin memperkusut benang hingga semakin sulit untuk diurai?

chap-preview
Free preview
Prolog
Felisia mendesah pelan setelah keluar dari toilet cewek di sekolahnya. Tangan kanan Felisia memegangi perutnya yang masih terasa sakit. Setelah buang airpun rasa melilit belum hilang juga, membuat Felisia yang baru saja tiba di sekolah, bahkan belum menaruh tas di kelas sudah berlarian ke toilet. Awal yang buruk. Buruk bagi Felisia yang hari ini merupakan hari pertamanya memakai seragam putih abu khas anak SMA. Setelah kemarin, selama tiga hari Felisia menjalani MOS. Dan hari ini, merupakan pembagian kelas, boro-boro Felisia sempat mencari kelas, baru datang saja tujuan Felisia adalah toilet. Padahal sungguh, bahkan Felisia belum sarapan! Ada apa dengan pencernaannya? "Sial! Kelas gue di mana sih? Lima menit lagi masuk nih." Felisia kembali mendesah, diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Membuat Felisia semakin sebal, seolah hari ini belum cukup buruk baginya. Felisia menatap malas pada deretan daftar nama yang terampang pada pintu kelas. Entah sudah yang keberapa kali Felisia mencari namanya di setiap pintu kelas. Dan kelas ini sudah yang kelima. Nama Felisia belum juga di temukan. "Felisiaaa!" Felisia menoleh, merasa namanya dipanggil. Dari ujung koridor, terlihat Anggita, teman satu grup semasa MOS-nya. Felisia tersenyum senang, setidaknya ia bisa meminta tolong Anggita untuk mencari kelas. Felisia berlari kecil, membuat rambut yang dikucir satu itu bergerak seiringan Felisia berlari. Tak peduli dengan tatapan beberapa murid baru yang sama sepertinya, menatap Felisia dengan pandangan aneh, bagaimana tidak? Pagi-pagi seperti ini lari-larian. "Kelas lo dimana?" tanya Felisia, saat sampai di dekat Anggita. Nafasnya terdengar tidak teratur, kemudian matanya memandang pada kelas yang berada di sampingnya. "Disini-" "Pojok amat nih kelas, berasa buangan. Mana auranya suram. Perasaan kelas sebelah sono gak gini-gini amat." Felisia memotong cepat ucapan Anggita, saat melihat suasana kelas dari luar. Catnya yang sudah memudar, sangat berbeda dengan kelas lainnya yang masih terang. Belum lagi letaknya yang berada di pojokan, seolah di asingkan. Ditambah lagi kelas ini terpisah dengan jejeran kelas lain. Dipisah oleh ruang olahraga dan gudang. Semakin suramlah aura kelas ini bagi Felisia. "Yep, kelas suram ini kelas lo juga. Welcome." Anggita tersenyum miring pada Felisia. Tangannya segera menarik tangan Felisia untuk masuk. Padahal Felisia masih shock, menyadari selama setahun ia akan berada di kelas suram ini. Sebenarnya tak ada yang aneh dari siswa di kelas ini, semuanya wajar. Para siswa sama seperti yang lainnya, memakai seragam baru dan peralatan serba baru. Saling berkenalan karena baru bertemu. Semuanya normal. Kecuali keadaan kelas yang seperti dikatakan Felisia. Lebih suram. Dengan kursi dan meja yang sudah banyak coretan tipe-x. Lantai berkeramik yang tidak sekinclong kelas lainnya. Papan tulis dekil dengan cairan spidol yang tidak bisa di hapus. Meja guru yang bangkunya tidak tau ada dimana. Serta yang paling mencolok, ada satu makhluk yang duduk di tengah kelas, dengan seragamnya yang tidak terlihat baru alias mulai menguning, dengan kepalanya yang di telungkupkan pada meja menandakan bahwa dia sedang tidur. Diwaktu sepagi ini sudah tidur. Menyita perhatian Felisia. Makhluk itu, cowok itu, tidak seperti yang lain. Gayanya terlihat santai meski ia sedang tertidur, tidak kaku seperti siswa baru pada umumnya. Dan cowok itu duduk tepat di belakang Azura, teman SMP Anggita yang Felisia kenal. "Gue duduk dimana nih? Kok bangkunya penuh semua?" mata Felisia menyapu setiap sudut ruang kelas suram ini, mencari bangku yang kosong. "Lo duduk dimana, Git?" tanya Felisia, sambil tetap mengikuti langkah Anggita. "Noh, sama Azura-" "Lah gue duduk ama siapa dong?" kebiasaan Felisia, suka heboh dan cepat memotong omongan lawan bicaranya. Anggita menghela nafas sabar, meski baru mengenal Felisia sejak tiga hari yang lalu, Anggita mulai paham dengan karakter teman barunya ini. "Hai, Fel." Azura tersenyum ramah pada Felisia yang masih berdiri di samping meja Anggita. Sedang Anggita kini sudah duduk di bangkunya. Mata Felisia masih menjelajah, mencari bangku yang kosong. Namun Felisia masih dapat mendengar Azura menyapanya. "Hai, Ra. Kita sekelas ternyata." balas Felisia, menyambut sapaan Azura. "Belakang kosong nih, Fel." mata Anggita mengarah pada meja di belakang tempat duduknya. Memang benar kosong. Tak ada tas disana. Tapi sudah ada orang di sebelahnya. Dan orang itu, adalah makhluk tadi, yang menarik perhatian Felisia pertama kali. "Tapi dia veteran." lanjut Anggita, menatap Felisia agak tidak enak. "Veteran?" Felisia berpikir sesaat dengan ucapan Anggita. Lalu beberapa saat Felisia baru mengerti. Pantas saja seragamnya terlihat sudah belel, pantas saja sikapnya begitu santai, dengan tertidur di kelas sepagi ini. Pantas saja ia tak perlu bersosialisasi dengan siswa baru. Ternyata dia tidak naik kelas. "Gak ada tempat duduk laen apa?" Felisia mengeluh, tidak terlalu suka bergaul dengan orang seperti itu. Entah bagaimana keadaan otaknya yang minim atau kelakuannya yang tidak beres atau segabrek absensi yang membuatnya tidak naik kelas. "Adatuh, Fel kosong. Di pojokan, bangkunya cuma satu pula. Serasa murid terasingkan yang duduk sendirian. Lebih suram." Azura angkat bicara, tangannya menunjuk pada bangku di sudut kelas. Cuma satu-satunya tanpa ada teman semeja. Benar kata Azura, terlihat lebih suram. "Ah gak mau. Git, lo aja sono duduk belakang sini. Sebangku ama veteran gapapalah. Gue duduk sama Azura. Temen-temen dia pasti kakak kelas, ganteng-ganteng, bisa lo gebet noh," Felisia menarik tangan Anggita untuk berdiri, menyeretnya untuk pindah duduk ke belakangnya. "Ih apa-apaan? Gak mau. Lo aja sana. Kan gue udah dateng duluan. Siapa suruh telat!" Anggita berusaha menahan diri agar tidak terseret Felisia. Tidak mau juga di suruh duduk sebangku dengan siswa bermasalah seperti itu. "Lo pikir gue niat telat apa? Lo gatau betapa sengsaranya gue pagi-pagi gini, belom sarapan, udah mules gak karuan. Lo gatau betapa naasnya gue yang baru datang langsung lari ke toilet? Dan baru selangkah keluar dari toilet gue mules lagi dan balik lagi? Dan-" Brak! "BERISIK!" Felisia tersentak, begitupan dengan Anggita dan siswa lainnya. Suasana yang semula ramai mendadak hening, saat mendengar gebrakan meja dari arah belakang meja Anggita. Seketika semua menatapnya. Cowok yang sedari tadi tertidur kini menggeram marah, masih dengan muka dan rambut acak-acakan khas bangun tidurnya, ia menatap pada cewek yang berada di dekat bangkunya. Cewek yang suaranya tadi sangat mengganggu tidurnya. Tidak salah. Dia Felisia. Felisia menahan nafasnya, matanya segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Diam sejenak, akhirnya Felisia bereaksi. Oke, mungkin Felisia akan mencoba hal baru di dunia putih abunya, berurusan dengan cowok itu. "Hoy, gue duduk disini yaa. Bangkunya penuh semua." Felisia tersenyum sok akrab, sambil melempar tasnya pada meja. Cowok itu memicingkan matanya, disertai dengusan nafas yang mulai kesal. Cewek ini, sudah terang-terangan ia pelototi malah dengan berani ingin duduk di sebelahnya. "Gabisa!" cowok itu menjawab dengan keras. Terlebih saat Felisia mulai duduk di bangku sebelahnya. "Gak ada bangku yang kosong lagi!" "Bukan urusan gue!" "Terus gue duduk dimana?" "Ngedeprok aja sana!" Cowok itu melempar tas Felisia dari meja ke lantai. Membuat mata Felisia membesar. Hanya perkara tempat duduk, tas baru yang dibelinya di Dept Store seharga tiga ratus ribu, tolong garis bawahi, tiga ratus ribu itu terasa sangat mewah bagi Felisia karena biasanya harga tas sekolahnya hanya seharga tujuh puluh ribu atau paling mahal sembilam puluh ribu – sampai di lempar oleh cowok gak naik kelas ini? Berani bertaruh, pasti otak cowok ini dangkal banget sampe bisa-bisanya gak naek kelas. "Hey! Tas gue baru, tau! Beli di Matahari dan harganya tiga ratus ribu. Maen lempar-lempar aja!" Felisia berteriak tak kalah kencang. Lalu berdiri memungut tasnya. "Kalo lo gak mau duduk sebangku sama gue, elo aja pindah sana. Cari bangku yang kosong. Atau duduk di lantai!" dengan berani, Felisia menarik tas hitam milik cowok itu, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan cowok tadi. Melempar tasnya. "Woy, Garin! Kelas lo disini la-" teriakan seorang cowok yang kini berdiri di ambang pintu seketika terhenti, saat mendapati suasana tegang. Terlebih saat dilihatnya Garin, sahabat karibnya, sedang adu pelototan dengan seorang anak baru yang duduk di sebelahnya. Rangga mulai mengerti apa yang membuat kelas ini menjadi hening. "Kenapa lo?" Rangga berjalan menghampiri tempat duduk mereka, dan duduk asal di meja Garin. "Cabut yuk." Garin membawa tasnya, berjalan mendahului Rangga. Tak ingin berurusan lebih panjang lagi dengan cewek itu. Rangga diam sejenak, memandang Felisia yang terlihat misuh-misuh. Mengatai Garin dengan berbagai istilah. Rangga tersenyum tipis, sambil bergerak turun untuk menyusul Garin. "Gila lo, Gar. Masih jam pertama nih, gak kapok apa lo enggak naik dua tahun. Gue udah kelas dua belas, man. Pengen serius dikit lah." Rangga mengoceh sambil mengejar Garin yang sudah mencapai ambang pintu. "Ngomong aja yang kenceng, Ngga. Biar para bocah yang baru lulus SMP ini tau gue gak naek dua tahun. Temen apaan sih lo!" Felisia tergelak mendengar obrolan antara cowok bego yang namanya Garin dengan temannya yang dipanggilnya ‘Ngga’ itu. Gila! Itusih begonya gak kira-kira. Gak naek kok sampe dua tahun. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
465.8K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.4K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
289.2K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

PATAH

read
515.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook