Awal Dendam

2095 Words
Gadis bertubuh bongsor dengan kulit gelap itu, duduk terpekur di kursi pengantin dengan latar pelaminan putih yang penuh dengan hiasan bunga warna warni, wajahnya sembab dengan kedua mata membengkak. Kebaya pengantin yang kekecilan mencetak jelas lekuk tubuh gadis yang baru menjejak usia dua puluh tahun itu. Kanaya menatap nyalang pada semua dekorasi ruangan yang akan digunakan untuk resepsi pernikahannya, tetapi laki-laki b*****t yang dijodohkan dengannya, kabur tanpa sedikit pun menampakkan batang hidung. Hari pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagia, berubah menjadi aib yang tak terelakkan ketika semua tamu undangan berbisik-bisik dengan tatapan iba, menghujat, dan menghina dirinya selaku mempelai wanita yang ditinggalkan mempelai pria. Kanaya hanya bisa menunggu dengan rasa malu, berharap pria yang dijodohkan dengannya hadir di detik-detik terakhir, mengucap ijab kabul walaupun esok hari harus berakhir dengan jatuhnya talak. Tidak mengapa jika hanya menikah beberapa jam kemudian bercerai, setidaknya keluarga mereka tidak menanggung malu yang teramat besar karena ditinggalkan tepat beberapa menit sebelum ijab kabul di mulai. Ibu yang mendapati Kanaya menangis, ikut duduk di kursi pengantin tepat di samping gadis itu. Ia peluk tubuh putrinya dengan erat, ingin memberikan kekuatan tetapi yatanya ia sendiri juga ikut menangis karena malu yang tak tertahankan. “Jangan menangis, Nduk. Ini semua salah Ibu dan bapak,” ucap wanita tua itu terisak. “Seandainya kami tidak menerima lamaran keluarga Anggono, kamu ndak perlu menanggung malu seperti ini.” Wanita paruh baya itu turut menangis, hatinya hancur penuh penyesalan. Seharusnya ia tidak dengan mudah, menerima lamaran dari keluarga kaya raya untuk putrinya yang masih begitu lugu dan polos. Seharusnya ia bisa melihat perbedaan antara keluarga Anggono, orang terkaya di kota mereka, dengan keluarganya yang hidup sangat sederhana di pinggiran kota. “Siapa namanya, Bu?” tanya Kanaya, tangannya menyesap air mata yang membasahi kedua pipi. Ia lupa pada nama pemuda yang telah meninggalkannya sendirian di hari pernikahan mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum manis untuk sang ibu, ia tidak ingin jika kedua orang tuanya merasa bersalah karena pernikahannya yang gagal dilaksanakan. “Siapa, Nduk?” Ibunya balik bertanya, bingung dengan pertanyaan ambigu yang Kanaya lontarkan. “Laki-laki, itu, yang dijodohkan denganku, siapa namanya?” tanya Kanaya lagi. ada getar kesedihan bercampur marah dibalik senyum yang ia lukiskan. “Aasfa Adelard! Kenapa, Nduk?” Ibu menatap kanaya penuh rasa sayang. Tangannya mengelus lembut, punggung gadis itu. “Tidak apa-apa, Bu, aku hanya ingin selalu mengingat nama itu!” ujar Kanaya datar. “Aku, masuk ke kamar, bu. Baju kebaya ini Sangat sempit, membuatku gerah.” Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, mata tuanya menangkap sesuatu yang tidak biasa dari gerak gerik Kanaya. Terbit Rasa khawatir dengan keadaan putri semata wayangnya. Namun, ia harus memberi ruang pada anak gadisnya itu, agar ia lebih bisa menerima kejadian yang tidak pernah mereka duga. Kanaya duduk di bibir ranjang, matanya menyapu ke seluruh penjuru kamar yang terhias indah. Ronce bunga melati, menjuntai hingga ke bawah di setiap sisi dinding kamar, kertas warna warni bercampur racikan daun pandan bertebaran di lantai, serta aneka bunga-bunga kecil tersebar di atas kasur berseprai merah menambah suasana romantis dengan keharuman yang lembut. Kamar pengantin yang seharusnya Aasfa dan ia gunakan untuk malam pertama mereka, ternyata memberikan mimpi buruk di malam-malam berikutnya untuk gadis itu. Kanaya menyadari jika Aasfa tidak mungkin menyukai gadis sederhana seperti dirinya, apalagi dengan paras rupanya yang sangat jauh dari kata cantik, tetapi harusnya pria itu menolak sejak awal, bukan meninggalkannya seperti orang bodoh di tengah-tengah kegagalan pesta pernikahan mereka. Kanaya membenci pria itu, pria yang telah membuat keluarganya tidak berani mengangkat wajah di hadapan orang banyak. Ingatannya mundur beberapa jam kebelakang, saat ia masih bisa memberikan senyum bahagia di hadapan teman-teman yang datang menghadiri pernikahannya. Teman-teman yang selalu meledek dirinya dengan sebutan drum aspal berjalan, karena memiliki tubuh gemuk dengan kulit yang hitam. Memikirkan itu semua, senyum Kanaya semakin lebar, kali ini sebutan itu tidak akan pernah ia dengar lagi. Kanaya menunggu dengan gelisah di bilik hias, ditemani penata rias yang sesekali merapikan make up-nya yang hampir luntur. Menggunakan kebaya pengantin yang terlihat kekecilan di tubuh, Kanaya rela berkali-kali menahan napas agar perut buncitnya terlihat kempis dan sempurna. Dirinya sudah tidak sabar untuk segera menuju aula, di mana acara pernikahan mereka akan berlangsung. Cukup lama Kanaya menunggu, hingga teriakan paman yang mengatakan keluarga mempelai pria telah tiba, membuat gadis bertubuh bongsor itu mengulas senyum dan sedikit menarik nafas lega. Tetapi sayang beberapa menit berikutnya ia harus menerima kabar pernikahan telah dibatalkan. Iya ... calon mertuanya datang dan mengatakan bahwa putra mereka satu-satunya, Aasfa adelard telah kabur dan hanya meninggalkan sepucuk surat dengan ucapan permintaan maaf karena tidak bisa memenuhi keinginan orang tuanya. Laki-laki macam apa itu? tidak berani menolak keinginan orang tuanya, tetapi berani meninggalkan calon pengantinnya sendirian. “Maafkan Aasfa, Aya. Tante mohon, maafkan anak bodoh itu,” ucap Wike sendu. Wanita itu tidak menyangka putranya berani berbuat nekat tepat di hari yang sakral untuk keluarga mereka. “Bisakah tante hubungi dia? katakan padanya datanglah sebentar, hanya untuk menikah saja, setelah resepsi, dia boleh jatuhkan talak padaku.” Lemah suara Kanaya memohon pada calon ibu mertuanya. Wajah gadis itu pucat, setiap gerakannya tampak serba salah, bahkan suaranya terdengar gugup ketika memohon agar pernikahan tetap diteruskan. “Aasfa sudah pergi, Aya. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat untukmu!” hardik Nirman. “Jangan kau minta lagi, laki-laki b*****t itu menjadi suami!” Gigi Nirman bergemeletuk menahan marah pada calon menantunya yang telah lari dari tanggung jawab, sedangkan Lastri hanya bisa mengelus pundak suaminya perlahan, menenangkan pria yang saat ini sedang tidak bisa berpikir dengan bijak. Kanaya tersedu, dosa apa yang telah ia lakukan hingga aib menghantam keluarga mereka tampan ampun. Bukan kepergian Aasfa yang ia sesali, tetapi rasa malu yang harus ditanggung oleh keluarganya sepanjang hayat. “Tante, bagaimana keluarga kami dapat mengangkat wajah dengan aib yang diberikan oleh Aasfa? Bagaimana ayah dan ibu, harus menghadapi ratusan tamu undangan di luar sana? Mereka pasti memandang hina keluarga kami,Tante!” Terisak Kanaya dalam pelukan Wike. Dirinya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada keluarganya nanti, apakah mereka bisa menerima ocehan tetangga, gosip-gosip miring tentang kegagalan pernikahannya akan cepat menyebar ke seluruh penjuru kota. Pasti akan banyak mata yang tertuju pada keluarga mereka, bagaimana ia harus hadapi semuanya? Wike memandang ke arah Anggono, wanita itu berharap suaminya dapat membantu menyelesaikan semua masalah yang telah diciptakan oleh Aasfa. Ia sangat malu pada keluarga Nirman terlebih pada Kanaya, gadis lugu yang sangat ia idamkan menjadi menantu di rumahnya besarnya yang megah. “Aku, akan keluar menemui penghulu dan seluruh tamu undangan,” ucap Anggono pada Nirman. “Izinkan aku menyelesaikan semua masalah ini.” Wajah Anggono tampak lelah dan bertambah layu, seakan dalam sahari keriput di wajah tua itu bertambah lebih banyak dari biasa, menutup gurat-gurat ketegasan yang masih terpancar. Ia memohon pada Nirman agar diberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan. “Apa yang akan kau lakukan, Anggono! Ingin membuat kacau lagi? menambah aib pada keluarga kami?” tanya Nirman nyaris berteriak. Ia sudah cukup malu akibat perbuatan putra dari sahabatnya itu, tetapi sekarang dirinya tidak akan memberi muka lagi, dirinya tidak akan bisa menerima aib yang lebih banyak lagi. “Aku, akan memastikan kalian tidak perlu mendengar gosip, tentang batalnya pernikahan Kanaya dan Aasfa!” jawab Anggono tegas. Ia mendekati Nirman, menggenggam tangan kedua sahabatnya penuh kehangatan. “Aku mohon, kalian bersedia pindah dari kota ini hingga semua gosip mereda! Percayalah padaku, tidak akan kubiarkan Kanaya menderita. Anakmu, adalah anakku juga, Nirman!” Tatapan mata Anggono memancarkan kesungguhan untuk setiap kata yang ia ucapkan. Nirman, melayangkan pandangan pada Lastri, melalui tatapan mata ia bertanya apakah istrinya setuju dengan permintaan Anggono, tetapi Lastri hanya diam tidak mengerti harus menjawab apa. Nirman mengalihkan pandangan pada Kanaya, iba melihat anak gadisnya masih terisak. Dirinya mengerti apa yang menjadi penyebab kesedihan putrinya. Ia sangat paham selama ini Kanaya selalu menjadi bahan ledekan semua teman-temannya di kampus. Jika ditambah dengan kejadian ini, ia khawatir Kanaya tidak akan punya keberanian untuk menunjukkan wajah lagi di hadapan orang banyak. Nirman mengangguk pada Anggono, ia setuju dengan semua saran dari sahabatnya itu, dirinya yakin Anggono akan melakukan yang terbaik untuk Kanaya. Menyelamatkan kehidupannya putrinya jauh lebih penting dari pada mengutamakan keegoisan untuk marah pada keluarga sahabatnya itu. Tangis Kanaya tak kunjung reda, air mata terus mengalir dari kedua kelopak mata gadis yang terlalu larut dalam kesedihan. Ia sudah tidak bisa tenang lagi, pikirannya terlalu kalut, yang ada di dalam kepalanya hanyalah bagaimana ia menghindari tatapan iba tetangga serta menghadapi ledekan dari teman-temannya di kampus. Selama ini hinaan yang ia terima hanya sebatas keadaan fisiknya yang jauh dari kata sempurna, tetapi besok, apalagi yang harus ia dengar? Kesialan hidupnya atau makian yang lebih pedas? Itik buruk rupa bermimpi menjadi cinderella? Kanaya merasa tidak sanggup melewati hari esok jika ia harus menerima beribu hinaan. Nirman dan Lastri menemui penghulu sementara Anggono dan Wike menemui seluruh tamu undangan. Dengan membuang rasa malu mereka meminta maaf kepada semua yang hadir, karena acara akad nikah terpaksa dibatalkan. sementara Kanaya hanya duduk di kursi pengantin, menata hati agar ia bisa menegakkan kepala di hadapan semua yang hadir di aula. Entah alasan apa yang diberikan oleh keluarga Anggono kepada seluruh tamu undangan, karena saat itu juga bisik-bisik nakal dari penyebar gosip, seketika memenuhi ruangan, sebelum akhirnya mereka pulang dengan segudang cerita karangan bebas, siap untuk dihembuskan ke seluruh penjuru kota. Derap langkah Wike menyadarkan Kanaya dari lamunan. Senyum gadis terkembang menyambut kehadiran calon ibu mertuanya, memperlihatkan barisan giginya yang rapi. “Dari Aasfa, bacalah!” ucapnya lembut. “Tante tidak tau apa isinya, ini untukmu dan hanya kamu yang berhak membacanya.” Wanita paruh baya itu menyerahkan sepucuk surat pada Kanaya, yang menerimanya dengan perasaan enggan. Jika orangnya tidak hadir, untuk apa sepucuk surat yang hanya berupa lembaran kertas bertinta dengan rangkaian kata ia berikan? mungkin saja isi surat itu jauh lebih menyakitkan, dari ketidak hadiran pria itu sendiri. “Istirahatlah, lupakan kejadian hari ini. Besok kita akan tinggalkan kota yang telah menuliskan banyak aib untukmu.” Hibur Wike, sebelum dirinya berpamitan pulang pada gadis berkulit gelap yang duduk di hadapannya. Perlahan Kanaya membaca surat yang ditulis oleh Aasfa, menyimak baris demi baris kata yang dirangkai oleh pemuda itu. Seperti dugaannya, laki-laki b******k itu sangat tidak punya hati, tidak cukup penghinaan yang diberikan dengan kabur di hari pernikahan mereka, pemuda laknat itu juga menuliskan segudang hinaan untuk Kanaya pada dua lembar kertas. Dear ... Kanaya. Aku turut menyesal dengan keadaanmu yang sekarang. Aku tahu saat ini kau pasti sedang menangis dan meratapi nasib buruk yang terjadi pada keluargamu. Harus aku akui semuanya terjadi karena diriku, tapi aku tidak menyesalinya, Kau tahu kenapa? Karena bagiku keluargamu adalah benalu untuk keluarga Anggono. Entah apa yang ada di pikiran kedua orang tuaku ketika melamar perempuan gendut dan berkulit hitam sepertimu, dan lebih aneh lagi, perempuan tidak tahu diri yang menerima lamaran itu, juga bermimpi bisa bersanding denganku di pelaminan. Come on, Kanaya jangan pernah bermimpi seorang buldozer penuh daki sepertimu, bisa berdampingan dengan seorang Aasfa Adelard, pewaris tunggal dari sebuah corporate terbesar di negara ini. Jangan pernah bermimpi Kanaya, segera bangun dari tidurmu dan bercermilah, kau akan sadar tidak ada seorang pun, pria waras yang mau menikahi seekor gajah Afrika seperti mu. Apa kau tidak pernah berpikir, setiap orang yang melihat bobot tubuhmu saja sudah hampir muntah, apalagi menjadikanmu istri? Itu sangat menjijikkan! Apakah kata-kataku menyakiti hatimu? Haruskah aku minta maaf? Sekali lagi jangan bermimpi! Aku tidak akan pernah meminta maaf kepadamu atau kepada keluargamu. Kalian adalah benalu yang harus dibasmi, agar tidak ada lagi keluarga kaya yang akan menjadi korban keluguan keluargamu. Aaah ... bukan keluguann, tapi keserakahan! Aasfa Adelard Kanaya meremas surat dari Aasfa dengan penuh amarah, matanya memerah, kedua rahangnya terkatup rapat. Laki-laki b*****t itu sengaja ingin mempermalukan keluarganya. Dia pikir keluarga Kanaya adalah orang miskin yang tidak tahu diri? Menikahkan Kanaya dan laki-laki b******k itu karena harta? Jika bukan karena permintaan orang tuanya yang memohon, ingin menjadikan Kanaya sebagai menantu, tidak mungkin orang tua kanaya akan setuju menerima lamaran dari keluarga Anggono. Jika ia tahu orang seperti apa b******n tengik yang bernama Aasfa Adelard, dirinya juga tidak sudi menerima pinangan dari keluarga kaya raya itu. Darah Kanaya mendidih, emosi yang sedari tadi ia tahan kini sudah mencapai batas kesabaran. Dirinya bertekat akan membalas dendam dengan semua perbuatan Aasfa, bahkan tiap kata hinaan yang ditulis oleh laki-laki b******k itu harus ia perhitungkan. laki-laki durjana itu harus menerima balasan dari tiap hinaan yang diberikan. Kanaya berjanji akan membuat b******n itu menyesal, ia akan membuat laki-laki b*****h itu mengemis menginginkan dirinya. Aasfaaa ... kau bisa tertawa sekarang, tapi aku akan menghancurkan tawa mu. Tiba saatnya kau akan tunduk di bawah telapak kakiku! Janji Kanaya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD