Aasfa dan Arinda

2188 Words
Seorang pemuda tampan keluar dari sebuah kamar hotel ternama, sejak seminggu yang lalu nama dan wajahnya telah ramai menjadi perbincangan di beberapa acara infotainment yang menghias layar kaca dengan gosip seputar pernikahannya. Kini setelah pernikahannya gagal, semakin banyak awak media yang mencari dirinya hanya untuk mengorek informasi tidak penting, kenapa ia membatalkan pernikahan di menit-menit terakhir. Kehadirannya yang tiba-tiba di hotel ini, menjadikan dirinya sebagai sorot perhatian orang-orang di sekitar. Bisik-bisik mulut usil dan tatapan rasa ingin tahu menggerayangi pemuda itu hingga membuat dirinya menjadi risih. Ia mempercepat langkah menyusuri lorong hotel menuju lobby, menunggu sesaat kedatangan sebuah mobil yang menjemput dirinya. Pemuda itu segera melompat masuk ke dalam mobil, ketika jemputan yang ia tunggu tiba, dengan raut penuh sesal ia bercoleh tentang harinya yang buruk. “Huft! Begini rasanya jadi pelarian,” keluh pemuda itu kepada temannya yang sedang mengemudi. Revan yang dijadikan tempat mengadu hanya mengekeh geli, akhirnya seorang Aasfa Adelard terkena batunya. Pria tampan, anak seorang pengusaha terkaya dengan fisik bagaikan kloningan dewa Hermes, menjadi seorang pelarian dan bahan ghibahan paling hangat di kota mereka. apalagi yang lebih menarik dari ini? sebuah fenomena langka yang harus benar-benar dinikmati hingga akhir. “pake ini, Bro, biar nggak terlalu dikenali.” Revan memberikan Aasfa sebuah topi bertuliskan RVCA dan kacamata hitam. “Thanks, Bro, tau aja, kalau gue butuh,” jawab Aasfa. “Gue udah pernah kabur dan gue masternya melarikan diri.” Jawab Revan asal, yang langsung mendapat respon dari Aasfa berupa pukulan yang sangat pelan di pundak. “Tatapan ingin tau masyarakat, bener-bener membuat bulu kuduk merinding, belum lagi gosip yang menyebar dengan cepat,” gumam Aasfa. “Aku ingin segera keluar dari kota ini!” Ia mengeluhkan keadaannya yang menjadi buah bibir sebagian penduduk kota. Siapa yang tidak mengenal Aasfa Adelard dan siapa yang tidak pernah mendengar nama keluarga Anggono? sedikit gosip tentang keluarga mereka akan menjadi berita ekslusif dan makananan empuk untuk pesaing Golden Company. Wajar saja, perginya sang pewaris tunggal yang meninggalkan mempelai wanita dipelaminan merupakan berita panas yang menjadi hidangan wajib untuk dinikmati seluruh penduduk kota. Sementara itu, Revan yang sedari tadi fokus menyetir, mendengkus kesal mendengar keluhan pemuda itu. Apakah sahabatnya ini sudah menjadi orang bodoh, mengeluhkan air keruh, sementara yang mengaduk air adalah dirinya sendiri? Ia menepikan mobil dan memberikan pandangan sinis pada Aasfa. “Lu, ngeluh untuk kekacauan ... yang, Lu buat sendiri!” Revan berdecak kesal. “Lu, mikir nggak, gimana perasaan Kanaya dan gimana dia ngadepin ini sendirian?” Aasfa tersentak, hati kecilnya tergugah mendengar ucapan Revan. Apa yang dikatakan sahabatnya memang benar, dirinya penyebab semua kekacauan ini dengan sengaja mengorbankan diri mejadi biang gosip, agar berita batalnya pernikahan mereka sampai ke telinga Arinda. Demi Arinda, satu-satunya wanita yang ia cintai, membuat Aasfa tega menjadikan seorang gadis polos yang tidak tahu apa-apa ikut berkorban memenuhi keegoisannya. Aasfa mengakui, dirinya sangat jahat, mengorbankan Kanaya untuk mengejar cinta seorang perempuan cantik yang berhasil membuat dirinya tergila-gila. “Aku harus bagaimana? Arinda akan pergi, sedangkan aku tidak bisa hidup tanpa cintanya.” Mata Aasfa menatap sendu ke depan, sebenarnya laki-laki itu juga sangat menyesali keadaan yang tidak berpihak pada dirinya dan Kanaya. Gadis polos dengan wajah pas-pasan dan bobot tubuh mengerikan untuk ukuran seorang perempuan. Revan duduk bersandar, ia menurunkan kaca jendela mobil, mengeluarkan sebatang rokok dan menikmatinya perlahan. Hembusan asap rokok yang terpental keluar dari kedua lobang hidungnya, seolah sedang berusaha keras menghadirkan bayangan gadis tambun yang menjadi pembahasan utama mereka berdua. “Kanaya gadis yang baik, dia teman adikku di kampus,” Revan mejelaskan tanpa diminta. “Gadis sederhana, lugu, polos dan baik hati, wajahnya cukup manis walau tidak cantik, dipoles sedikit dia akan menjelma jadi wanita yang memikat.” Ada nada kagum yang di tangkap Aasfa saat Revan menjelaskan pribadi Kanaya. Mata laki-laki itu menyipit. Sedikit heran bagaimana seorang Revan, bujangan keren yang digilai banyak wanita bisa mengagumi jelmaan seekor gajah afrika! “Kau menyukainya?” Aasfa bertanya penuh penekanan, berharap dugaannya keliru. “Memangnya kenapa kalau aku menyukainya? Apakah sebuah kesalahan?” Revan berbalik mengajukan tanya. “Hanya orang bodoh yang tidak bisa melihat kelebihan gadis itu.” kekesalan makin terlihat jelas di wajah tampan Revan. Kemarahannya menguar lewat asap rokok yang sengaja ia hembuskan dengan kencang. “Tidak! Kau, berhak menyukai siapa saja.” Cepat Aasfa memberikan tanggapan . dirinya tidak mau, jika harus bertengkar dengan Revan, hanya karena berbeda pendapat tentang seorang wanita. “Bisa kita teruskan? Aku khawatir tertinggal pesawat,” pinta Aasfa sembari matanya memandang lurus ke jalan. “Aku ingin tidur sebentar, kalau sudah sampai di bandara, tolong bangunkan aku.” Pemuda tampan itu, tidak ingin terlibat pembicaraan yang bisa memicu pertengkaran dengan sahabatnya sendiri, berpura-pura tidur jauh lebih baik daripada harus berdebat. Revan sudah terkenal dengan sifatnya yang keras kepala, menentang pendapatnya, sama saja berharap batu menjadi selembut lumpur, dan hal itu sangat mustahil. Lagipula Aasfa mengakui bahwa Revan adalah manusia yang sangat realistis, dia tidak membutuhkan pandangan orang lain jika telah meyakini sesuatu. Aasfa memejamkan mata, hembusan semilir angin, masuk melalui kaca jendela yang terbuka, menerpa wajah tampannya. Berusaha untuk larut dalam pikirannya sendiri, menyatu dengan khayalan yang ia ciptakan dari sebentuk keegoisan jiwa mudanya. Pemuda itu membayangkan sosok seorang wanita anggun, dengan wajah cantik dan lekuk tubuh sempurna. Senyum menawan senantiasa menghiasi bibir seksi wanita itu. Aasfa mabuk kepayang, tidak bisa menolak pesona wanita yang selalu menjadi peri cinta dalam bunga tidurnya. Arinda, wanita dengan rasa percaya diri tinggi berhasil menjadi model utama di perusahaan keluarga Anggono, wanita itu juga berhasil menjadikan dirinya sebagai pelabuhan cinta Aasfa. Meski usia Arinda lima tahun lebih tua dari Aasfa, tetapi itu bukan masalah untuk mereka mengarungi biduk percintaan. Apalah artinya perbedaan usia jika cinta sudah mengetuk pintu hati dan siap menjadi penghuni. Namun, cinta saja tidak cukup untuk membahagiakan Arinda. Di saat Aasfa berniat melamarnya, wanita seksi itu malah pergi meninggalkannya sendirian, membawa serta bayi mereka yang ada di dalam kandungannya. Arinda sangat kejam memutuskan hubungan dengan Aasfa serta berniat menggugurkan buah cinta mereka, hanya karena wanita itu mendapatkan tawaran eksklusif dari sebuah agency model terbesar di Asia. Bagaimana Aasfa bisa menikahi wanita lain jika cintanya hanya utuk Arinda? Serta bagaimana ia bisa mebiarkan sikap konyol wanita itu, yang ingin membunuh buah cinta mereka berdua? Demi Arinda dan anaknya, Aasfa rela menjadi seorang pria jahat. Menyakiti hati seorang gadis yang sangat polos dan melemparkan kotoran ke wajah orang tuanya sendiri. Ia akan melakukan apapun agar wanita yang ia cintai kembali padanya. *** Arinda termenung seorang diri di kursi tunggu bandara. Dirinya sedang menimbang, apakah keputusannya sudah benar? Ini bukan tentang cinta, bukan pula sebuah rasa rindu yang tidak mampu ia bendung. Arinda bukan lagi anak kecil yang terpaku dengan cinta. Dirinya wanita dewasa yang mendekati usia kepala tiga, cinta sudah tidak berarti apa-apa untuknya. Awal Arinda mendekati Aasfa hanya karena penasaran dengan wajah dingin pemuda itu, tapi siapa sangka permainan cintanya berhasil membuat pemuda yang memiliki fisik sempurna bagaikan pahatan para dewa, menjadi tergila-gila pada pesonanya. Keisengan yang berbuah cinta pada Aasfa membuat Arinda menggunakan kesempatan itu untuk mendongkrak kariernya di bidang modelling. Tidak ada batu yang lebih baik dari Aasfa sebagai pijakan untuk Arinda melompat lebih tinggi menggapai mimpi, dan siapa yang bisa menduga rencana itu berhasil dengan sempurna. Kini nama Arinda sedang berada di puncak deretan top ten model Asia. Sudah menjadi rahasia umum jika menjadi top ten model Asia, maka karier cemerlang menunggu di depan mata. Ketenaran, kemewahan, dan semua gemerlap dunia sudah berada dalam genggaman, tetapi pemuda bodoh itu menghalangi niatnya untuk melangkah menjadi super star dunia. Ketika ia mengatakan ingin memutuskan hubungan percintaan mereka, Aasfa justru menganggapnya bercanda, pemuda bodoh itu malah berniat melamar dirinya dan dengan ketulusan yang memuakkan mengajaknya untuk membangun rumah tangga. Arinda belum membutuhkan hubungan serius, yang ia butuhkan hanya pegertian Aasfa agar merelakan perpisahan mereka, tetapi pemuda kolot itu terlalu keras kepala, bahkan Tuhan sepertinya juga ikut berkonspirasi menahan kepergiaannya, dengan memberikan berita yang tak terduga. Kabar kehamilan yang ia terima, bukanlah bagian dari rencana Arinda selama ini. Dirinya rela menjadi selimut hidup untuk Aasfa hanya dengan satu tujuan, karier yang cemerlang dan ketenaran. Bagaimana ia bisa menggapai semua mimpi jika di dalam rahimnya telah tertanam benih Aasfa? jalan satu-satunya, Arinda harus membuang benih yang tumbuh di rahimnya, sebelum menjadi tunas. Sekelebat bayang milik Aasfa dan Revan melintas cepat di antara orang-orang yang berlalu lalang. Kedua pemuda itu berjalan cepat menuju tempat di mana Arinda sedang duduk melamun, melayani pikirannya yang mengembara entah kemana. “Sayang!” Panggil Aasfa pelan saat ia berhasil meletakkan pantatnya di kursi tepat di samping Arinda.Wajahnya menampakkan kelegaan dapat menemukan wanita itu. “Aasfa? ka-kamu? Ba-bagaimana, Kamu, ada di sini?” tanya Arinda, gugup. “Jangan tanyakan bagaimana Aku bisa kemari, tapi jawab Aku! Kemana Kau akan pergi?” wajah Aasfa terlihat mengeras, di balik lembut bicaranya terdapat kemarahan yang ia tahan. Arinda tidak menjawab, ia memandang Aasfa dan Revan bergantian, kemudian kembali memandang Revan dengan tatapan memohon. Dirinya berharap sahabat baik dari kekasihnya itu mengerti dan mau memberikan sedikit privacy untuk mereka berdua. “Oke, Aku akan cari makan di sekitar sini, jika membutuhkan aku, kalian tau harus bagaimana.” Revan mengalah, ia memilih pergi menjauh dari kedua anak manusia yang sedang membuat lahar panas di otak mereka masing-masing. Dirinya cukup mengerti untuk tidak terlalu jauh mendengar kisah romeo dan juliet gagal romantis dari kedua sahabatnya. Mereka sudah sama-sama dewasa, pasti lebih mengerti keputusan apa yang harus diambil. “Revan sudah pergi, sekarang kamu bisa jelaskan padaku?” Aasfa menyadarkan Arinda agar kembali fokus pada masalah mereka. Sebenarnya Aasfa sudah mengetahui kemana Arinda akan pergi, tetapi ia hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut wanita itu. Aasfa berharap dengan kehadirannya, Arinda akan membatalkan kepergiannya dan kembali membangun sebuah keluarga bersama Aasfa serta anak yang ada di dalam rahim wanita itu. “Maafkan aku, Aasfa. Tolong, jangan memaksaku untuk tinggal.” “Kenapa? Kau, mencintai laki-laki lain?” “Aku tidak pernah tulus mencintaimu, Kau hanya batu loncatan untuk karierku.” “Kau sakit Arinda! Kau membuangku setelah semua keinginanmu tercapai.” “Dirimu yang ingin mendengar jawaban jujurku, bukan? Dan sekarang itulah kejujurannya!” “Kau boleh pergi, tetapi jangan pernah mencoba untuk membunuh anakku! Aku, menginginkan anakku!” Aasfa menatap nanar pada Arinda, hatinya kecewa mendengar penuturan dari mulut wanita yang ia cintai. Selama ini ia berpikir, cinta Arinda tulus, sama seperti dirinya menyerahkan hati tanpa pamrih. Ternyata keliru, dirinya hanyalah sebuah batu loncatan untuk Arinda menggapai bintang yang menggantung tinggi. Ucapan sayang dan cinta dari Arinda tak lebih dari rapal mantra untuknya menuju sukses, bahkan ketika mereka bergelut di ranjang dengan tubuh penuh keringat, saling mendesah, melempar rasa nikmat, tidak memberi pengaruh apa-apa pada wanita itu. Arinda yang lembut menawan ternyata ia hanya seorang perempuan berhati batu. “Apa kau, gila? Jika aku melahirkan anak ini, bagaimana aku bisa menjadi top model dunia? Astaga Aasfa, tolonglah ... jangan mempersulitku,” keluh Arinda. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Arinda. Pemuda kerasa kepala berwajah dingin tetapi bodoh itu, menginginkan anaknya. Apa si bodoh ini terlalu naif, berpikir Arinda akan setuju untuk melahirkan anak yang menjadi penghalang jalannya menuju sukses? Ingin rasanya Arinda berteriak di telinga Aasfa, agar pemuda itu mendengar dengan jelas, bahwa mimpinya adalah menjadi top model dunia bukan melahirkan penerus keluarga Anggono. “Kau, hanya ingin menjadi top model dunia, bukan? Lahirkan anakku, dan setelah itu aku yang akan mengantarmu ke puncak ketenaran,” jawab Aasfa datar. Dirinya sudah tidak perduli lagi dengan Arinda, cinta, sayang atau apapun itu. Penghinaan Arinda yang mengatakan dirinya hanyalah sebuah batu loncatan, terasa bagai palu menghantam hatinya hingga berderai. Aasfa tidak akan lagi mengemis cinta pada Arinda, tetapi ia akan mempertahankan anaknya. Apapun akan ia lakukan agar anak yang ada di dalam rahim Arinda bisa menghirup udara segar. Anaknya harus lahir ke dunia! Arinda terperangah mendengar kata-kata Aasfa. semudah itukah Aasfa melepaskan dirinya? jika tau seperti ini, Arinda tidak perlu repot-repot kabur dan ketakutan setengah mati akan dicegah oleh laki-laki yang jauh lebih muda darinya. Laki-laki lemah yang hanya mengenal cinta. Penuh rasa bahagia, ia mengangguk menyetujui permintaan Aasfa. Dirinya tidak perlu khawatir tentang top ten model Asia. Jika seorang Aasfa berjanji maka pasti akan ditepati. Arinda hanya perlu bersabar hingga sepuluh bulan ke depan, setelah itu semuanya akan diatur oleh Aasfa. Jalan mulus sudah terbentang di depan, dirinya hanya tinggal menikmati hasil tanpa perlu bersusah payah berusaha. Sementara ketika mereka berdua sedang bergelut dengan pikiran masing, di salah satu food court, dua pasang mata anak manusia memperhatikan dengan mata merah menyala karena marah. Kanaya dan seorang sahabatnya, mereka tidak menyangka dapat bertemu dengan b******n b******k yang telah membuat dirinya menjadi salah satu icon kegagalan pernikahan. Menjadikannya bahan olok-olok para penggiat gosip yang memiliki lidah bagaikan paralon, mengantarkan berita bohong. Kanaya heran, bagaimana wajah tampan tanpa cela dengan kulit putih mulus tetapi bisa memiliki hati sehitam p****t panci gosong itu masih memiliki keberanian menampakkan dirinya di muka umum. Sangat hebat, si b******k itu bisa hidup dengan urat malu yang sudah putus. Aasfa Adelard, ini adalah balasan dari tuhan atas karma burukmu. Berterima kasihlah, karena aku tidak menambahnya dengan mempermalukan kalian. Tetapi tunggu balas dendamku yang sesungguhnya, sakitnya akan jauh lebih perih dari apa yang kau rasa sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD