Part 2 (Tuan Muda Ganteng)

1370 Words
"Selamat siang, Nyonya Dea. Perkenalkan, nama saya Kayla. Saya salah satu temannya Siska, dan saya bersedia bekerja pada Nyonya untuk mengurus Tuan Muda Darren." Aku tengah memperkenalkan diri pada calon majikan perempuanku, nyonya Dea namanya. Mudah-mudahan saja beliau sudi menerimaku bekerja di sini. Akh, kapan lagi sih bisa bekerja dengan gaji lumayan tinggi seperti itu. Pekerjaan pun sepertinya tidak berat-berat amat, menurutku. Di sini tugasku adalah merawat seorang duda ganteng. Kenapa aku bisa menyimpulkan kalau si Darren itu ganteng? Karena aku sudah melihat fotonya di handphone Siska. Dan doi memang benar ganteng. Wajahnya tak kalah tampan dengan salah satu artis Korea papan atas, yaitu Lee Min Ho. Aish, fokus mencari uang, Kay. Ingat, tujuh juta per bulan, itu lumayan. Jangan sampai tergoyahkan hanya karena terlena oleh pesona seorang duda tampan. "Iya, Nak Kayla. Sebelumnya Siska juga sudah cerita pada saya. Tapi sebelumnya, saya ingin memberi tahu kondisi Darren saat ini pada Nak Kayla. Takutnya, nanti Nak Kayla kaget setelah tau kondisi anak saya seperti apa." Nyonya Dea mulai membuka obrolan. Aku tak paham dengan apa yang beliau maksud. Kenapa aku harus kaget setelah tahu bagaimana kondisi Darren saat ini? Padahal sebelumnya Siska sudah memberitahuku perihal kondisi Darren sekarang seperti apa. Siska bilang Darren tengah depresi karena kehilangan istri dan juga calon anaknya. Pikirku, Darren ini butuh teman sebagai tempat bersandar dan teman curhat. Mudah-mudahan saja aku bisa mengambil hatinya Darren supaya bisa melancarkan pekerjaanku di sini. "Memangnya, bagaimana kondisi Tuan Muda Darren saat ini, Nyonya? Sebelumnya Siska juga sudah cerita pada saya, Nyonya, perihal bagaimana kondisi Tuan Muda Darren saat ini." Aku mempertanyakan hal yang mulai membuatku penasaran bagaimana dengan kondisi Darren sekarang. Terdengar Nyonya Dea mengembuskan napas panjang. Sepertinya beliau terasa berat untuk menceritakan perihal anaknya pada orang lain. "Darren itu terkena gangguan depresif karena meninggalnya menantu saya serta calon cucu saya yang masih dalam kandungan istrinya Darren. Efeknya, beberapa kali Darren pernah mencoba bunuh diri. Terkadang ia melukai dirinya sendiri. Pun dia sering menangis tak jelas dan menganggap dirinya tak layak hidup. Dia sering merasa kalau penyebab kematian istri dan juga calon anaknya itu adalah dirinya." Aku sempat terkejut dengan penuturan Nyonya Dea soal Darren. Benarkah pria itu sakit separah itu? Bahkan sampai beberapa kali mencoba bunuh diri. Wah, ngeri. "Kami sudah melakukan pengobatan sejauh ini. Darren rajin kami bawa terapi ke psikiater. Namun, ada masanya ia akan kambuh dan berakhir dengan percobaan bunuh diri. Darren selalu menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang terjadi pada Reynita beberapa bulan lalu." "Eum, maaf, Nyonya. Jadi, Nyonya Muda Reynita itu meninggal baru beberapa bulan ini?" tanyaku memastikan. "Iya, Nak. Reynita meninggal belum lama ini. Kami benar-benar bingung dengan kondisi psikis dan mental Darren sekarang. Kami sangat berharap, Darren segera sembuh dan bisa hidup normal seperti dulu. Sejauh ini, Darren kami kurung di kamar. Sebab, ketika berada di luar, kami takutnya dia akan nekat melakukan hal-hal yang berbahaya. Emosi Darren dalam kondisi mentalnya yang tengah terganggu begini sering sekali tidak terkontrol. Terkadang dia marah-marah tak jelas dan tanpa sebab yang pasti." Lama kelamaan aku mulai paham dengan kondisi Darren yang sebenarnya. Aku berpikir, lelaki itu sangat mencintai istrinya, sampai-sampai tak rela istrinya meninggal. Padahal, yang bernyawa pastinya semua akan mati. Yang namanya cinta memang terkadang membutakan hati dan pikiran. Coba saja Darren mau mencontohku. Aku pernah disakiti oleh Ikhsan. Dan ikhlas-ikhlas saja tuh sekarang Ikhsan digaet oleh si nenek lampir Tika.  Karena pikirku, suatu saat nanti aku akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Ikhsan. "Oh iya, setelah saya bercerita tentang bagaimana kondisi anak saya, apakah Nak Kayla akan berubah pikiran? Beberapa calon pekerja yang melamar bekerja di sini untuk mengurus Darren, selalu saja mengundurkan diri setelah saya cerita tentang kondisi Darren seperti apa. Dulu ada yang merawat Darren sebenarnya. Dulunya itu pengasuh Darren waktu masih kecil. Tapi sekarang sudah tidak bisa bekerja di sini lagi karena harus mengurus suaminya yang tengah sakit di kampung." Dari raut wajahnya, Nyonya Dea sepertinya sangat berharap aku bersedia bekerja di sini. Okelah, akan aku coba dulu. Daripada aku menganggur dan luntang-lantung di kota orang, tidak ada salahnya aku bersedia menerima pekerjaan ini. "Baik, Nyonya. Saya bersedia bekerja di sini. Saya akan berusaha merawat Tuan Muda dengan baik," sanggupku mantap. Nyonya Dea menanggapi dengan senyum haru yang entah kenapa membuatku merasa nyaman dan menjadi rindu dengan ibu. *** Hari ini aku resmi bekerja di keluarga Pramono. Di sini ada lima pekerja sebelumnya, kalau ditambah aku jadinya total ada enam. Ada Bi Asti yang bertugas sebagai juru koki sekaligus Kang Laundry di sini. Ada Mba Rara yang kebagian tugas bebersih rumah dan berbelanja kebutuhan dapur dan rumah. Ada Pak Anton si sopir berkumis. Pak Rahmat si satpam dengan body lumayan kekar. Dan satunya lagi ada si Ahmad--tukang kebun yang ngakunya masih jomblo. Dan katanya juga masih brondong. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, aku memang diharuskan menginap di sini. Dan aku menepati sebuah kamar kosong yang berada di lantai dua. Sengaja Nyonya Dea memilih kamar ini untukku karena letak kamar ini berada di sebelah kamar Darren persis. Beliau bilang, supaya kalau ada apa-apa dengan Darren atau ada hal darurat yang berhubungan dengan anaknya itu, aku sebagai seseorang yang ditugaskan untuk merawat Darren, bisa langsung cepat menangani. Nyonya Dea dan Tuan Besar Dirga memiliki dua orang anak. Ada Darren dan sang adik--Dara--yang saat ini masih duduk di bangku kuliah. Satu hal yang menurutku unik dari keluarga ini. Mereka berempat, sama-sama memiliki inisial nama depan D, dan sama-sama lahir di bulan Desember. Benar-benar satu keluarga yang unik. Siang ini aku berniat mendatangi kamar Darren. Tentunya sambil membawakan menu makan siang dan sembari memperkenalkan diri kalau sekarang aku adalah pengurusnya. Mudah-mudahan lelaki itu bisa menerima kehadiranku dengan baik. Kuketuk pintu kamar Darren. Tak ada yang menyahut, aku pun memutuskan untuk membuka pintunya perlahan. Dan rupanya tidak dikunci. Memasuki kamar pria itu sambil membawa nampan berisi menu makan siang, aku lantas mendapati ada seorang pria yang tengah duduk di kursi roda sambil menghadap ke arah jendela. Sudah jelas pasti itu Darren. Ya siapa lagi kalau bukan dia. "Selamat siang, Tuan Muda." Kusapa ramah lelaki dengan kaus putih tersebut. Kemudian kuletakkan nampan yang kubawa tadi di atas meja kaca yang terletak di depan sofa. Darren belum merespons. Dia belum menjawab sapaanku. Pun belum menoleh juga. Jual mahal kayaknya. Aku putuskan untuk menghampirinya. Dan detik ini aku tengah berdiri di sampingnya. Sedikit kubungkukkan badan, lalu mulai memperkenalkan diri. "Selamat siang, Tuan Darren. Perkenalkan, nama saya Kayla. Mulai hari ini, saya bekerja mengurus semua kebutuhan Tuan Darren. Tuan nggak sendirian lagi sekarang. Tuan sekarang memiliki seorang teman yang selalu ada untuk Tuan." Selang beberapa detik setelah aku memperkenalkan diri, Darren mulai merespons. Ia perlahan menoleh. Menatapku dengan wajah datarnya. Ada dua hal yang aku tangkap setelah aku bertatap muka dengannya. Darren memang tampan, tetapi raut wajahnya itu mengisyaratkan sebuah kepedihan yang mendalam. Aku tahu, kehilangan seseorang yang sangat kita cintai itu memang suatu ujian yang berat. Namun, menurutku tak semestinya kita harus depresi dan tidak menikmati hidup seperti yang dilakukan oleh Darren. Aku beranggapan kalau Darren sebenarnya hanya butuh seseorang yang dengan sabar mau mengerti bagaimana kondisinya saat ini. Lelaki itu sempat berkedip sebelum ia memilih memutus kontak mata denganku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dan aku bisa memaklumi karena kata Nyonya Dea, Darren berubah menjadi pendiam sejak peristiwa memilukan beberapa bulan lalu. Kata Nyonya juga, Darren memang aslinya orangnya pendiam. Ditambah dengan kejadian begini, ia jadi tambah pendiam. "Akh, sekarang sudah waktunya Tuan makan siang. Saya suapin, ya? Habis itu, Tuan harus minum obat supaya Tuan cepat sembuh." Aku memberanikan diri mendorong kursi rodanya menuju sofa yang terletak di seberang ranjang. Kududuki sofa berwarna merah itu. Lalu mengambilkan makan untuk Darren. Siang ini, Bi Asti sudah memasak brokoli saus jamur dan semur ayam kecap untuk tuan muda yang satu ini. Kata Nyonya Dea, dari kecil Darren tidak suka memakan masakan pedas. Padahal menurutku kalau tidak makan pedas, rasanya kurang mantap. "Nah, buka mulutnya, Tuan. Tuan harus makan, biar Tuan cepat sembuh." Darren masih bergeming. Ia sama sekali tak mau membuka mulut saat aku menyodorkan satu sendok nasi dan lauk di depan mulutnya. "Tuan, ayo buka mulutnya." Aku masih stay dengan kata 'sabar dan telaten.' "Tuan." Aku masih giat membujuk Darren agar bersedia membuka mulutnya. Darren seketika melirikku sekilas. Ia tiba-tiba melakukan hal yang sama sekali tidak aku duga. Prang! "Tuan ...?!" ******** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD