Part 3 (Jangan Dipaksa)

1143 Words
Aku benar-benar terkejut dengan tingkah Darren barusan. Ia tiba-tiba merebut piring dari tanganku lalu membuangnya ke lantai. Sudah jelas piring itu pecah berserakan. "Tuan, kalau misal nggak mau makan, bilang dong. Nggak perlu bertingkah seperti itu." Aku ceramah juga kan akhirnya. Lagian sikapnya tadi itu benar-benar mengejutkan. Ternyata menghadapi orang sakit mental seperti Darren ini tidaklah mudah. Stok kesabaranku harus banyak. Belum apa-apa aku sudah mengomel. Aish. Darren menatapku tak terbaca. Ia kemudian menjalankan roda kursinya dengan kedua tangan, menuju tempat pembaringan. Boro-boro mau menanggapi ocehanku. Sebenarnya Darren ini tidak lumpuh. Ia bisa berjalan seperti layaknya orang normal. Namun, karena kondisinya yang lemah, ia terkadang membutuhkan kursi roda untuk menunjang aktivitasnya. Meskipun sedang dirundung perasaan sebal pada pria itu, aku harus bekerja seprofesional mungkin. Dengan sigap, aku membantu Darren berdiri dan menuntunnya menuju tempat tidur. Tak ada penolakan darinya. Hanya saja, sejak tadi pria itu belum mau mengeluarkan suaranya guna menanggapi setiap ocehanku. "Tuan mau makan atau mau minum apa? Biar saya buatkan. Kata Bi Asti, pagi tadi Tuan hanya makan roti tawar aja. Perut Tuan harus diisi, biar nggak sakit." Aku mulai kembali membujuknya. "Aku udah terlanjur sakit ...." Akh, akhirnya pria itu mau bicara juga. Akan tetapi, kenapa perkataannya seperti itu? Aku tahu ia tengah sakit, bahkan memang ia sudah terlanjur sakit. Namun, ucapannya tadi itu seolah-olah menunjukkan bahwa dia telah putus asa menghadapi cobaan pahit yang tengah menyapanya ini. "Di mana-mana, orang kalau sakit, pasti akan mencari obat, agar penyakitnya cepat sembuh. Apa Tuan nggak ingin cepat sembuh dan bisa hidup normal seperti sedia kala?" "Apa kalau aku sembuh, Reynita akan bisa hidup lagi?!" Nada bicara pria itu terdengar meninggi. Sepertinya aku salah bicara kali ini. Orang-orang seperti ini memang gampang sekali terpancing emosi. Padahal perkataanku masih dalam batas wajar. "Tuan, kehilangan orang yang sangat kita cintai, memang cobaan yang berat. Tapi menurut saya, Tuan nggak perlu seperti ini. Tuan harus move on. Hidup ini harus kita jalani dan kita nikmati." "Aku hanya ingin sendiri. Pergilah." Darren tiba-tiba mengusirku dengan suara lirihnya. Agak berat hati sebenarnya meninggalkannya dalam kondisi belum makan begini. Biar bagaimanapun, lelaki itu sekarang menjadi tanggung jawabku. Kalau sampai kondisinya drop gara-gara tidak makan, ujung-ujungnya aku yang merasa tak enak hati pada Nyonya Dea. Takut saja beliau sampai berpikir kalau aku ini tidak becus mengurus Darren. "Saya akan pergi, tapi saya akan kembali lagi membawa makanan untuk Tuan. Tuan harus mak--" "Aku bilang pergi!" Darren mulai berani membentakku. Untuk kali ini aku cukup dibuat kaget dan lumayan takut akan kemarahannya. Aku putuskan untuk meninggalkan Darren. Sebelumnya kupunguti pecahan piring di lantai yang sejak tadi berserakan. Dan membersihkan makanan yang sudah berserakan itu. Aku memilih membiarkan Darren sendiri dulu. Orang seperti dia memang tidak bisa dikerasi. *** Aku tengah mengaduk-aduk kopi di cangkir sambil tetap memikirkan kondisi Darren. Saat ini posisiku tengah duduk di kursi meja makan khusus pembantu di sini. Di dapur sana ada Bi Asti yang masih sibuk memasak. Sementara Mba Rara masih beres-beres di lantai atas. "Kuncinya cuma dua, Kay. Sabar dan telaten. Menghadapi orang seperti Tuan Muda itu kudu sabar bin telaten. Dalam kondisi seperti ini, dia itu tidak bisa dikerasi apalagi dipaksa. Didiamkan dulu sebentar. Nanti kalau Tuan Muda butuh makan, pasti minta sendiri ke kita." Nasihat Bi Asti aku dengarkan dengan saksama. Memang ada benarnya juga. Mungkin tadi sebab marahnya Darren karena ia belum ingin makan, sementara aku terus membujuknya untuk makan. "Tapi aku kepikiran si Tuan Ganteng nanti kelaparan, Bi. Nggak enak juga kan kalau sampai Nyonya tau, bayi besarnya itu belum makan. Nanti dikira aku nggak becus kerja," keluhku. "Elah, belum apa-apa wes berani manggil si 'Tuan Ganteng'. Hati-hati, Kay, nanti kecantol sama gantengnya si Tuan, repot kamu." Mba Rara tahu-tahu datang dan ikut-ikutan nimbrung ke dalam obrolan kami. "Hooh, betul. Hati-hati kecantol sama pesonanya si Tuan Muda, Kay. Tiap hari bareng, lama-kelamaan jadi cintrong beneran," sahut Bi Asti. "Nggak mungkinlah sampai kecantol. Aku sadar diri kok. Aku kan di sini cuma jongos. Nggak mungkinlah bisa bersanding sama si pangeran tampan," jawabku menyangkal. Aku datang ke sini memang niatnya untuk bekerja. Jadi tidak afdol kalau aku bawa-bawa perasaan. Apalagi sampai menyukai si bayi besar itu. Itu terdengar mustahil. Aku dan Darren banyak perbedaan. Dia berasal dari keluarga kaya raya, terpandang. Sementara aku, cuma anak perantauan yang mau nge-mall aja harus mikir-mikir lagi. Lagi pula, kami juga terhalang keyakinan yang berbeda. Jadi sangat tidak mungkin jika suatu saat kami akan bersatu. Nah kan, ngelanturnya sudah ke mana-mana. Sadar, Kay, sadar. Di sini kamu kerja. Maka fokuslah dengan pekerjaan. Bukannya malah mirikin jodoh. "Kay." "Eh, opo?" Aku sempat terkaget ketika Bi Asti memanggilku. "Iku loh, handphone-mu bunyi klintang-klintung terus dari tadi," kata Bi Asti memberi tahu. Ponsel kesayangan yang sejak tadi terletak anteng di atas meja makan rupanya berdering nyaring tanpa aku sadar. Sepertinya tadi aku terlalu sibuk memikirkan Darren. Di layar ponsel tertera nama Ikhsan yang tengah menghubungiku. Mau apalagi sih dia? Apa dia belum puas membuatku sampai dipecat dari kantor? "Kay, diangkat loh teleponnya. Bunyi terus, kupingku lama-lama budeg, Kay." Bi Asti mulai mengomel karena sepertinya ia cukup terganggu dengan bunyi dering di ponselku. "Iya, Bi, iya." Dengan berat hati aku menerima panggilan telepon dari Ikhsan. "Ya?" "Kay, kamu tinggal di mana sekarang? Kata ibu kos, kamu udah pindah. Kamu pindah ke mana, Kay? Aku khawatir sama kamu." Entah kenapa aku rasanya sangat mual dan ingin muntah ketika Ikhsan berlagak sok perhatian padaku. Sepertinya ia pura-pura lupa dengan kesalahan yang dulu telah ia perbuat padaku. Dasar laki! "Aku sekarang udah hidup bahagia. Aku mau nikah sama duda kaya. Jadi mulai sekarang, kamu berhenti hubungin aku. Bye!" Kututup sambungan telepon tersebut dengan perasaan kesal. Kenapa aku harus berurusan dengan laki-laki tukang selingkuh seperti dia? Setiap hari Ikhsan tak ada kata lelah untuk tidak mengganggaku. "Ngomong apa barusan kamu, Kay? Kamu mau nikah sama si duda kaya? Jangan bilang kalau duda yang kamu maksud itu anak juragan kita, yo? Bisa berabe, Kay, kalau kalian cinlok." Mba Rara kini sudah duduk di depanku persis, setelah ia tadi menceramahiku. "Opo sih, Mba? Aku cuma bohongan doang. Tadi ada telepon dari cowok yang hobi gangguin aku. Dari pada aku sumpek digangguin terus, ya mending aku bilang bentar lagi mau nikah sama duda kaya." Aku tidak sadar kalau tadi sudah kelepasan bicara mau menikah dengan duda. Padahal boro-boro ada rencana mau menikah, calonnya aja belum nemu. "Tapi hati-hati, Kay. Ucapan itu adalah doa. Kalau suatu saat kamu beneran menikah sama duda ganteng bin kaya, jangan lupa sama kita-kita, ya?" imbuh Bi Asti. Beliau lalu menyuguhkan satu mangkuk besar balado jengkol di meja makan. "Wih, mantep bener ini jengkol. Udahan dulu mikirin si duda ganteng bin tajir. Sekarang, waktunya kita makan." Aku sudah tidak sabar ingin sekali menyantap makanan paling favorit itu. Akh, sebodo amat sama baunya jengki. Yang penting enak dan halal. Kami bertiga makan dengan lahap dan penuh suka cita, seperti keluarga saja. Mendadak aku jadi teringat dengan ayah dan ibuku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD