Part 4 (Berusaha Membujuk)

1232 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Tuan dan Nyonya belum juga pulang, begitu pun dengan si Nona Muda--Dara. Menurut Bi Asti, Dara sedang mengikuti KKN di sebuah daerah yang berada di Gunungkidul. Sangat-sangat disayangkan kalau rumah megah seperti ini jarang dinikmati atau dihuni oleh si empunya rumah. Katanya lagi, jauh sebelum Darren sakit, dia juga jarang di rumah. Pria itu tadinya ikut membantu sang ayah di perusahaan. Menjabat sebagai seorang direktur operasional kalau tidak salah. Namun, semenjak sakit, jabatan Darren untuk sementara waktu digantikan oleh David--sahabat dekat Darren yang kudengar juga calon suami Dara. Wah, tidak kusangka sebelumnya, Dara yang masih kuliah ternyata sudah ada calon suami. Lalu bagaimana dengan aku? Aku merasa aku masih enggan untuk membuka hati pada pria lain setelah dikhianati oleh Ikhsan. Aku masih setia menikmati masa jombloku sambil giat bekerja mengumpulkan uang demi masa depan. Bi Asti dan Mba Rara sudah beristirahat di kamar masing-masing. Kini giliranku yang akan menikmati waktu rehatku di kamar. Namun, saat aku tengah berjalan melewati kamar Darren, aku langsung teringat dengan kondisinya saat ini. Dari siang dia tetap tidak mau makan. Mau membujuk pun, rasanya percuma. Kata Bi Asti, cukup dibiarkan saja, nanti juga kalau si bayi besar itu sudah lapar, dia pasti akan turun sendiri dan meminta kita untuk menyiapkan makanan untuknya. Namun, sampai malam begini, si Darren belum nongol juga. Kenapa aku jadi sebegitu khawatir dengan kondisinya? Akh, wajar saja lah kalau aku khawatir. Aku ini kan orang yang bertugas untuk merawatnya. Merawat bayi besar demi gaji tujuh juta setiap bulan. Aku harus merawat duda keren itu dengan baik. Kuputuskan untuk menemui Darren di kamarnya. Hanya mengecek ia sudah tidur atau belum. Kalau belum, aku bisa membujuknya untuk makan malam. Siapa tahu kali ini berhasil. "Tuan Darren?" Setelah kubuka pintu kamarnya dan perlahan masuk, aku sama sekali tidak mendapati Darren ada di kamarnya. Di atas ranjang, kursi roda, atau pun sofa, semua tampak kosong. Di manakah Darren? "Tuan ... Tuan di mana?" Aku mulai panik dengan tidak adanya Darren di sini. Ke mana perginya dia? Aku hanya takut ia berbuat nekat dan akan membahayakan dirinya sendiri. Aku tak sengaja menoleh ke arah kamar mandi. Di sana sudah ada Darren yang baru saja keluar dari kamar mandi, dan kupikir ia baru saja selesai mandi. Terbukti dari dia yang hanya mengenakan sehelai handuk saja. Akh, ya ampun. Dia cuma memakai handuk saja. Dan sialnya, aku tak sengaja melihat otot-otot di perutnya. Astagfirullah ... Kay, sadar, Kay. Itu namanya zina mata. "Akh, maaf, Tuan Darren, saya nggak sengaja masuk. Saya permisi dulu." Aku hendak undur diri dari kamar Darren, tetapi pria itu tiba-tiba menahan lenganku. Memaksaku untuk berbalik badan dan bertatap muka dengannya. Apa-apaan ini? Kenapa dia bisa seberani ini? Apa dia cuma pura-pura sakit mental, dan sekarang sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbuat macam-macam padaku? Awas saja kalau dia berani berbuat lancang. Bogem mentahku pasti akan langsung mendarat di wajahnya. "Tuan Darren, a-ada apa?" Darren masih saja menatapku datar. Tak ada seulas senyum sama sekali dari wajahnya. Memang sudah jadi ciri khasnya dia mungkin. "Tolong buatkan aku cokelat hangat. Taruh di balkon kamar," perintahnya dingin. Lalu ia melepaskan cekalannya dari lenganku. Huft. Aku membuang napas lega. Kupikir dia akan beneran berbuat macam-macam. Lagian, mana mungkin sih seorang Tuan Muda akan berbuat macam-macam pada pembantunya. Nggak level kali, Kay. Aku undur diri dari kamar Darren lalu menuju ke dapur untuk membuatkan cokelat hangat untuknya. Aku memilih membuatkan dua cangkir dan cangkir satunya untukku. Siapa tahu kalau Darren aku temani minum cokelat, ia akan menjadi luluh dan mulai belajar terbuka denganku. *** Darren rupanya sudah menungguku di balkon. Akh, bukan-bukan. Ia sebenarnya tengah menunggu cokelat hangatnya datang. Mana mungkin menungguku, yang benar saja. Ia telah duduk di sebuah kursi kayu yang sudah tersedia di sana. Segera kusuguhkan secangkir cokelat hangat pesanannya itu di atas meja. Pun kuletakkan satu cangkir milikku di sebelah cangkirnya persis. "Saya temani minum ya, Tuan, biar Tuan nggak sendirian lagi." Aku pun duduk di kursi satunya lagi. Yang terletak di sebelahnya persis. Sesekali kulirik Darren yang sejak tadi tampak fokus menatap langit di jauh sana. Rupanya ada banyak bintang di sana. "Tuan Darren suka melihat bintang?" tanyaku basa-basi. "Mereka satu-satunya temanku," jawabnya tanpa sekali pun menolehku. "Tuan sebenarnya memiliki teman banyak. Hanya Tuan yang lebih memilih mengasingkan diri. Saya juga mau kok jadi temannya Tuan." Aku mencoba mengambil hatinya. Mudah-mudahan saja kali ini ia benar luluh. "Aku terkadang ingin pergi menyusul Reynita." Darren mengucapkan kalimat yang sukses membuatku terkejut. Dia bilang dia ingin menyusul istrinya yang sudah meninggal? Itu sama saja dia ingin mati, dong? Ya ampun, kondisi jiwanya benar-benar sudah terganggu. Dia pikir, mati itu enak apa? Apalagi kalau matinya karena bunuh diri, sudah pasti di sana dapat siksaan berat. Itu menurut ajaran di agamaku. Allah sangat membenci orang yang lebih memilih bunuh diri untuk menyelesaikan masalahnya. "Kalau Tuan ingin menyusul Nyonya Muda Reynita, itu artinya Tuan ingin mati? Kalau Tuan benar berkeinginan ingin mati, saya orang pertama yang akan menertawakan kebodohan Tuan." Dengan blak-blakan aku membenci keinginannya yang ingin menyusul mendiang istrinya itu. Apa-apaan ada orang yang pengen mati? Yang sakit aja mati-matian ingin sembuh. Ini malah kebalikannya. Darren sepertinya tak ingin meladeni ocehanku. Dia hanya diam. Lebih memilih menikmati cokelat hangatnya ketimbang berdebat denganku. "Kapan-kapan saya akan ajak Tuan pergi ke suatu tempat. Di sana Tuan akan bertemu dengan orang-orang yang mati-matian untuk bertahan hidup. Sebab, mereka sadar, seberat apa pun masalah mereka, mereka akan tetap bertahan hidup. Hidup ini cuma sekali, Tuan. Maka harus dimanfaatkan dengan baik. Jangan disia-siakan. Masih banyak orang yang memiliki masalah lebih berat dari Tuan, tapi mereka bisa mengatasi masalah mereka tanpa harus berakhir dengan mati. Yang namanya nyawa itu sangat berharga." Panjang lebar aku menasihatinya. Mudah-mudahan saja dia paham akan maksudku. Lama kami terdiam. Setelah aku ngoceh panjang lebar tadi, Darren lagi-lagi tak merespons. Aku jadi malas kalau harus ngoceh sendiri seperti ini. Cokelat hangat milik pria itu rupanya sudah habis. Darren lalu berdiri dan menatapku sejenak. "Aku mau tidur," ucapnya. Kemudian berlalu meninggalkanku. "Eh, Tuan, tunggu. Tuan kan belum makan. Saya buatkan makan malam, ya?" Aku bergerak mengejarnya. Dan saat ini Darren baru saja mengempaskan tubuh di atas kasur. "Tuan harus makan. Kalau nggak makan, nanti Tuan sakit. Kalau Tuan sampai sakit, nanti saya kena marah Nyonya Dea. Terus, ujung-ujungnya saya dipecat. Kalau saya dipecat, Tuan nanti nggak ada temannya lagi, loh. Memangnya, Tuan mau kesepian lagi?" Pede sekali aku berucap seperti ini. Mana mungkin Darren peduli kalau misalkan aku dipecat. Darren lagi-lagi menatapku dengan tatapan datarnya. "Aku mau makan udang," ucapnya kemudian. Mendengar si bayi besar bersedia makan, jelas aku sangat senang. Itu artinya usahaku untuk membujuknya kali ini berhasil. "Tuan mau makan udang? Akh, kebetulan banget, Bi Asti punya stok udang di kulkas dapur. Tuan mau udangnya dimasak apa? Saya masakin." Aku memilih duduk di pinggiran tempat tidur sambil menunggu aba-aba dari Darren. "Udang saus ... tiram," jawabnya terdengar ragu. "Oke, oke. Saya akan buatkan secepatnya. Tuan tunggu aja di sini. Tunggu saya datang lagi dan membawa udang saus tiram pesanan Tuan." Aku pun bergegas pamit menuju dapur untuk memasak udang saus tiram pesanannya. Entah kenapa aku begitu antusias dan bersemangat memasakkan makanan untuk Darren. Aku hanya senang akhirnya pria itu bersedia makan. Itu artinya aku bisa menjalankan tugasku dengan baik. ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD