Bab 2. PERTEMUAN

3245 Words
Terik matahari menyengat hingga terasa di ubun-ubun kepala. Bau asap sampah yang dibakar tercium dari pemukiman warga yang berada di sekitar wilayah itu. Gadis cantik berkerudung merah hati keluar dari masjid yang terletak di tengah-tengah kampus. Dia bergegas menyusuri koridor, menghindari sengatan matahari. Sesekali, tangannya meraih gawai dan menatapnya sesaat. Gadis itu berhenti di depan kantin, lalu masuk dan memesan makanan. Dia menunggu pesanan siap disajikan. Matanya menyapu ruangan mencari meja kosong. "Kak Ilma!" seru gadis berambut sebahu melambaikan tangan. Ilma menoleh, menghampiri gadis itu yang duduk di sudut kantin. "Hei. Kamu sendirian, Lan?" sapanya pada gadis tersebut. "Iya, nih! Oh, ya, Kakak setelah ini ada acara, nggak?" tanya gadis bernama Lani. "Umm, nggak ada, sih. Cuma nunggu jemputan aja. Mungkin nanti sore." "Mau pulang, ya?" "He'em," sahutnya seraya menoleh pada pelayan yang mengantarkan pesanan. "Kakak mau nggak nemenin aku?" "Ke mana?" "Acara seminar IT." llma terdiam sesaat. Menyendokkan gado-gado ke mulutnya, mengunyah habis. "Emang nggak ada teman?"  "Ada, sih, Kak. Tapi aku males sama mereka." Materi yang disebutkan Lani sangat bertentangan dengan bidang yang digelutinya. Walaupun dia seorang mahasiswi fakultas sastra Jepang, negara yang terkenal dengan ilmu teknologi canggihnya. Bagi Ilma, seni sastra lebih menarik. "Ya, udah. Nanti kakak temenin. Tapi, kalo Aa Ilham jemput, kakak pulang duluan, ya." Gadis ramah itu tak tega menolak ajakan adik kampusnya. "Sipp, deh. Makasih, ya, Kak." Lani tersenyum semringah. Selesai dari kantin, mereka langsung menuju balai mahasiswa. Gedung berkapasitas 300 orang ini biasa digunakan untuk berbagai kegiatan kampus seperti seminar, rapat, dan lain-lain. Saat mereka memasuki ruangan, acara hampir dimulai. Mereka mencari tempat duduk di tengah ruangan. Di sebelah kiri depan, tampak lima orang yang terlibat dalam acara duduk di kursi dan moderator sedang menyampaikan materi. Ilma terheran saat melihat dua orang yang duduk di kursi, dia mengingat-ingat sosok tersebut. Pria asing dengan rambut beruban dan cambang lebat, tampak tak asing baginya. Pria itu yang dijumpai saat Ilma bersama kakaknya di kereta beberapa hari yang lalu dan lelaki di sampingnya pun persis pria bule bersamanya waktu itu. Namun, penampilan pria itu tampak berbeda dan lebih muda tanpa cambang lebatnya. Pria bule itu, mungkin orang yang sama hanya cambangnya yang dicukur habis sehingga wajahnya terlihat bersih dan rapi. Pria asing dengan rambut beruban dipersilakan untuk menyampaikan materi, pembawa acara menyebutkan namanya. Beliau seorang profesor yang sengaja diundang dari Jerman. Profesor tersebut berbicara menggunakan bahasa Inggris, dengan logat Jermannya yang sangat kental. Kemudian, pria bule yang duduk di sebelahnya, menerjemahkan dan menyampaikan ulang dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ilma tak menyangka, pria bule itu bisa berbicara bahasa Indonesia dengan sangat fasih. "Kak Kelvin, ganteng banget, kan, Kak?" celetuk Lani menatap bule tersebut. "Ehh ... apa? Siapa, Lan?" tanya Ilma tergagap. "Itu, lho! Yang sedang bicara namanya Kak Kelvin, dia kakak senior kita di kampus ini, anak IT juga. Setelah lulus di sini, doi lanjut kuliah di Jerman. Udah ganteng, keren, pintar pula!" celoteh Lani memuji pria tersebut.  "Oh, begitu, ya?" Ilma menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Mudah-mudahan ada sesi tanya jawab, siapa tahu aku kebagian. Aku pengen nanya, dia udah punya pacar atau belum? Hehehe." Ilma menatap dan tersenyum geli saat Lani mengucapkan kalimat tersebut. Seminar itu berlangsung selama dua jam. Artinya sudah satu jam lebih mereka mengikuti acara itu. Ilma membuka ponselnya. Belum ada panggilan telepon dari kakaknya, Ilham. Setengah jam sebelum acara selesai, panitia menyuguhkan sesi tanya jawab. Lani tampak senang, setelah beberapa mahasiswa mengajukan pertanyaan, dia mendapat giliran untuk bertanya. "Selamat sore untuk semua yang hadir di sini. Saya ucapkan terima kasih sudah diberi kesempatan untuk bertanya. Salam hormat saya untuk Bapak Rektor, Moderator dan para pembicara." Mata Lani fokus menatap ke arah pria bule tersebut. "Maaf apabila pertanyaan saya di seminar hari ini di luar topik ... saya ingin bertanya kepada kakak senior kita, Kak Kelvin Bradley--" Lani berhenti sesaat, raut wajahnya sedikit gugup setelah menyebut nama pria bule itu. Lalu, gadis itu melanjutkan pertanyaannya. "Kak Kelvin, saya mau tanya, apa saat ini Kakak sudah punya pendamping? Atau Kakak sudah punya pacar?"  "Huuu!" teriak audiensi menyoraki pertanyaan Lani. Gadis itu terkekeh dengan telapak tangan menutup mulutnya. Kelvin tersenyum ramah. Tampaknya ia sudah terbiasa mendapati pertanyaan seperti itu. "Kalo pendamping hidup belum, mungkin kamu, atau kalian yang ada di sini salah satu calonnya," seloroh Kelvin. Candaan Kelvin menambah suasana di dalam gedung semakin riuh dan membuat Lani salah tingkah.  Sementara, Ilma hanya menyimak sambil tertawa kecil melihat tingkah lucu adik kampusnya. "Kak, saya juga mau tanya, dong! Apa komitmen Kakak mengenai sebuah hubungan, seperti pernikahan, misalnya?" Gadis berjilbab ikut penasaran mengenai kepribadian pria bule itu. Lagi-lagi, teriakan audiensi menambah keseruan sesi tanya jawab. "Uumm ... munurut saya, berkomitmen untuk menikah adalah sesuatu yang rumit. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih pasangan, karena menikah adalah komitmen seumur hidup. Tentunya kita menginginkan pasangan yang benar-benar tepat untuk menyertai kita sampai penghujung usia," paparnya lugas. "Menikah, ibarat merakit mesin kendaraan. Jika tidak hati-hati memasangnya, maka akan mudah rusak. Jika ceroboh mengemudikan, bisa membahayakan nyawa penumpang." Panjang lebar kalimat yang disampaikan olehnya membuat audiensi termenung menyimak perkataannya. Sebelum merembet ke luar topik, panitia penyelenggara meminta pembawa acara untuk mengumumkan bahwa waktu seminar telah berakhir. Seluruh yang hadir bersiap-siap mengemasi barang mereka. Pria bule itu mulai berkemas, lalu bergegas keluar gedung sambil berbincang dengan pria di sebelahnya. 'Hasbi rabbi jallallah ....Ma fi qalbi ghayrullah' Alunan lagu terdengar dari nada dering ponselnya. Ilma menjawab panggilan telepon dari sang kakak. "Hallo. Assalamualaikum, Aa Ilham. Iya, nih, baru aja selesai. Neng segera ke sana, ya." Gadis berhidung bangir itu mematikan telepon. "Udah nyampe, Kak?" tanya Lani. "Iya. Kakak pamit duluan, ya." "Ati-ati, Kak. Makasih, ya, udah mau nemenin aku," ucap Lani sambil memeluk kakak kampusnya. *** Di depan kampus, Ilham berpapasan dengan sahabat lama. Anwar, salah satu dosen yang bertugas di sana, mengajaknya untuk masuk dan bertemu seseorang. Ilham tak menolak. Setelah meminta izin kepada sang istri yang menunggu di mobil, Ilham masuk ke dalam sekalian menemui adiknya. Sampai di koridor bawah, mereka bertemu dengan orang yang dimaksud oleh sahabatnya. "Kalian masih saling mengenali, bukan?" tanya Anwar memulai percakapan. Pria yang diajak bertemu terlihat dingin. Sorot mata birunya seolah-olah menyimpan kebencian. Sebaliknya, Ilham pun merasa sungkan. Sedikit kaku, dia mengulurkan tangan untuk berjabatan. Namun, pria itu tak membalasnya. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Ilham merasa semakin tak nyaman.  "Anwar, tugasku sudah selesai, bukan? Aku rasa sudah tidak diperlukan. Aku masih ada urusan yang lain," ujarnya. "Ya, Bro. Thank you, sudah bersedia memenuhi undangan kami dan membantu mengisi acara seminar di sini." Manik Anwar menatap lekat seraya menjabat tangan pria itu. "Aa Ilham!" panggil Ilma. Mereka bertiga mengalihkan perhatian mendengar seruan perempuan. Ilham pamit kepada mereka, menghampiri adiknya, lalu mengajak pergi. Raut muka Ilham tampak pucat. Entah apa yang mereka rahasiakan, yang jelas dulu mereka sahabat. Bahkan, sangat dekat, mereka saling mengenal sejak SMA. Namun, seperti ada sesuatu yang menyebabkan putusnya tali persahabatan yang telah lama terjalin. "Aa kenal sama orang itu?" tanya Ilma penuh selidik. Ilma sedikit heran melihat perubahan sikap kakaknya. Tak seperti biasa sang kakak tak banyak berkata, pun tak menanyakan kabar atau tentang kuliahnya. "Siapa?" Ilham balik bertanya. "Cowok yang tadi ngobrol sama Aa." "Oh ... iya, kenal," balasnya singkat. Ilma semakin penasaran. Namun, dia tak berani bertanya lagi. Dia mengikuti kakaknya menuju tempat parkir dan bertemu kakak iparnya yang sedang menunggu. Sementara, dari arah berlawanan, pria bermata biru sedang menatap tajam, memperhatikan gerak-gerik mereka dari dalam mobilnya. *** Kelvin memasuki ruang kerjanya. Dalam benak pria itu, mengingat kembali pertemuan dengan orang yang sangat dibencinya. Kelvin melempar kasar jas ke atas sofa yang terletak di sebelah pintu masuk ruangan besar yang difasilitasi pendingin udara. Ia berjalan ke arah meja kerja, pria itu tampak termenung memandangi jantung ibu kota melalui jendela kaca. Sorot mata birunya seakan-akan tengah menerawang kejadian silam, tepat sepuluh tahun yang lalu. Sebelum dirinya meraih gelar wisuda. Di tahun ketiga masa kuliahnya, Kelvin harus menerima kenyataan pahit. Ia mendapatkan sanksi dari pihak universitas, saat dirinya terjerat kasus p********i. Di usia 22 tahun, Kelvin dituduh sebagai pemilik situs p***o dan menyebarkan video asusila melalui situs tersebut. Padahal situs itu digunakan untuk memberikan informasi berkaitan dengan mekanik. Namun, ada orang yang meretas dan sengaja menyalahgunakannya sebagai situs p***o. Saat sidang, beberapa teman dekatnya dipanggil untuk menjadi saksi. Mereka membenarkan bahwa Kelvin adalah pemilik situs tersebut. Salah satu sahabat dekat yang dipanggil yaitu Ilham, dan sejak kejadian itu, teman-temannya mulai menjauhi. Bahkan, Kelvin sendiri yang memutuskan tali persahabatan dengan mereka. Flashback "Saya tidak bersalah!" teriak Kelvin saat dipanggil ke ruang sidang kampus. "Situs itu milikmu, bagaimana kamu memungkiri? Semua saksi menyatakan demikian." Seorang dosen menimpali. "Ada orang yang membajaknya, bukan saya yang menyebarkan! Mereka sengaja ingin menjatuhkan nama baik saya." Kelvin berusaha meyakinkan. "Kamu selama ini paling aktif berinteraksi di media sosial dan menguasai dunia internet. Bagaimana mungkin ada orang yang membajak situs milikmu?" Pak Dirga, rektor universitas yang dulu sangat menyukai Kelvin menatap dingin. "Tidak perlu banyak alibi, kasus ini sudah diketahui awak media. Karena perbuatanmu, nama universitas kita jadi tercemar," ujar dosen berkacamata. "Sebaiknya kasus ini kamu selesaikan dengan pihak berwajib. Dan, kami minta kamu mengundurkan diri dari universitas ini." Pak Dirga memberikan ultimatum. "Pak, tolong beri saya waktu untuk membuktikan jika saya tidak bersalah. Saya hanya korban fitnah." Kelvin memohon pada pria tambun tersebut. "Pak, saya kira masalah seperti ini tak perlu ditunda lebih lama. Ini sangat merugikan dan memalukan kita semua. Sebentar lagi masa penerimaan mahasiswa baru. Tentu kita tidak ingin kasus ini terus berlanjut." Pria botak yang juga ketua senat universitas, menyarankan. Kelvin sudah berusaha. Bahkan, ayahnya turut mengajukan untuk pertimbangan kembali. Akan tetapi, usaha sang ayah tidak bisa mengubah keputusan pihak universitas. Mereka telah sepakat mengeluarkan Kelvin secara tidak terhormat. Kelvin sempat dipanggil pihak berwajib mengenai kasus yang menimpanya. Kelvin berhasil menegaskan bahwa ia hanya difitnah juga dinyatakan tidak bersalah oleh pihak kepolisian. Namun, Kelvin masih memendam luka karena merasa dikhianati oleh sahabatnya. Tak satu pun dari mereka yang percaya, kecuali keluarga. Ia sangat kecewa, harga dirinya diinjak karena kasus tersebut. Setelah dikeluarkan dari universitas itu, Kelvin pindah ke kota lain. Ia diterima di universitas negeri terbaik dan melanjutkan masa pendidikannya masih di bidang yang sama. Tok tok tok Kelvin tersentak ketika seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. Pria berusia 32 tahun itu berseru mempersilakan, "Masuk!" "Pak, rapat perusahaan akan segera dimulai!" Sekretarisnya mengingatkan. "Baik. Saya akan segera ke ruangan meeting." Kelvin merapikan lengan kemeja, seraya melangkah meraih jasnya di atas sofa, lalu segera bergegas. *** Bu Sophia tampak sedang menekan nomor telepon rumahnya. Tangannya bergerak cepat seakan-akan sudah sangat hafal nomor seseorang yang akan dihubunginya. Senyum mengembang terpancar dari wajah lembut wanita itu. "Hello, Son! Will you coming for a dinner tonight?" tanyanya. "No, Mom! I'm sorry, I can't. I'm having dinner outside with Laura." Suara pria yang merupakan putra kedua Bu Sophia membalas melalui saluran telepon. Ada raut kecewa dari wajah wanita itu setelah sang putra memberitahu jika ia tak bisa makan malam bersama di rumahnya. Terlebih, ada perasaan terganggu saat mendengar nama perempuan yang disebutkan oleh putranya. Beliau menghela napas, lalu mengembuskan pelan. Pria di seberang telepon seolah-olah memahami apa yang dipikirkan oleh sang ibu. "How about tomorrow night? I promise." "Ok, Dear. Take a care and love you!" Senyuman tulus terukir di bibir tipisnya. *** Jadwal Ilma menjadi guru private Reina mengajar tiga kali dalam seminggu, jika dia tidak pulang ke Bandung. Setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu sore, selama dua jam mengajar. Seperti biasa, dia akan menumpang salat Asar di rumah Bu Sophia. Saat Ilma tiba, Eliza sedang menunggunya. "Reina sedang periksa ke dokter sama Mama. Dia sakit perut. Kamu nggak keberatan, kan, tunggu sampai Reina pulang? Kalo dia masih sakit, belajarnya diundur besok aja." Eliza memberitahu. "Oh, nggak apa-apa, Kak. Saya akan tunggu Reina." Gadis ramah itu menyetujui. "Oh, ya, kalo mau salat bisa di ruangan perpus, di sebelah ruang tengah. Mari saya antar. Kalo mau, kamu boleh baca buku-buku di sana." Eliza mengajak Ilma menuju ruangan di sebelah ruang keluarga. Eliza membuka pintu ruangan tersebut. Menyalakan AC dan membuka tirai tebal yang menghiasi jendela kaca lebar. Ruangan itu cukup luas dengan buku berjajar rapi di dalam lemari dan rak buku. Hampir seluruh perabot terbuat dari kayu tua. Namun, kayunya tetap awet dan terjaga. Posisi jendela tepat menghadap kolam ikan dengan deretan pot bunga anggrek yang merekah indah. Setelah Eliza berlalu, Ilma menjalankan salatnya. Usai salat, dia melipat mukena dan sajadah, menyimpan dalam tasnya. Menyisiri setiap rak, mencari bacaan yang menarik baginya. Buku-buku tersebut banyak yang berbahasa Inggris, isinya tentang bisnis dan ilmu teknologi. Ada juga buku tour guide dari berbagai negara. Ilma memilih salah satunya. Baginya, selain Jepang, Turki adalah negara yang menarik baginya untuk dikunjungi. Ilma tampak sedang menikmati, tak sengaja pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto ukuran besar mirip lukisan pasangan pengantin. Dari busananya, dapat diperkirakan mereka menikah pada waktu setengah abad yang lalu. Ilma memandangi pasangan tersebut. Wajah mempelai wanita mirip sekali dengan Eliza, tetapi tidak mungkin Eliza menikah di zaman seperti foto itu. Mungkin lebih tepatnya, Bu Sophia dan almarhum suaminya. Saat menatap lekat sosok mempelai laki-laki, Ilma seakan-akan teringat orang yang pernah dijumpainya. Warna biru pada bola mata, wajah, bahkan postur tubuhnya sangat mirip dengan seseorang. Mesin blender terdengar dari arah dapur, membuyarkan pikiran gadis itu. Berhenti sesaat. Kemudian .... "Aduh, Den Kelvin!" Suara nyaring Bi Siti terdengar membahana, seolah-olah wanita itu baru saja menangkap basah seorang pencuri. "Kenapa, Bi?" tanya pria itu heran. "Itu minumannya buat tamu, Aden!" ujar Bi Siti sambil menunjuk pada gelas berisi jus apel di tangan Kelvin.  "Tamu siapa? Di depan nggak ada orang." Ia meletakkan kembali minuman di atas nampan. Wanita setengah baya yang sudah sangat mengenalnya sejak kanak-kanak itu menatapnya dan membalas dengan mimik polos. Lalu, dia bergegas membawa nampan menuju ruang tengah. Kelvin membuka lemari es, mengambil satu kaleng minuman soda, kemudian menenggaknya. Bi Siti mencari sosok gadis yang menjadi tamu di rumah itu. Saat meletakkan minuman di atas meja, matanya tertuju pada pintu ruangan di sebelah terbuka. Memandangi gadis muda yang mengenakan gamis modern warna hitam dengan motif setangkai bunga mawar dan jilbab hijau daun itu tengah asyik membaca buku. Dia menghampiri gadis tersebut. "Neng, minumannya bibi taruh di meja, ya. Silakan diminum!" titah Bi Siti ramah. "Oh, terima kasih, Bi. Aduh, saya jadi ngerepotin, nih ...," balasnya sungkan. "Ah, nggak apa-apa, kok. Bibi permisi dulu, ya." Gadis itu mengangguk, tersenyum manis. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Ilma masih terpaku dengan buku di tangannya. "Mom!" Suara Kelvin membuatnya tersentak. Kelvin menoleh ke arah Ilma dengan tatapan heran. Gadis itu merasakan hal yang sama. *"Hai, Kelvin! How are you doing?" Eliza menuruni tangga sambil menggendong putra kembarnya, Abhirama.  *"Where is Mom?" Pria itu beralih padanya, menyembunyikan rasa penasaran terhadap keberadaan Ilma.  "Mama sedang mengantar Nena periksa ke dokter. *She has a stomachache," ujar Eliza. Pandangannya beralih pada Ilma. "Oh, ya, Kel ... ini Ilma, guru private-nya Nena." Ilma tersenyum sedikit kaku. Begitu pula dengan Kelvin. Ia tampak terdiam seperti sedang mengamati wajah gadis itu. "Ilma, perkenalkan ... *Kelvin, he is my stubborn handsome brother. Haha," seloroh Eliza. Mereka saling pandang, sedikit canggung. Ilma tak mungkin berjabat tangan dengannya. Demikian pula Kelvin, sangat paham dirinya tidak boleh bersentuhan dengan Ilma. Dalam hatinya pria itu berkata, *'Here, we meet again!' "Apa kalian sudah saling kenal?" tanya Eliza memandang mereka bergantian. "Oh, hai! Ng-nggak, kok, Kak." Ilma menjadi salah tingkah. *"We've met on the train, haven't we? And ... during seminar at the campus. You were that girl, right? " Netra biru Kelvin melirik gadis itu. *"Umm, yeah ... but we didn't know eachother at the time," jawabnya polos. *"Okay. Never mind. Sekarang kalian sudah saling kenal, kan?" tanya Eliza berusaha mencairkan suasana.  Babysitter menyusul sambil menggendong putri kembar Eliza, Abhinaya. Ilma mencoba menerka bocah itu, lalu mendekati. "Mbak, ini Naya, kan? Boleh saya gendong?" pintanya ramah. Kelvin diam-diam mencuri pandang pada Ilma. Ia tak menyadari tangan kecil Abhirama sedang menarik kaus lengannya. Kelvin menoleh, bocah lucu itu sedang berharap ingin digendong olehnya. "Hei, Rama mau digendong sama kamu. Titip my baby dulu, ya. Aku mau mandi." Eliza menyerahkan Abhirama ke tangan adiknya. Setengah berlari Eliza menaiki tangga, diiringi gelak tawa dengan sengaja menitipkan putranya kepada Kelvin. Bocah lucu itu tampak sangat senang seolah-olah melihat ayahnya. Begitupun saudara kembarnya Abhinaya, dia merasa nyaman berada di pangkuan Ilma. Di halaman, suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Bu Sophia keluar bersama cucunya. Kelvin bergegas menyambut kedatangan mereka. Wajah Bu Sophia tampak berseri. Kelvin menanyakan kabar seraya mencium pipi sang ibu dan keponakannya yang terlihat kurang bersemangat dan segera masuk ke dalam mencari seseorang. "Bi Siti, Kak Ilma sudah datang, ya?" "Iya, Non. Udah dari tadi nungguin Non Nena." Reina berlari ke ruang tengah menemui Ilma. "Assalamuaikum, Kakak!" "Waalaikumsalam, Sayang. Apa kabar? Mama bilang Nena sakit perut, ya? Gimana sekarang?" Ilma menatap cemas. "Udah baikan, Kak. Yuk kita belajar!" ajaknya ceria. Ilma beranjak sambil menyerahkan Abhinaya pada babysitter-nya. Sementara di ruang tamu, Bu Sophia tampak sedang berbincang dengan putranya. "Mama mau mengenalkan kamu dengan seseorang," ujar Bu Sophia menatap Kelvin dan tersenyum penuh arti. *"Who?" tanya putranya sambil berjalan menuju ruang tengah. *"Ilma, Reina's private teacher. Have you meet her?" *"Yes ... i know her, Mom! We've met already." *"Did you know her?" selidik ibunya antusias. *"Of course not. I mean ... I just meet her, here." *"He said, they've meet each other on the train. And ... where else?" celetuk Eliza yang sedang menuruni tangga. Mata biru Kelvin menatap tajam, mengisyaratkan agar kakaknya tidak menanggapi secara berlebihan. Bu Sophia menatap penasaran, menghela napas dan menunggu penjelasannya. Namun, Kelvin berusaha menyikapi dengan santai. "Oh, please ... Mom. Jangan memandangku dengan tatapan seperti itu!" kilahnya. "Kamu tahu, dia gadis yang baik," cetus ibunya. "Dan juga cantik." Eliza menimpali dengan senyuman menggoda. Kelvin sangat memahami apa yang dipikirkan oleh kedua wanita tersebut. Ia bangkit dari sofa, lalu menyerahkan Abhirama kepada Eliza. *"Where're you going?" Eliza menahan tawanya. *"Swimming," jawab adiknya. *** Dari ruang keluarga lantai atas, dengan penuh kelembutan Ilma mengajari murid private-nya. Jari mungil Reina sangat teliti menunjuk huruf hijaiyah satu per satu. Jendela besar sengaja dibiarkan terbuka, udara sore berembus ke seluruh ruangan. Di depannya terdapat balkon kecil yang dibatasi oleh pagar kaca. Dari atas bisa terlihat kolam renang berukuran luas tepat berada di bawah. Satu untuk dewasa dan satunya khusus anak-anak. Di dekat kolam, satu set bangku longer pantai dengan meja dilengkapi payung besar tersedia di sebelahnya. Byurr! Tubuh pria dewasa mencebur ke dalam kolam. Suara gemericik air terbawa angin, terdengar hingga ke lantai atas. Tubuh atletis pria itu begitu lihai berenang dengan menggunakan gaya bebas. Melalui gaya seperti ini, seluruh otot tubuh bergerak aktif membuat laju renang semakin cepat sehingga mampu membakar 100 kalori tiap sepuluh menitnya. Jika Kelvin sedang ada waktu luang, ia bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam di kolam renang. Bi Siti muncul dengan membawa nampan berisi jus orange, minuman kesukaan anak majikannya. Menaruh minuman itu di atas meja dan memberitahu kepada Kelvin. Pria itu bergerak menepi, lalu mengambil segelas jus. Mata birunya berkilau persis warna air kolam yang terpancar oleh cahaya matahari senja. Ia memandang ke atas, memperhatikan gadis cantik yang tengah duduk di tepi jendela dengan sebelah tangan menangkup dagunya. Ketika hampir selesai mengajar, tanpa sengaja mata Ilma menatap ke bawah pada pria yang sedang berenang dengan gaya punggungnya. Memperlihatkan otot lengan, paha, d**a, dan bagian perutnya. Ilma segera mengalihkan pandangan, menundukkan kepala. Lalu, beralih pada Reina yang sedang mengemasi buku Iqra-nya. Bu Sophia muncul dengan tersenyum semringah. "Hari ini ibu sudah mentransfer uang fee melalui rekeningmu," ucapnya. "Terima kasih, Bu. Saya baru mengajar beberapa hari saja, Ibu sudah membayar. Saya jadi sungkan." Gadis itu tersipu malu. "Oh, tidak masalah. Jangan merasa sungkan. Kamu mengajari cucu ibu dengan sangat baik. Nena menyukaimu, kamu patut menerimanya. Ibu juga sangat senang." "Kalo begitu saya pamit. Saya sudah selesai mengajar untuk hari ini." Ilma membenahi diri. "Nak, kapan-kapan ... kalau kamu ada waktu, mau, ya, makan malam bersama kami?" pinta Bu Sophia penuh harap. "Aduh, saya jadi tambah nggak enak, Bu. Insya Allah, lain waktu saya terima niat baik Ibu. Terima kasih." Gadis itu menolak halus. " Oh, ya ... maaf, kalau boleh ibu tahu. Apa Nak Ilma sudah punya calon?" tanya Bu Sophia. Ilma tampak tak mengerti pertanyaan Bu Sophia. Wanita itu seperti memahami dan menjelaskan maksud pertanyaannya. "Maksud ibu ... Nak Ilma sudah ada calon suami atau belum?" "Oh ... umm ... be-belum, Bu," sahut gadis itu menunduk malu. "Mama, aku pamit pulang, ya! Maaf, aku nggak bisa makan malam bersama. Papanya anak-anak sudah menjemput," pamit Eliza pada ibunya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD