Bab 3. KESEMPATAN

1702 Words
Ilma diajak makan siang oleh sepupunya. Mereka menuju sebuah plaza yang letaknya dekat dengan rumah sakit besar tempat Nabilah bertugas. Suasana resto mulai ramai. Mereka memilih bangku di tepi jendela. Nabilah memesan dua porsi ayam panggang organik yang disajikan dengan sayuran. Tak lama, pelayan resto membawakan hidangan. "Bil, kamu masih inget nggak, sama cowok yang di video call kita, waktu aku lagi di kereta?" tanya Ilma sambil mengucurkan saus ke ayam panggang di piringnya. "Hu'um. Cowok bule yang berewokan itu, kan?" sahut Nabilah, sambil menikmati santapannya. "Sekarang udah nggak ...," jawab gadis yang mengenakan gamis berwarna hijau daun motif bunga matahari, datar. "Maksud, lu?" sela Nabilah. "Ya ... penampilan dia agak berbeda," sahutnya. "Beda gimana? Emang lu ketemu dia lagi?" selidik Nabilah. Ilma menjawab dengan anggukan. "Di mana?" tanya Nabilah penasaran. "Hmm ... di rumah Bu Sophia, neneknya murid private aku." Gadis berjilbab warna cokelat itu melirik Nabilah. "Oh ... maksud lu, cowok bule itu papanya si Reina!" tebak Nabilah. "Ish, Inah ... bukan papanya, ihh," tawa Ilma geli. "Jadi siapanya, dong?" "Dia dipanggil 'Uncle'." Ilma menatap wajah Nabilah dengan mimik lucunya. Kemudian, menambahkan. "Waktu seminar, aku ketemu dia lagi," sambungnya. "Oh, ya? Kok, bisa, sih, Jah?" tanya Nabilah semakin penasaran. "Dia salah satu pembicara seminar di kampus." "Ohh, gue ngerti sekarang! Eh, tahu nggak. Kata pepatah, nih, ya. Kalo kita ketemu orang selama tiga kali berturut-turut itu bukan suatu kebetulan. Tapi sebuah tanda, takdir alias jodoh. Hahaha ...." Nabilah terbahak. "Aduh, Inah. Please, deh, jangan mulai lagi! Bahas mitos mulu," protes Ilma. "Ahh, elu mah, kalo dibilangin kagak percaya!" "Kamu ini psikolog apa paranormal, sih? Dikit-dikit jodoh, takdirlah. Kayak dukun aja. Nggak boleh mendahului takdir, syirik tahu!" ceramahnya mengingatkan. "Heh, Ijah. Takdir itu juga ada tandanya, kali. Bisa melalui firasat, mimpi, atau kejadian sebelumnya. Kalo pertemuan lu sama si bule bukan kehendak Tuhan, terus karena apa, coba?" Psikolog muda itu mulai berargumentasi. "Bisa aja, kan, waktu itu lu ketinggalan kereta, nggak bareng sama dia. Atau Nafisha cancel minta lu gantiin dia ngajarin ponakannya." "Udah, ah. Males ngomongin gituan." Ilma menghela napas panjang. Mengambil gelas minumannya, lalu menyeruput setengah. Nabilah mencomot kentang di piring sepupunya. Dia tahu, Ilma tidak suka menu apa pun yang terbuat dari sayuran itu. Dia terdiam sambil memperhatikan perubahan pada raut wajah Ilma. Tampaknya dia sedang mengingat sesuatu. "Keknya aku pernah ketemu dia, deh. Dulu banget!" ujarnya sesuai yang diperkirakan. Nabilah tak menjawab. Dia menunggu reaksi gadis tersebut. Benar saja, Ilma seolah-olah mulai tertarik ingin mengetahui latar belakang pria yang dimaksud. Nabilah menatap lekat dengan kedua tangan menangkup dagu dan sengaja mengedip-edipkan matanya. "Tapi ... masa, sih, itu dia?" ucapnya ragu. Dia melirik tingkah Nabilah yang membuatnya sedikit kesal. "Inah. Ngapain, sih, lu ngelihatin aku kek gitu, ihh?" "Gue ngomong salah. Diem juga salah. Huffh!" dongkolnya. "Jah, lu masih nyambi kerja di perusahaan tempat magang ke Jepang?" "Iya, sekalian nyari proposal buat skripsi. Aku pengen cepat kelar!" "Iya. Selesai skripsi, wisuda, terus lanjut nikah. Biar yang jomlo, kelar sudah," kelakar Nabilah. "Ish, Inah. Nyebelin!" gerutu Ilma. "Cabut, yuk! Bentar lagi, gue masuk." Nabilah tertawa, lalu bergegas menuju kasir. *** "Pak, Nona Laura sudah menunggu di dalam." Sekretaris Kelvin memberitahu saat ia hendak memasuki ruangannya. "Ok. Terima kasih." Ia membuka pintu, seorang perempuan mengenakan blazer warna cream senada dengan celananya, duduk di sofa. "Laura!" Kelvin mendekati gadis tersebut. "Hai, Beib!" Laura beranjak dari sofa, mencium kedua pipi kekasihnya. "How was your day?" sapa Kelvin. "Great. How about you? Aku kangen sama kamu!" Laura merangkul bahu Kelvin. "Not too bad. Miss you too, Love," balas Kelvin. "Nanti malam aku ada acara Friday night party. Temenin aku, ya, Beib?" ajak Laura. "Laura, kenapa sangat mendadak? Nggak ngasih tahu aku dulu sebelumnya?" "Kamu tahu aku nggak sempat, Beib. Kamu juga pasti sibuk, kan?" "Setidaknya kirim pesan singkat." "Emangnya nanti malam kamu udah ada acara?" tanya mode bertubuh tinggi itu. "Mamaku udah bikin acara makan malam bersama di rumah," ucap Kelvin sambil berjalan menuju kursi. "Oh, Baby! Bisa nggak, sih, kamu tunda atau batalin dulu?" protes Laura. "Laura, kamu udah tahu mamaku. Aku nggak bisa bohong sama dia." "Paling nggak kamu kasih alasan yang masuk akal, kek. Meeting atau apa," usulnya. "Please, Laura. Aku nggak mau bikin Mama sedih. Lagian, kita bisa keluar besok malam atau kapan aja." "Hari ini ulang tahunmu, Beib. Aku mau merayakannya berdua sama kamu," kata Laura merajuk. "Well, nggak masalah. Kita bisa merayakannya melalui telepon. Kamu sangat tahu, aku tinggal satu kota yang sama dengan Mama, tapi hanya bisa menyempatkan waktu seminggu sekali bersamanya. Setelah Papa meninggal, Mama sangat sedih dan kesepian. Kamu sudah tahu itu, kan?" Kelvin meminta Laura untuk memahaminya. "Ok, kalo gitu aku mau ajak sepupu kamu nemenin aku ke acara itu. Kamu juga tahu, ini menyangkut karierku. Aku harus hadir." "Ya, aku tahu, kariermu semakin baik dan aku sangat mendukungmu, Sayang." "Bulan depan aku akan menghadiri fashion show di New York." Laura duduk di sandaran kursi yang diduduki Kelvin. "Oh, ya? Bagus, dong!" "Aku mau kunci akses apartemenmu di sana. Boleh, kan, Beb?" bisik Laura mesra. Kelvin mengangguk, ia meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Laura menghujani wajah lelakinya dengan kecupan manja. Menit berlalu, mereka lupa waktu. Berpacu rasa diselimuti sesuatu, hanyut dalam buaian rindu. Mereka melepaskan pagutan bibirnya, saat ponsel Laura berdering. Dengan berat hati Laura bergegas menuju tasnya yang diletakkan di sofa. Berbicara sebentar, lalu menghampiri Kelvin. "Aku harus pergi!" pamitnya. "Ok, Love. See you tomorrow night!" Kelvin berdiri, mengantarkan Laura ke depan pintu. Sebelum meninggalkan ruangan pria itu, Laura mendekatkan tubuhnya. Memegangi kedua pipi Kelvin, lalu mengecup bibirnya lagi. Dia masih ingin berlama-lama dengannya. Namun, karena pekerjaan mengharuskan dia pergi. "Aku pasti kangen terus sama kamu, Beib," ucapnya, dibalas senyum hangat pria itu. *** Langit mendung di sore hari menyelimuti sebuah kawasan perumahan. Namun, suasana di rumah Bu Sophia tampak sangat ramai. Anak-anak kecil dengan seragam putih memenuhi ruang tamu hingga teras rumahnya. Mereka adalah anak-anak dari panti asuhan, sengaja diundang untuk menghadiri acara pengajian dan syukuran yang diadakan oleh tuan rumah. Ilma pun turut diundang untuk mengisi acara pengajian bersama ibu-ibu di sekitar perumahan. Gadis yang memiliki senyum ramah itu semakin cantik memakai gamis putih polos, dibalut jilbab warna soft abu-abu. Kulit putihnya berseri tanpa polesan make-up. Dia ikut membagikan kotak berisi makanan. Jadwal mengajarnya diundur, setelah acara pengajian selesai dan akan mulai mengajar Reina selepas waktu Magrib. Dia sudah menyetujui untuk ikut makan malam bersama mereka. Acara pengajian selesai pukul 17.30 WIB. Ilma izin untuk menunaikan salat Magrib di masjid terdekat sebelum kembali ke rumah Bu Sophia. Ketika dia hendak menuju rumah Bu Sophia, Ilma mengecek gawainya. Kakaknya, beberapa kali melakukan panggilan telepon, bersamaan saat Ilma sedang melaksanakan salat. Satu pesan masuk belum dibaca. Ilma membaca pesan dari Ilham yang mengabarkan bahwa dia tak bisa menjemput. Ilma memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Sampai di rumah Bu Sophia, Kelvin sudah berada di sana. Ilma menyapa pria itu dengan perasaan jengah. Dia mendengar dari Reina, bahwa hari ini keluarga mereka merayakan ulang tahun uncle-nya. Sebelum mengajar, Ilma bergabung untuk makan malam bersama. Dia duduk di kursi sebelah Reina. Mereka berdua kelihatan sangat akrab. Reina duduk berhadapan dengan neneknya. Sedangkan Kelvin, tepat berada di depan Ilma. Saat Ilma mau mengambil makanan, netranya beradu pandang dengan pria pemilik mata biru tersebut. Ilma begitu gugup, sehingga Bu Sophia mengambil makanan untuknya. Usai acara, Reina mengajak gurunya ke ruang tengah. Dia hanya mengajar satu jam, karena Eliza akan mengajak Reina keluar. Hampir jam sembilan malam, Ilma bersiap mengemasi barangnya. "Nak, kamu pulangnya, apa ada yang jemput?" tanya Bu Sophia memastikan. "Nggak ada, Bu. Saya akan pesan driver online." "Tunggu sebentar, ibu suruh Kelvin yang antar kamu pulang," usul Bu Sophia. "Oh, nggak usah repot-repot, Bu. Sa--" Ilma belum selasai bicara, Bu Shopia menyela. "Jangan sungkan, Nak. Sudah malam, biar Kelvin yang antar sampai ke tempatmu," katanya setengah memaksa. "T--tapi, Bu--" Bu Sophia sudah bergegas menaiki tangga. Ilma merasa sungkan, tetapi tak bisa menolak. Dia duduk kembali menunggu di sofa. Gelisah. Di lantai atas, Bu Sophia mengetuk pintu kamar putranya. "Mama mau minta tolong kamu untuk antarkan Nak Ilma pulang." Bu Sophia memandang putranya penuh harap. "Kenapa harus aku?" tanya Kelvin berat hati. "Kelvin, mama mohon. Mama tidak tega membiarkan Nak Ilma pulang sendirian." "Mama, dia bisa pulang naik taksi. Lagi pula mobilku dibawa Eliza," ujar Kelvin beralasan. "Ini sudah malam, tidak baik seorang gadis pergi sendirian. Kamu antar dia pakai mobil Eliza." Kelvin menggaruk kepalanya. Menatap manik sang ibu yang penuh pengharapan dan Kelvin tak mungkin menolak permintaannya. "OK." Ia mengangguk setuju. Bu Sophia tersenyum gembira. Kelvin menuruni tangga, Ilma masih duduk menunggu dengan posisi membelakangi. Kelvin mengambil kunci mobil Eliza yang ditaruh di atas meja kecil di bawah cermin. Saat menatap cermin, pantulan wajah gadis itu berada tepat di depannya. Dia sedang sibuk memainkan gawai, tanpa menyadari pria itu tengah memperhatikan. Ilma sesekali tersenyum-senyum sendiri, menahan dengan menggigit bibir bawahnya. Wajah berserinya bersinar melalui pantulan cermin. "Shall we go?" tanya Kelvin yang berdiri mendekati. "Iy--iya." Gadis itu grogi menatap jengah sosok di depannya. "Maaf, kalo saya merepotkan. Saya bisa pulang sendiri." "Mama memintaku mengantarkan kamu. Aku nggak bisa menolak," sahut Kelvin, melirik ibunya yang sedang berdiri di tangga. Ilma beranjak dari sofa, menoleh pada Bu Sophia. Wanita itu mengangguk dan tersenyum lembut memandangi langkah mereka. Ilma mengekor di belakang Kelvin. Bu Sophia mengantar mereka hingga pintu depan. Saat Kelvin menuju garasi, Ilma berpamitan pada Bu Sophia. Mencium tangannya dan wanita itu membalas dengan pelukan hangat. Kelvin menunggu Ilma masuk, gadis itu membuka pintu di jok belakang mobil sedan milik Eliza. Namun, semua kursi penuh barang dan kursi khusus bayi. Kelvin mengisyaratkan agar Ilma duduk di depan. Dengan perasaan canggung, dia terpaksa mengikutinya. Setelah memasang sabuk pengaman, mobil melaju pelan. Pintu garasi terbuka secara otomatis, Kelvin melambaikan tangannya saat melewati pos satpam. Di perjalanan mereka tampak kaku, melewati jalanan kota penuh kendaraan. Kelvin beberapa kali terbatuk, aroma di dalam mobil kakaknya membuat alergi pria itu. Ia mematikan AC, lalu membuka kaca mobil. Angin malam berembus masuk seolah-olah mengiringi perjalanan mereka. Gamis yang dipakai Ilma berbahan wolfis. Walau bahannya tebal, tapi ringan serta halus dan tidak panas. Embusan angin malam terasa menerpa kulitnya. Ilma membuka tas, lalu mengeluarkan cardigan warna peach-nya. Kelvin menoleh ke arah Ilma saat gadis itu sedang memakai kain berbahan wool lembut tersebut. Pria bermata biru tampak elegan mengenakan kaus abu-abu dengan bawahan celana jeans slim fit hitam, sangat serasi dengan sepatu kulit sneakers warna gelap. Ia fokus mengemudi.  "Dingin?" tanya pria itu memulai perbincangan. "Umm ... sedikit." Ilma menjawab datar. "Aroma di dalam mobil membuatku nggak nyaman," ucapnya tenang. Mobil terus melaju, tetes air terlihat dari atas kaca depan mobil, menandakan rintik hujan mulai tercurahkan. Kelvin menutup kembali kaca di sebelahnya. Ia menghela napas panjang. Suasana malam membuat mereka tak nyaman. Sedangkan Ilma tipe wanita pendiam. Netra gadis itu menatap lurus ke depan, dia hanya menoleh jika Kelvin mengajaknya bicara. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD