bc

Bhasmi Bhuta

book_age16+
107
FOLLOW
1K
READ
revenge
reincarnation/transmigration
sensitive
independent
student
tragedy
Writing Challenge
mystery
witty
multiverse
like
intro-logo
Blurb

Takdir bisa berubah tiba-tiba, bukan hanya karena kehendak Tuhan, tetapi juga akan obsesi manusia. Perubahan yang terjadi di hidup Aryasetya entah yang mana, tetapi seolah hidupnya telah mengarah pada ujung jurang. Sedikit saja ia lengah, ia akan jatuh.

Pada saat itu, ia menemukan seorang gadis yang berhasil menangkap tangannya. Tidak hanya itu, gadis itu juga mempunyai hubungan yang menjadi penentu nasibnya. Upaya mereka membawa mereka menuju Kediri.

Kerajaan Kediri, dimana semua bermula. Bisa jadi akan selesai atau hancur di tempat ini. Akankah Sekar dan Ki Hanung berhasil menemukan Arya dan menyelamatkannya? Lalu, bagaimana kelanjutan dendam tak berujung Satria yang kini tampil dalam sosok Banowati?

Kediri memberikan semua jawabannya.

chap-preview
Free preview
Bab 1. Dua Kesatria
Ketukan tongkat keemasan berukir naga itu bergaung hingga ke langit-langit. Ruang pagelaran dipenuhi dengan beragam manusia, baik tua maupun muda, wanita maupun pria, menghaturkan sembah dengan menumpu pada lutut mereka masing-masing. Langkah berat dan pelan terseret di tengah-tengah kumpulan manusia itu diiringi alunan gamelan yang merdu dan pelan.  Kakinya bersih dengan kulit terawat bagai pualam, hanya sedikit bayangan hitam menghiasinya. Tubuhnya tegap juga bidang, jelas terlatih dengan baik dalam tempaan yang cukup keras. Wajahnya pun mengesankan tempaan berat itu, angkuh dan keras.  Pria dengan setelan pakaian yang serupa dengannya, menanti di ujung singgasana dengan kumis hitam berhias garis-garis keperakan yang tebal. Seorang wanita berkain batik dengan pola rumit kebangsawanannya berdiri dengan setia, perhiasan serba berkilau dari telinga serta lehernya. Kecantikannya tampak enggan meninggalkannya walaupun usianya mulai beranjak senja.  Pria muda pembawa tongkat naga itu berhenti tepat di hadapannya. Tongkatnya disampirkan di bahu, membungkuk-sembahlah ia dengan mengangkat kedua tangan yang terkatup tinggi-tinggi di atas kepala. Seorang patih muda tergopoh melihat anggukan pria dengan kumis abu-abu itu. Tak lama berselang, sebuah keris perak beralaskan bantal hitam berpita emas terangkat di hadapan pria tua itu. Dia mengambil dengan kedua tangannya, seolah keris itu adalah benda berat. Takutlah ia menjatuhkannya. “Wahai Putra Raja, Keturunan Dewa-Dewa, kau saat ini akan mulai mengemban tanggung jawab.” “Hamba, Gusti Paduka Ayahanda Raja,” sembahnya semakin dalam. “Sudah genap kedewasaanmu, saatnya kau menjadi pemimpin, kesatria. Hamemayu Hayuning Bawana, hendaklah kau memperindah bumi ini beserta Kadiri dengan kebijaksanaan dan ilmu-ilmu. Dengan tindak-tanduk rendah hati, mengayomi, serta memberi contoh.” “Hamba, Gusti Paduka Ayahanda Raja,” ulangnya. “Kau sudah mengerti, Jayasabha. Dengan ini, aku angkat kau sebagai Panglima Kerajaan Kadiri. Kelak kau akan memberikan yang terbaik bagi rakyat dan kerajaan ini, menyambungkan warisan leluhur nenek moyang, utusan para dewa.” Mulutnya berkomat-kamit memberikan “isi” pada keris warisan itu. Keris itu disentuhkan dengan lembut pada kepala, serta kedua pundak pria muda itu. “Berdirilah,” lanjutnya. Pria dengan rambut hitam-kelam itu menurunkan sembah serta tongkatnya. Dia bertantang mata dengan ayahandanya. Wajah pria itu tak terduga melembut melihat anandanya yang sudah dewasa, berkumis tebal. “Terimalah keris persembahan para dewa ini, pelindung keluarga raja, disepuh oleh Mpu Syahwana, semoga kelak keris ini akan melindungimu.” Dia terdiam sejenak. “Di manapun engkau berada.” Anandanya menunduk, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Maka, diletakkanlah keris penanda jabatan raja itu di atas tangannya. Perlahan, dia membawanya bersejajaran dengan matanya yang juga hitam-kelam. “Aku terima keris ini, sebagai tanggung jawab keturunan raja pengemban tugas dewa, menyejahterakan rakyat, membawa keadilan dan kebenaran di atas bumi kerajaan Kediri ini.” Hadirin berseru-seru menyuarakan puji-pujian mereka atas raja baru di kerajaan Kediri. Sembah mereka semakin mendalam, menyongsong langkah Ananda Raja menuju singgasana agung. Seiring dengan itu, ayahanda dan ibundanya duduk di kedua singgasana yang berada di kanan dan kirinya. Suara gong dibunyikan beberapa kali seiring dengan nada puji-pujian yang terlantun semakin membahana.                                                                              ***   “Selamat,” sahut pria dengan rambut berombak, tersenyum padanya. Keris telah tersampir di pinggangnya, simbolnya sebagai kesatria, prajurit Kadiri yang akan memimpin pasukan dalam mempertahankan kerajaan. Dia yang disapa, mengangkat dagu, membalas senyumannya. "Aku sekarang memang Panglimamu, tapi bagiku kau tetap kakandaku. Mengerti, kau?” sahutnya, menyampirkan sebelah tangannya di pundak pria itu. “Perkataanmu adalah titah bagiku, keturunan Dewa.” “Sudah, cari kata-kata lain. Entahlah, tidak suka aku mendengarnya.” “Baik, Mahapatih Jayasabha,” sahutnya dengan senyum tipis sedikit menggoda. “Kakanda, jangan menggodaku terus. Kalau saja kau bisa rasakan, jantungku mau meledak setiap saat. Beban ini tidak main-main, tanggung jawabku bukan hanya pada seluruh pasukan, tapi nyawa dan kesejahteraan mereka.”  Ia menggeleng dengan kecemasan mulai menggelayuti rona wajahnya. Jayagentala, kakaknya itu, tertawa terbahak akhirnya. Ia menepuk-nepuk bahu adik lelaki lain ibu itu. "Kau akan jadi panglima yang baik, Jayasabha, yakinlah soal itu. Aku tidak ada meragukanmu sekecil biji sawi pun." Wajah Jayasabha sedikit merona merah, segera cuping hidungnya mengembang. Ia tersenyum mengangguk kepada pria yang lebih tua dua tahun saja darinya.  "Terima kasih, Kakanda. Kau juga yang mendukungku selama ini. Membantuku belajar, membantuku berlatih di Sasana. Budi baikmu akan aku ingat terus. Sampai aku mati." "Buang-buang napas kau," sahutnya, menggeleng-gelengkan kepalanya.  Jayasabha lantas menatapnya dengan pandangan sendu. Tangannya mengusap-usap tanda kejantanan yang mulai tumbuh malu-malu di dagu yang meluas ke rahang dan atas bibirnya sekalian. "Kau lebih pantas menjadi panglima kerajaan." Jayagentala menatap adik lelakinya sekilas, dengan rahang yang berkedut dengan kilat tajam di matanya. Namun, Jayasabha yang tengah menunduk tidak menyadari reaksi sepersekian detik itu. Karena, setelahnya, Jayagentala mendesah pelan. "Adik, kalau boleh jujur, aku sedikit iri kepadamu. Kasih sayang Ayahanda tertuju padamu. Seluruhnya, sebesar-besarnya." "Kakanda Gentala!" protes Jayasabha, tapi tangan kakandanya terangkat, menghentikan kata-katanya.  "Tapi aku pun punya kasih sayang padamu. Kau adalah adikku, dan selamanya aku akan mendukungmu. Punya jabatan mungkin menjadi keinginanku, tapi tak sebesar keinginanku melihatmu menanjak menuju puncak itu. Kumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya, Jayasabha, dan kau sudah memberi banyak untukku." Pria muda itu tersenyum, memeluk sosok di hadapannya sekilas. Setelah pelukan itu terlepas, Jayagentala meninju pelan d**a adik lelakinya. "Benar-benar kau sudah dewasa! Lihat badan yang keras dan jantan ini!" pujinya, sambil bermain-main. "Ah, kau menggoda lagi," geleng Jayasabha sedikit sendu. Namun, matanya bersinar lebih terang ketika berkata, "Kau harus menjadi tangan kananku, Kakanda Gentala, penasehatku. Kau lebih maju daripadaku dan lebih menguasai taktik-taktik perang dan seni pertempuran. Bersama, kita bisa membuat Kediri terus maju!" “Itu baik juga,” angguk Jayagentala. "Jangan terlalu cemas, Adik. Aku dan semua prajurit Kadiri tentu akan terus menyokong pemimpin kami dan kerajaan kami ini. Tidak hanya Kadiri, kau akan jaya dan menjadi penguasa di sini. Kau lihat saja nanti." "Aku tidak peduli dengan jabatan dan kejayaan itu." “Hush! Kalau didengar Ayahanda, kau akan disentil. Seperti waktu kau kecil, mau?” Jayasabha tertawa lantas menggeleng, walaupun tahu pertanyaan itu tak perlu berjawab. Mereka berjalan menyusuri teras kerajaan yang dipagari pilar-pilar cokelat tua yang berukir-ukir. “Ah, ibunda keadaannya bagaimana?” Sesaat Jayasabha merasakan penyesalan telah mengungkitnya. Kakaknya yang kerap dia panggil Gentala ini menarik ujung bibirnya ke bawah. Kelopak matanya turun, tampak sedih. “Tidak ada perbaikan, walau memang tidak makin buruk.” “Mungkin masih dalam masa kesembuhan sehabis sakit. Pasti tak lama lagi sembuh,” ucap Jayasabha menenangkannya sambil mencengkeram pundaknya. Satria tersenyum, walau senyum itu tak sampai ke matanya. “Istirahatlah kau, pasti lelah sehabis upacara bertele itu.” Menimbang-nimbang sejenak, akhirnya Jayasabha mengangguk. Pria bertongkat emas itu pun menghilang di balik pintu kamar tidurnya, masih diikuti dayang-dayangnya yang berjumlah sepuluh orang. Jayagentala menatap nanar pintu itu. Sesaat dia baru ingat kalau dia harus memberikan laporan kepada ibunya, yang hanya dapat terbaring dengan lemah saat ini. Entah sampai kapan. Langkahnya bergaung di sepanjang koridor bangunan pusat kerajaan itu, menuju ujung wisma kerajaan di Sayap Barat, tempat bernaungnya seorang selir Raja Kadiri, ibundanya sendiri.                                                                                           *** 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Bermain Panas dengan Bosku

read
1.2M
bc

Married With My Childhood Friend

read
44.0K
bc

Married By Accident

read
224.4K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
280.1K
bc

Sweet Sinner 21+

read
879.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook