Bab 2. Rencana Jahat

1357 Words
“Ibundaku,” sahutnya, sambil menghaturkan sembah. Ujung wisma di Sayap Barat Kerajaan. Ujung yang tak terjamah siapapun. Di sanalah Jayagentala menemui ibunya, yang lemah, yang membutuhkan perawatan. “Ah, berdirilah, Nak.” Pria dengan rambut bergelombang itu mendekati ranjang ibunya, Saraswati, menciumi tangan wanita yang kini bernafas dengan berat itu. “Lama baru kau bisa jenguk ibundamu ini?” “Bunda, hanya seminggu berselang,” sahutnya dengan nada membujuk, masih menggenggam tangan ibunya yang mulai kisut. Masih menciuminya, berulang kali. “Apa sudah tak sayang lagi?” “Ibunda,” tegurnya lembut, “semua sibuk dengan persiapan seremonial pengangkatan ini. Aku sebagai Patih Kerajaan juga disibuki oleh keamanan istana. 'Kan ibunda mengerti?” Wanita berkemben hitam itu mengangguk pelan, lemah. Dia merebahkan lagi kepalanya di bahu kursi kayu yang panjang itu. Kursi dengan warna cokelat kemerahan gelap yang mengilap. Ujung bahu itu melingkar, dengan sisinya diukir dengan ukiran Kediri yang rumit, menandai status ningrat pada pemiliknya. Namun, wanita itu menatap langit-langit kamar dengan sendu.  Inilah kamarnya, kamar terujung yang tidak pernah ditengok siapapun, selain anak-anaknya. Ya, Jayagentala telah bersetia kepadanya, mengunjungi setiap waktu. Anaknya yang lain, anak yang tidak pernah dikandung tetapi dicintai sebagaimana kandungnya, Jayasabha, juga selalu mengunjunginya. Membawakan bunga-bunga Melati dan Kenanga, membawakannya kisah-kisah dari Kitab Sumarasantaka atau Gatitkacasraya. Kisah tentang perjuangan dan para kesatria, kisah-kisah yang tak dimilikinya sebagai wanita lemah. Jayagentala memahami kemelut pikir Ibundanya, lantas menangkap sebelah tangannya. Meremasnya lembut. "Ibunda, aku di sini. Aku akan tetap di sisi Ibunda. Dan aku berjanji, aku bersumpah akan memberikanmu kehidupan yang layak." Matanya berkilat-kilat, semakin tajam, semakin memedihkan. "Kau akan menjadi permaisuri Kerajaan, kau akan bersanding denganku menjadi penguasa seluruh rakyat Kadiri. Mereka akan menyembahmu, mereka akan bersujud di kakimu." Saraswati tersenyum lemah. Ia menyangkup tangan anaknya itu. "Apa gunanya itu semua? Bagiku cukup lah kalau Jayasabha dan kau berjaya." "Tidak! Ini tidak benar, Ibunda! Kau tidak seharusnya di sini!" Saat itu, pintu kamar itu menjebalak terbuka. Kasar, tidak santun seperti ajaran Kejawen. Jayagentala segera naik darah. "Siapa itu?! Tidak sopan!" Namun, kata-katanya mengawang di udara, melihat pria dengan kumis bapang yang tebal, berpilin ke atas ujungnya. Rambutnya yang ikal tergerai mengembang dengan pucuknya ditutup oleh mahkota emas berbentuk kubah. Paduka Sri Kertajaya menatapnya tajam.  Jayagentala beserta Saraswati segera berlutut. Suara tepuk berbareng menggaung di kamar sunyi itu ketika ia dan ibundanya menyatukan kedua tapaknya, menyembah Sang Titisan Dewa yang angkuh luar biasa. Dari balik wajahnya yang menunduk, Jayagentala menggertakkan rahang. "Kau memang penipu ulung," geram Sri Kertajaya. Namun, ia tersenyum sembari menjetikkan jari. Salah seorang ajudannya maju, dengan perkamen dari kulit sapi di tangannya.  Dia berdehem sekali. "Dengan ini, Patih Jayagentala, diketahui telah terlihat memberikan informasi pada kelompok pemberontak Ken Arok, yang sekarang ini menguasai Tumapel." Baik Jayagentala maupun Saraswati mendongakkan kepala. "Kau pengkhianat!" seru Sri Kertajaya tertahan. Suara seraknya bergaung keras ke seantero kamar itu. "Kau mencoba menjatuhkanku?! Tidak tahu diri! Kau telah kuurus sejak kecil, telah kuangkat jadi Patih Kerajaan! Ini balas budimu?! Pengawal, tangkap keduanya!!"  “Paduka Raja! O, keturunan para dewa …,” sahut Saraswati, berjalan pada lututnya. Ia memegangi kaki rajanya, wajahnya telah bersimbah air mata. "Tidak mungkin Jayagentala mengkhianatimu! Ini pasti jebakan dari orang, Paduka Raja ...." “Ayahanda! Kau tentu tak percaya pada kabar angin itu!” tukas Jayagentala. "Aku, Patih Kerajaan! Aku, putramu! Aku tidak mungkin menjatuhkanmu! Mana k*****t yang menyebarkan informasi itu?!" Wajah pria itu memerah, suaranya telah naik dalam kemurkaan. Sri Kertajaya mendekatinya, membelalakkan mata ke arahnya. "Kau berani bersumpah atas nama Dewa-dewa bahwa kau tak bersalah?" "Hamba, Yang Paduka!"  Raja berkumis bapang itu bukannya mereda, ia semakin murka. Dengan kakinya, ia menendang d**a Jayagentala hingga pria muda itu tersungkur ke belakang. Tidak puas ia sabetkan cambuk yang ada di tangannya. Berkali-kali. Jayagentala mendelik dari tundukannya, tak berani menatap langsung Sang Titisan Dewa itu. Namun, ia menggigit bibirnya, menahan jeritnya, agar ayahandanya tidak mendapatkan apa yang dia mau.  “Gentala!” pekik Saraswati, menarik-narik kain jarik yang menggantung di sisi tubuh Sang Raja. "Sudah! Sudah!" Sri Kertajaya menepis kasar wanita itu hingga wanita lemah itu terdorong ke belakang. Kepalanya menabrak kaki kursi yang baru saja ia duduki. Ia mengaduh pelan, memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut sekarang. Melihat itu semua, Jayagentala tidak mampu lagi menahan kesabaran. Di hadapan mata-mata prajurit kerajaan, ia gelap mata. Ia menyerang rajanya sendiri dan meninjunya. Keahlian silat yang didapatnya bertahun-tahun dalam pelatihan prajurit kerajaan deras mengalir keluar. Sri Kertajaya, yang tidak menyangka akan diserang, menjadi lengah dan menjadi sasaran amuk Jayagentala. Tinjunya sempat membuat rahang raja itu berderak keras. Namun, tidak seberapa lama karena tubuhnya kini telah tertarik. Para pengawal raja segera menangkap dan memiting lengannya. Seorang dari mereka menghempaskan tubuhnya ke lantai, lalu menindihnya dengan lututnya. Kepalanya pula dikunci, hingga pipinya tergesek pada lantai kayu yang dingin. Pria itu mencoba berontak. "Kalian mau-maunya menurut pada raja angkuh itu?! Dia mengaku sebagai Dewa yang harus kalian sembah! Itu yang kalian mau?!" Beberapa prajurit saling berpandangan. Keraguan timbul pada muka mereka. Namun, perhatian mereka telah teralihkan dari komando langsung Sang Raja. Mereka yang terdidik untuk patuh melakukan apa saja demi raja mereka. Bahkan, meringkus patih mereka sendiri, yang biasanya mengajarkan mereka ilmu silat yang mereka punyai. “Berhenti!!! Aku ini patih kalian! Aku keturunan Kertajaya, juga keturunan Dewa! Kalian menghinaku!!!” jeritnya, berkali-kali.  “k*****t! Kau tak pantas jadi anakku!” raung Sri Kertajaya, mengalahkan jeritan-jeritan Jayagentala. Dia lalu menunjuk pada Saraswati. "Bawa juga w***********g ini! Dia lah yang membesakan pengkhianat, dia sendiri tentunya pengkhianat!" Saraswati membelalakkan mata. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia menghaturkan sembah dengan tangan bergetar kencang. "Paduka ... Paduka Raja ...." Bahkan, suaranya gemetar.  "Jangan bawa-bawa dia! Dia tidak ada hubungannya!" Sri Kertajaya berbalik ke arah putra dari selirnya itu. Salah satu ujung kumisnya itu naik ketika ia berkata, "Hukuman untuknya adalah siksaan bagimu." Tawanya terlepas, bergaung memantul-mantul hingga dua kali lipat terdengar kekejiannya.  Sementara itu, di kediaman Panglima Muda Jayasabha, ketukan cepat dan keras membahana ke seluruh kamarnya. Dia mengernyit, memberikan isyarat kepada dayangnya untuk membukakan pintu. “Beribu ampun, Yang Mulia!” serunya, terengah-engah. “Gusti Paduka Raja menitahkan Anda untuk segera ke ruang Balairung Utara.” “Balairung Utara?” sahutnya ragu. Ruang itu selalu digunakan untuk pengadilan para pemberontak dan pengkhianat raja. Singkatnya, tidak ada pengadilan, hanya tempat untuk menjatuhkan hukuman. “Kakanda Jayagentala?!” seru Kertajaya, sangat terkejut. Pria itu adalah salah seorang Patih Kerajaan Kediri. Tidak hanya menjadi penasehat raja, dia juga ikut turun dalam medan tempur setiap saat Kerajaan Kadiri terancam oleh pihak luar. Ayahandanya begitu mempercayai pria itu.  Dia melempar buku yang sedari tadi ditekuninya begitu saja. Bahkan melupakan dayang-dayangnya, dia berlalu begitu saja. Hanya kewibawaan yang menyertai keris di pinggang yang mencegahnya untuk tidak berlari membabi-buta ke Balairung Utara itu. “Ayahanda!” Dia menghaturkan sembah dengan terburu-buru. "Heh! Lupa kau cara menghadap Dewa?!" seru Sri Kertajaya dengan suara menggelegar.  "Beribu ampun, Ayahanda! Saya terburu karena mendengar kabar yang sulit saya percayai!" Mata Jayasabha lalu bergerak ke arah Jayagentala dan Saraswati yang berlutut. Ujung tombak yang terbuat dari tembaga yang telah diruncingkan dan ditajamkan itu bersilangan di hadapan mereka. Bahkan, dekat sekali dengan leher, seakan siap menebasnya kapan saja. Saraswati terisak keras. Jayagentala sebaliknya, memandang ayahnya dengan kebencian teramat sangat. Adik lelakinya segera menoleh ke arahnya, sudah melupakan sopan-santun di hadapan raja. "Ada apa ini?" "Anak tak tahu diri ini telah berkomplot dengan pemberontak di luar. Dia membocorkan informasi tentang Kerajaan Kadiri pada Ken Arok di Tumapel!" "Tidak mungkin! Ayahanda!" Mata Jayasabha melebar. Ia menelan ludah. Dalam hati, ia mengetahui kebencian dan dendam samar yang ia sering lihat pada sikap dan sorot mata kakak lelakinya. Tapi ia mencoba membantah, menganggap semua hanya bayangannya. "Panglima Muda Jayasabha, bukankah kita saudara?" Jayagentala meluncurkan kata-katanya ke arah Jayasabha.  "Diam!" Mengabaikan seruan raja, ia semakin cepat memburu, "Jayasabha! Dia ini ibumu, dia menyayangimu seperti anak sendiri! Penggal aku, tapi selamatkan dia!" Jayasabha membuka mulutnya, tapi begitu kering tenggorokannya, sehingga tidak ada satu suarapun keluar dari sana. Matanya melebar ketakutan. Ia tidak berani membantah raja, tapi tidak bersedia membunuh kakak lelakinya.  “Jangan!” pekik Saraswati. “Gentala … Yang Mulia Panglima Muda ….” Saraswati menyembah ke arah Jayasabha. Matanya memanas melihat pemandangan itu, wanita yang selalu baik padanya itu. “Jayasabha!” seru ayahnya. Suaranya menggaung di langit-langit balairung yang berbentuk kerucut. “Tak berkutik kau?! Salah satu pengawal melihat sendiri ia mendekati Tumapel, bercakap dengan Ken Arok, pemberontak yang juga mengincar Kadiri! Tak percaya kau pada perkataanku?!” Pria muda itu diam tergugu. Masih muda dalam usia, masih muda dalam pengalaman. Sri Kertajaya mendengus keras. "Penggal mereka berdua!!!"                                                                             ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD