Bertemu Kembali

1744 Words
Seorang perempuan yang memiliki tinggi kurang dari seratus enam puluh sentimeter sedang memasang plaster pada beberapa kardus yang telah terisi barang-barang. Pada posisi duduk menyilangkan kaki di atas lantai, ia berkutat dengan gunting dan plaster. Tidak jarang pula beberapa anggota tubuhnya tertempel oleh sisa plaster. "Hufh, akhirnya selesai juga," gumam perempuan itu, kemudian beranjak berdiri menuju salah satu kamarnya. Namun langkahnya menjadi pelan melihat pintu kamar yang terbuka. Mata perempuan itu seketika terperanjat melihat isi koper yang porak-poranda setelag sebelumnya ia susun secara rapi. Sedikit menggerakkan lehernya, ia menemukan sosok kecil yang kini terlihat sibuk bermain dengan lipstik. "Emma!" seru perempuan itu segera mengamankan seorang anak perempuan yang berusia lebih dari dua tahun. Ditaza, nama perempuan itu. Ia segera menggendong Emma, keponakannya menuju kamar anak itu. "Ah, ternyata tidak terkunci," ujarnya sambil menghela napas melihat pagar pembatas tempat Emma biasa bermain tidak terkunci, sehingga anak itu bebas berkeliaran. "Tunggu ya, aku harus membantu Kakek dan Nenek berkemas," ujar Ditaza berbicara kepada Emma. Ia kemudian mengambilkan salah satu mainan favorit anak itu, yaitu kuda poni. Barulah setelah Emma sibuk bermain, Ditza kembali ke kamar orang tuanya untuk merapikan baju dan barang lainnya yang sempat tercecer untuk dimasukkan kembali ke dalam koper. Ketika jam sudah menunjukkan pukul empat sore, terdengar suara bel berbunyi. Ditaza yang sedaritadi mengawasi Emma bermain, kini berlari menuju pintu depan. "Eh Kak Airin tumben pulang cepat," ujar Ditaza beralih mengambil kantong plastik dari tangan perempuan berusia tiga puluh satu tahun bernama Airin. Airin menghela napas singkat. "Tahu saja hidungmu kalau ada makanan." Ditaza hanya tersenyum lebar menanggapinya. Ia kemudian mengekor Airin untuk masuk ke dalam rumah. Airin memang membelikan makanan untuk Ditaza. Bagaimanapun dirinya masihlah manusiawi terhadap orang yang telah merawat anaknya itu. Namun terkadang juga permintaan Ditaza kadang berlebihan, entah perempuan sanggup menghabisinya atau tidak. "Oh ya Dita, gimana kalau kau coba untuk magang?" "Apa? Magang?" Mata sipit Ditaza menatap Airin, kakak perempuannya yang kini sibuk memberi makan Emma. "Memang kenapa? Atau kau mau pindah sama Ayah dan Ibu ke Makassar?" tanya Airin memberi pilihan kepada Ditaza. Ditaza sangat paham bahwa sebentar lagi penempatan ayahnya--Rustan sebagai anggota kepolisian akan pindah ke wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, tepat pada Kota Makassar. Tentu saja ibunya--Rasita akan ikut suaminya itu. "Kakak bukan paksa kau cari uang, cuma daripada terus sibuk main sama Emma, mending cari pengalaman. Sudah enam bulan loh sejak kau wisuda masih suka rebahan di rumah," ujar Airin yang berprofesi sebagai pegawai bank. "Lalu siapa yang akan menjaga Emma? Kak Aldo kan juga harus kerja," balas Ditaza mengingat kakak iparnya itu juga bekerja sebagai pengusaha di bidang kuliner. "Tidak usah khawatir, ibunya Mas Aldo bakal tinggal sementara di kota ini jadi bisa titipin ke dia pas aku berangkat kerja," kata Airin memberi solusi. Ditaza berpikir sejenak. Ia bukannya tidak mau mencari pekerjaan, hanya saja dirinya merasa perlu rehat sejenak setelah menghabiskan empat tahun untuk menyelesaikan studinya pada bangku kuliah. "Baiklah, entar aku bakal coba cari perusahaan atau kantor yang buka lowongan," ujar Ditaza berpikir bahwa tiasa salahnya mencoba. Airin tersenyum tipis. "Tidak perlu, ada sahabat Mas Aldo yang perusahaan adiknya memerlukan karyawan baru." Alis Ditaza terangkat sebelah. "Perusahaan apa itu?" "Ada pokoknya, setelah aku tanya kalau kau dari jurusan sastra, katanya tidak masalah." Ditaza terdiam tidak membalas ucapan kakaknya itu. Walaupun dalam hatinya merasa ada sedikit keraguan. Namun ia berusaha untuk berpikir positif untuk ke depannya. Ia juga terkadang membayangkan situasi bagaimana dirinya saat bekerja, terlebih ketika melihat update ** story milik teman satu angkatannya. Beberapa diantaranya telah bekerja bahkan ada juga telah menikah. Keesokan harinya Ditaza ikut membantu Airin untuk berbelanja di supermarket. Tidak lupa pula mereka membawa Emma, karena Aldo masih berada di luar kota. Ketika pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti ini maka Ditaza akan selalu bertugas menggendong dan menjaga Emma. Airin sudah kapok untuk memberikan tanggungjawab belanja bulanan kepada Ditaza. Sebab pernah sekali adiknya itu kebanyakan hanya membeli makanan instan atau berbagai jenis bumbu yang jarang mereka gunakan. Oleh karena itu, ia meminta Ditaza cukup untuk menemani Emma yang saat ini sedang dalam masa aktif pertumbuhannya. Pergerakan Emma begitu lincah bahkan dengan kaki pendeknya, bisa berlari menghindari ibu serta bibinya itu. "Dita jangan biarkan Emma jalan sendiri," ujar Airin memperingati. Ditaza mengangguk pelan. "Sip." "Terus kalau Emma makin rewel bawa saja ke mobil," tambah Airin melirik Emma yang mulai memberontak dalam gendongan Ditaza. "Iya, iya Kak Airin. Belanja aja buruan. Emma bakal nurut kok sama aku. Iyakan anak manis," ujar Ditaza memencet pipi tembem Emma. Airin hanya menghela napas, kemudian mencoba untuk fokus mencari barang-barang akan dibelinya. Semua barang tersebut seolah telah ditulis dalam daftar pada otaknya, karena kini mata dan tangannya bekerja untuk menyingkronkannya. "Emma mau apa? Mainan? Permen?" ujar Ditaza mengajak bicara Emma dalam gendongannya sambil berjalan-jalan melewati etalase bagian camilan yang manis. Emma tentu tidak diam begitu saja dalam dekapan Ditaza. Balita berambut keriting turunan dari Aldo tersebut mencoba menggunakan kedua tangannya untuk menjangkau apa saja yang dilewatinya. Namun selalu gagal, karena Ditaza lebih sigap menjauhkannya. Ditaza yang tidak ingin Emma mengacak-acak bungkus makanan atau indomie, memilih membawa keponakannya itu ke lantai dua supermarket yang memuat bagian non food atau biasa menjual alat perkakas rumah tangga. Namun ketika berada di eskalator mata Ditaza sedikit membulat melihat sosok pria yang familier di matanya. Pria tersebut juga berada di eskalator, namun pada tangga yang menurun. Meski begitu ia tidak mengucapkan sepatah katapun ketika berpapasan dengannya. * Pada sisi lain Benuja meneguk salivanya begitu melihat sosok yang sudah hampir lima tahun tidak pernah dilihatnya lagi. Sosok yang pernah membuatnya sakit hati yang pada saat bersamaan pusing memikirkan untuk pendidikan bangku kuliahnya. Masih terpatri jelas dalam ingatan Benuja bagaimana dirinya mendapat surat balasan penolakan yang isinya begitu menohok hatinya. Jika biasanya seorang lelaki yang ditolak perasaannya oleh seorang wanita, maka dengan cepat mencari tambatan lain, namun tidak dengan Benuja. Ditaza seolah meninggalkan rasa trauma tersendiri bagi Benuja. Membuat lelaki itu harus menjalani kesendiriannya selama beberapa tahun tanpa menjalin hubungan dengan perempuan lain. "Apa dia sudah menikah dan punya anak?" guman Benuja menoleh sekilas ke belakang, namun sosok Ditaza telah sampai pada lantai dua. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. Terlalu banyak kenangan terputar kembali dalam kepalanya. Meski begitu dirinya tidak ingin terjebak lagi pada masa lalunya. Puas mengisi trolinya dengan berbagai kebutuhan pokok, Benuja pulang dengan mengangkat banyak kantong menuju ke parkiran mobil. Namun begitu akan menuju kursi pengemudi, tiba-tiba sebuah bola menambrak sepatunya. Ia menunduk dan mengambil bola berukuran kecil tersebut. "Aduh maaf." Sebuah suara yang tidak asing membuat mata Benuja segera menatap ke depan. Dilihatnya seorang anak balita perempuan sedang berusaha berjalan ke arahnya, diikuti oleh seorang perempuan yang tadi berpapasan dengannya di eskalator. "Ini." Tangan Benuja terulur memberi bola yang dipungutnya kepada Ditaza yang kini mengambilnya sambil menggendong anak balita tersebut. "Terima kasih, Kak Benu," balas Ditaza sambil tersenyum tipis. "Dita, bawa Emma ke sini." Suara perempuan lain yang berada di depan sebuah mobil pada jarak sepuluh meter membuat tubuh Ditaza berbalik dan berjalan pergi sambil membopong Emma. Meninggalkan Benuja yang masih terpaku pada tempatnya. Lelaki itu masih bisa mengingat jelas bagaimana namanya diserukan oleh Ditaza tadi. Sebuah panggilan yang menuntunnya ke masa lalu kembali. Bahkan ketika mobil Airin telah meninggalkan area supermarket, Benuja masih berdiam diri. "Dengan santainya dia memanggil namaku, Benu." Benuja kembali ke rumahnya, menemukan Arya--kakak laki-lakinya sedang sibuk berkutat di depan komputer, tetapi bukan mengerjakan tugas atau pekerjaannya. Melainkan bermain permainan jenis battle royale. "Masih tier crown?" tanya Benuja mendekati Arya yang kini jari-jari tangannya sibuk menekan keyboard agar pergerakan karakternya bisa berubah. "Hooh, bantu dong. Capek main sama random biasa gak jelas atau sekalinya orang luar, susah komunikasi," ujar Arya melepas headphone yang dipakainya, lalu melirik sekilas ke arah Benuja. Benuja berpikir sejenak, kemudian mengangguk singkat. Segera ia masuk ke dalam kamar dan mengambil laptop miliknya. Setelah menyalakannya, ia segera login masuk ke akun miliknya dan mengundang akun milik Arya. "Oh ya Ben, besok kau bakal dapat anggota baru," ujar Arya sambil tetap fokus menatap layar komputer. Jika Arya duduk sebuah meja dan kurso khusus yang memang dirancang untuk bermain game, maka Benuja memilih duduk di sofa pada bagian belakang Arya. "Dia masuk tim apa?" tanya Benuja kepada Arya, sekaligus pimpinan tempatnya bekerja juga. "Ya sama kau lah," balas singkat Arya. "Aduh, ada musuh naik mobil. Tiarap!" "Oh yang gantiin Gita ya?" Benuja mengingat sosok Gita yang minggu lalu mengundurkan diri setelah menikah dengan seorang tentara dan harus ikut suaminya ke luar daerah. "Iya, eh Ben, ada naik rumah sebelah. Mana aku tidak punya granat lagi," gerutu Arya dengan wajah tegang. Karakter Benuja yang memiliki segalanya dalam tas bergerak dengan santai sambil memancing musuh. "Dia perempuan?" "Iya, resume-nya kutaruh di atas meja kerjamu. Tapi ... nama SMA kalian sama loh," balas Arya kini mulai memasang wajah santai setelah menghabisi dua anggota tim musuh dengan bantuan Benuja pastinya. Alis Benuja terangkat mendengar anggota baru dalam timnya berasal dari sekolah yang sama dengannya. "Aku mau pipis dulu," ujarnya beranjak pergi. Arya menoleh dengan mata membulat. "Apaan anak itu, bentar lagi juga zona bakal bergerak," katanya sambil menghela napas panjang. Benuja hanya memberi alasan ingin ke kamar mandi. Sebenarnya ia menuju kamarnya kembali untuk melihat resume yang dimaksud oleh Arya. Namun matanya terbelalak begitu membaca nama Ditaza Salendra, lengkap dengan pas fotonya. Tetapi yang membuatnya bingung adalah perempuan itu tidak mencantumkan statusnya. "Arya, ini karyawan baru sudah nikah apa belum?" tanya Benuja mendekati Arya sambil membawa resume tersebut. Arya menoleh dengan raut wajah datar. "Ngapain malah masuk baca itu, kan bisa entar. Lihat kau mati di luar zona, sedangkan aku mati kena headshot." "Oke nanti kita mainnya serius. Tapi apa ini perempuan sudah nikah atau belum? Terus siapa yang merekomendasikannya atau dia melamar langsung di kantor?" Arya menarik napas dalam. "Satu-satu Ben. Dia itu adik ipar dari sahabatku namanya Aldo. Kata Aldo sih baru beberapa bulan lalu lulus jadi mungkin belum nikah." Ucapan Arya entah mengapa membuat d**a Benuja terasa lega. Seolah pikirannya beberapa jam yang lalu lekas sirna beserta bayangan saat Ditaza sedang menggendong anak balita perempuan. "Tapi bisa juga sih sudah nikah, teman satu jurusanku yang cewek banyak gitu," tambah Arya membuat Benuja mendengus tanpa sengaja. Alis Arya terangkat melihat reaksi Benuja. "Dari sekian kualifikasi perempuan itu, kenapa malah statusnya yang kau tanyakan? Mantanmu Ben?" Benuja tidak menjawab. Ia bahkan heran sendiri bahwa ketika membaca resume milik Ditaza, dirinya hanya terfokus pada hal tersebut. Namun ia juga seketika menjadi sadar bahwa Ditaza akan menjadi rekan kerja sekaligus bawahannya! ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD