Seniorku, Bossku!

1630 Words
"Kau bisa melakukannya Ditaza!" seru perempuan itu merapikan baju kemeja putih yang dipakainya. Tidak lupa rok selutut dan sepatu wedges untuk membuat tubuhnya terlihat lebih tinggi. "Dita, aku duluan bawa Emma ke rumahnya Ibunya Aldo ya? Kabari aku kalau mau pulang, siapa tahu lebih duluan bisa jemput Emma di sana." Airin yang telah memakai seragam kerjanya dengan lengkap memasuki kamar Ditaza sambil menggendong Emma. Ditaza berbalik badan setelah mengikat rambutnya menjadi model ekor kuda, sehingga poni depannya tampak mencolok. "Oke, aku bakal naik taksi online saja." Airin menganggukkan kepala membalas. Ia kemudian mengapit tasnya serta punggungnya telah memakai tas ransel besar yang berisi perlengkapan dan kebutuhan Emma selama satu hari ini. Ditaza meninggalkan rumah tiga puluh menit sejak kepergian Airin. Ia memastikan segala listrik aman dan kemudian mengunci pintu dengan baik. Selama dalam perjalanan ia tidak lupa membuka website tempatnya akan bekerja. Minor. Itulah nama perusahaan atau kantor yang didengar oleh Ditaza berdasarkan penuturan Aldo melalui video call yang dilakukannya melalui ponsel Airin. Aldo tidak menerangkan secara rinci, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa perusahaan tersebut bergerak pada bidang jasa, yaitu untuk membuat foto dan video dokumentasi. Namun tidak jarang pula ada tawaran dari merek yang ingin melakukan periklanan dengan bekerjasama dengan Minor untuk membuat konsep yang terbaik. "Ini jenis tempat di mana kreatifitas dibutuhkan," gumam Ditaza, lalu menghela napas singkat. Ia bisa melihat dalam website pada tab galeri, di mana banyak dokumentasi dari hasil karya yang telah Minor buat. Ditaza mematikan layar ponselnya, kemudian beralih menatap ke luar jendela. Ia sedikit khawatir bagaimana dirinya akan bekerja pada tempat seperti Minor. Meskipun dirinya berasal dari jurusan sastra Indonesia, tetapi selama ini ia belum menghasilkan karya apapun selain skripsi dan jurnal yang dijadikan bahan penelitian. Tunggu, itu termasuk karya ilmiah bukan? Sangat berbeda dengan apa yang kini ada di hadapannya. Taksi berhenti di depan salah satu bangunan yang dapat dilihat Ditaza bergaya minimalis. Bangunan tersebut hanya terdiri dari tiga lantai. Alisnya terangkat melihat lantai pertama di mana kaca jendela transparan pada empat sisinya. Begitu kakinya masuk ke dalam, ia bisa melihat bahwa bagian bawah terdapat etalase kaca yang berisi berbagai jenis kamera beserta aksesorisnya. "Selamat datang Mbak, ada yang bisa dibantu?" tanya seorang wanita dayang menghampiri Ditaza yang baru masuk. "Apa benar ini Minor?" tanya Ditaza merasa aneh, sebab Aldo tidak pernah membahas tentang tempatnya bekerja adalah toko barang. "Iya, butuh apa? Mau beli kamera, tripod, roll, atau mau buat pas foto?" tanya wanita itu menatap lekat Ditaza. "Bukan, aku ... datang untuk magang di Minor," balas Ditaza merasa mengatakannya. "Bukan di sini." Terdengar suara laki-laki yang membuat Ditaza reflek berbalik badan dan menemukan sosok lelaki yang baru kemarin dilihatnya. Siapa lagi kalau bukan Benuja. Ia tentu saja terkejut melihat kehadiran kakak kelasnya sewaktu SMA dulu. "Kak Benu," seru Ditaza kini tangannya telah ditarik oleh lelaki tersebut untuk keluar dari pintu. Namun tidak lama kemudian Benuja mengarahkan langkah kakinya ke tangga bagian samping bangunan. Benuja melepas genggamannya pada tangan Ditaza begitu mereka berdua berdiri di depan tangga. Ditaza menatap heran ke arah Benuja sambil memerhatikan penampilan lelaki itu yang sangat terlihat modis, tetapi terkesan santai. "Apa yang Kak Benu lakukan di sini?" tanya Ditaza penasaran. Benuja menatap balik penampilan Ditaza mulai dari atas hingga ke bawah. "Apa kau akan pergi ospek sebagai mahasiswi?" "Apa?" Benuja menghela napas sejenak. "Tempat yang kau cari berada di lantai dua." Ia berjalan duluan untuk menaiki tangga menuju lantai dua. Ditaza masih tidak beranjak dari tempatnya. Namun pikirannya melayang-layang tentang bagaimana Benuja bisa berada pada tempat yang sama dengannya. "Kau tidak ingin naik?" tanya Benuja telah berada di lantai dua. Ia memandang ke arah bawah dan menemukan Ditaza masih melamun. "Oh iya." Ditaza segera berjalan cepat menaiki tangga, mengakibatkan napasnya menjadi sedikit tersengal begitu sampai di atas. Tanpa sadar kakinya mengikuti langkah kaki Benuja untuk masuk ke sebuah tempat yang kini membuat matanya terpana. Pasalnya isi interior dalam ruangan yang berada di lantai dua tersebut sangatlah modern dan minimalist. Ditaza bisa melihat pada bagian luar terdapat sofa empuk dekat dengan pintu, kemudian adanya televisi besar yang terpajang serta sofa lain di depannya. Ia juga melihat dua ruangan yang terpisah, namun saling berhadapan. Pada bagian depannya terbuat dari dinding kaca, sehingga kedua penghuni ruangan tersebut bisa melihat satu sama lain. "Eh Ben, aku sudah bicara sama pihak Eltair katanya bisa undur sampai minggu depan," ujar seorang laki-laki berkacamata yang menghampiri Benuja, lalu beralih melihat ke arah Ditaza. Benuja melirik sekilas Ditaza sebelum membalas. "Baguslah, kalau begitu minggu ini kita hanya akan mengurus acara ulang tahun dari klien bernama Adisti bukan?" Ditaza mengernyit begitu mendengar kata klien, namun sebelum dirinya bersuara, ia bisa melihat beberapa orang kini menghampirinya. "Siapa Ben?" "Dia adalah anggota baru pada bagian videography. Namanya Ditaza dan akan menggantikan tugas Gita," ujar Benuja membuat d**a Ditaza berdebar, karena otaknya seolah telah mencerna sesuatu. "Oh gitu, aku Rehan bagian editing video," ujar lelaki yang tadi mengajak Benuja bicara. Ia mengulurkan tangan kepada Ditaza. "Aku Sanisa, bagian humas." Ditaza beralih menjabat tangan Sanisa sambil tersenyum. "Aku Ditaza, bisa dipanggil Dita." Seorang laki-laki yang memegang kamera dengan kedua tangannya ikut bergabung. "Aku Doni, apa ya bisa disebut kameramen yang bakal merekam video." "Lalu Kak Benu?" Ditaza kini beralih menatap Benuja di sampingnya. "Hah? Kalian datang bersama, tapi kau tidak tahu Ben? Tunggu ... kau tahu namanya," ujar Sanisa merasa heran. Benuja merasa seolah tercekik mendengar pertanyaan Sanisa. Pasalnya dirinya memang belum memberitahu Ditaza, ia keburu didahului oleh rekan kerjanya yang lain. Dirinya hanya khawatir jika Ditaza akan menyinggung soal surat cinta yang pernah diberikan olehnya kepada perempuan itu. Mau ditaruh di mana mukanya, jika semua orang mendengarnya, apalagi jika mengetahui balasan yang berujung penolakan. "Kak Benu adalah ... senior Dita waktu SMA," balas Ditaza membuat Benuja diam-diam merasa lega dalam hati. "Oh berarti kenalan lama ya?" ujar Rehan mengerti. "Tumben loh ada yang panggil Benuja dengan nama Benu, biasanya cuma Ben," timpal Doni sambil terkekeh. "Iya, iya. Oh ya Dita, asal kau tahu kalau Benuja ini adalah manajer pada bagian videography. Biasanya dia yang bakal rapat dengan klien untuk membahas tentang konsep dan keinginan mereka mau apa," ujar Sanisa menerangkan posisi Benuja membuat mata Ditaza seketika membulat. Ditaza kemudian menyadari bahwa secara tidak langsung Benuja adalah atasannya. Bayangan sewaktu lelaki itu menjadi panitia pada masa orientasi siswa ketika dirinya masih murid baru langsung muncul. Ia masih mengingat betul bagaimana Benuja yang galak dan kejam, bahkan tidak pernah tersenyum padanya. "Di sini terdiri dari bagian photography dan videography. Biasa kami bekerja bersamaan untuk klien atau jadwal berbeda," ujar Benuja mulai menerangkan tentang apa yang dilakukan selama berada di Minor. "Oh begitu, lalu tugasku selama magang di sini?" tanya Ditaza polos. Sanisa tersenyum tipis. "Kau akan bertanggungjawab untuk narasi video dan ... jika pekerjaanmu tidak terlalu sibuk maka kau akan menemani Ben untuk bertemu klien dan mencatat hasil semacam rapatnya." Ditaza menegak saliva, mengetahui bahwa dirinya bukan hanya menjadi sekadar bawahan Benuja yang akan mengerjakan tugas berdasarkan tanggungjawabnya, tetapi juga akan mengikuti lelaki itu jika ada rapat dengan klien. "Baiklah, aku mengerti," balas Ditaza cukup tahu bagaimana pekerjaannya ke depannya. Lagipula menurutnya ia masih bisa terus belajar nantinya. "Kalau begitu, kau ingin aku menemani berkeliling?" tanya Rehan memasang senyuman lebar. "Sebaiknya kau menyelesaikan editan videomu. Kurasa ada proyek yang harus diselesaikan sebelum kita memulai yang baru bukan?" balas Benuja membuat Rehan mengangguk cepat. "Benar, maaf Dita. Kau bisa berkeliling sendiri melihat sekitar," ujar Rehan kemudian berjalan menuju meja kerjanya. "Aku juga harus keluar untuk meminta izin mengenai tempat yang dijadikan lokasi proyek iklan," ujar Sanisa sambil melirik jam tangannya. Benuja mengangguk singkat. "Baiklah dan Ditaza ... ikut denganku, aku akan mengajakmu berkeliling." Ditaza tersenyum kikuk sebelum berusaha menyamai langkah kaki Benuja. Ia masih seolah tidak percaya bahwa akan berada satu tempat kerja dengan lelaki itu. Namun begitu mereka sampai di depan sebuah elevator, dirinya menoleh menatap Benuja. "Auranya masih begitu mirip sewaktu SMA." "Oh ada elevator di sini?" Benuja balik memandang Ditaza. "Ya, kenapa?" "Lalu kenapa tadi kita lewat tangga?" "Setiap anggota baru yang bekerja di sini wajib menaiki tangga utama. Itu kata Kak Arya ... oh dia adalah pimpinan kantor ini dan sedang melakukan cuti sendiri." Benuja menghela napas begitu menyebut nama Arya. Bagaimana tidak, ia tidak mengerti dengan pikiran kakak laki-lakinya itu. Apalagi dengan Arya menyatakan diri akan cuti selama tiga bulan membuat dirinya diserahkan tanggungjawab untuk menjadi perwakilan Arya. "Kita akan ke mana?" tanya Ditaza telah berada di dalam elevator bersama Benuja Benuja yang telah menutup pintu elevator dan menekan tombol lantai tiga, kemudian mengubah posisi tubuhnya menjadi menyamping, sehingga posisinya berhadapan dengan Ditaza. "Apa kau benar-benar tahu siapa aku?" tanyanya pelan seraya menatap lekat perempuan itu. Mata Ditaza mengerjap sambil mengangguk dengan cepat. "Ya, Kak Benuja bukan? Anak kelas dua belas ilmu alam tiga. Anggota futsal dan pernah menjadi wakil ketua osis." Benuja menyipitkan matanya. "Dia sungguh mengingat dengan baik. Mungkin saja dia masih menyimpan surat cintaku sebagai lelucon baginya." Pintu elevator terbuka begitu telah sampai di lantai tiga. Benuja keluar terlebih dahulu, namun tubuhnya langsung terdahului oleh langkah kaki Ditaza yang kini terpana melihat apa yang sebenarnya ada pada lantai tiga. Ditaza bisa melihat ada ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Namun masih menyisakan ruang terbuka yang memiliki banyak tanaman dan kursi kayu untuk bersantai. "Biasanya para karyawan akan naik ke sini jika merasa stres atau lelah habis bekerja," ujar Benuja menjelaskan keistimewaan tempat tersebut. "Kak Benu sendiri sering ke sini?" tanya Ditaza menoleh. Benuja tersenyum tipis, masih menatap ke depan. "Sesekali, tetapi bukan karena kerjaan. Lebih ke arah ... menyesali apa yang terlewatkan." "Dan Dita, jangan panggil aku Benu. Itu sebutan sewaktu SMA. Orang-orang di sini memanggilku Ben," tambah lelaki itu, kini ikut menoleh. Ditaza tersenyum lebar. "Kenapa? Kurasa panggilan Kak Benu terdengar lebih familier dan akrab bagiku." "Sial, kenapa senyumannya masih manis seperti dulu!" Benuja berujar dalam hati sambil berusaha bersikap tenang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD