Part 2. Aku Bukan Pembunuh

1399 Words
Chika menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. Pikirannya sudah tidak karuan. Ia takutnya ada penjahat yang telah menyusup masuk ke rumah ini. Meski Chika merasa takut, tapi rasa takut itu sejenak ia singkirkan demi mengetahui keadaan di lantai atas. Chika mulai mengatur napasnya ketika baru saja mendarat di lantai atas. Tadi ia mendengar dengan jelas suara tembakan di sini. Apakah ada seseorang yang menelusup masuk dan menembak penghuni lantai atas? Kepala Chika langsung terasa pening ketika instingnya mengatakan bahwa ada hal buruk yang terjadi pada Gavin. Satu-satunya orang yang berada di lantai atas hanyalah Gavin. Bisa saja suara tembakan tadi berasal dari kamar Gavin. Tanpa pikir panjang, Chika segera berlari menghampiri kamar Gavin. Sayang sekali pintu kamarnya terkunci dari dalam. Chika berkali-kali memanggil nama Gavin dan menggedor-gedor pintu. "Mas Gavin ... buka pintunya, Mas! Kamu baik-baik aja kan?" "Mas, please, buka pintunya. Aku takut kamu kenapa-kenapa di dalam, Mas. Tadi aku dengar suara tembakan di sini. Buka pintunya, Mas!" Nyaris putus asa karena tak kunjung dibukakan pintu, Chika pun meraih ponselnya dari dalam tas yang ia bawa untuk menghubungi Mirna atau pun Nana demi meminta pertolongan. Namun, seketika ia teringat akan ucapan Mirna beberapa hari yang lalu. Tentang Mirna yang memberitahu kalau kunci cadangan kamar Gavin ada di salah satu laci lemari bufet yang terletak di sebelah kiri kamar Gavin. Chika urungkan niat untuk menghubungi Nana atau pun Mirna. Ia putuskan untuk menghampiri lemari bufet minimalis tersebut dan mengecek satu per satu lacinya. Chika menemukan satu laci yang isinya penuh dengan kunci. Sungguh, dalam situasi genting begini, ia malah makin kesal saja karena ia tidak tahu menahu kunci duplikat kamar Gavin itu yang mana. "Banyak banget kuncinya. Masa iya harus kucoba satu-satu?" Tak ada pilihan lain, Chika memang harus mencoba kunci itu satu per satu. Sempat putus asa karena dari sekian banyak kunci yang sudah ia coba, tidak ada satu pun yang cocok. Namun, saat mencoba kunci yang ke tujuh, Chika bernapas lega karena kunci tersebut cocok. "Akhirnya ...." Dengan tangan bergetar, Chika mulai mendorong gagang pintu kamar Gavin. Ia buka lebar-lebar pintu jati berwarna cokelat pekat itu. Lantas, kedua mata Chika terbelalak ketika melihat pemandangan mengenaskan di depan sana. "M-Mas Gavin ...?" Napas Chika terasa sesak saja bahkan lutut pun mendadak lemas. Di depan sana, Chika mendapati Gavin tengah tergeletak tak berdaya di lantai. Dan yang paling mengenaskan, ada banyak darah di sekitar kepalanya. "Mas ...." Meski langkahnya terasa gontai, Chika paksakan untuk berlari menghampiri kekasihnya. Salah satu tangan gadis itu refleks menutup mulut karena saking tak percayanya dengan apa yang ia lihat. Siapakah gerangan yang tega menembak Gavin? Chika terduduk lemas di samping Gavin. Tangannya tak sengaja menyentuh darah Gavin yang telah menodai lantai putih tersebut. Ia lantas mengecek denyut nadi serta bawah hidung pria itu. Sebenarnya di kebanyakan kasus jika bagian kepala yang tertembak, jarang sekali nyawa yang selamat. Namun, Chika sempat berharap kalau Gavin masih bisa diselamatkan. Akan tetapi, sayang seribu sayang, Gavin sudah tidak ada. Tak ada denyut nadi, tak ada embusan napas yang Chika dapati setelah mengecek kondisi Gavin. Gadis itu refleks menangis histeris sambil mengguncang-guncangkan tubuh lemah Gavin. "Mas Gavin ... bangun! Siapa yang tega melakukan semua ini ke kamu, Mas ...?" Chika menangis sejadi-jadinya. Ia lalu memeluk jasad Gavin dengan erat. Apa yang sebenarnya terjadi di kamar ini jauh sebelum Chika datang? Pagi tadi ketika Chika baru saja bangun, ia tiba-tiba mendapat telepon dari Gavin. Pria itu mengatakan kalau kondisi badannya sedang tidak fit. Sungguh, Chika tidak pernah menyangka kalau itu adalah kali terakhir ia mendengar suara Gavin. "M-Mas Gavin ... Mas Gavin kenapa?" Disela-sela tangisannya, samar-samar Chika mendengar suara seorang gadis yang sangat familier di telinganya. Gadis tersebut adalah Nana, adik angkat Gavin. Rupanya Nana tengah berdiri mematung di ambang pintu. Chika menduga pasti Nana sangat syok melihat semua ini. "Mas Gavin ...!" Nana histeris. Ia langsung menghampiri kakaknya dan refleks memeluk jasad Gavin. Nana menangis pilu. "Mas Gavin bangun, Mas ... apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Mas?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu mengguncang-guncangkan jasad kakaknya. Ia lantas memeriksa Gavin masih bernyawa atau tidak. Nana makin histeris ketika tahu bahwa Gavin telah tiada. Ia lalu menatap Chika penuh tanya. "Apa yang sebenarnya terjadi sama Mas Gavin? Mba tega bunuh dia?!" Tak angin tak ada hujan, Nana tiba-tiba menuduh Chika tanpa bukti yang kuat. "Kamu kenapa tiba-tiba menuduh Mba, Nana? Waktu Mba ke sini, Mas Gavin udah seperti ini. Tadi Mba dengar ada suara tembakan dari lantai atas. Mba coba cek, dan ternyata Mas Gavin udah seperti ini, Na." "Bohong! Mana ada sih penjahat yang mau ngaku?! Mba satu-satunya orang yang ada di sini. Kalau bukan Mba pelakunya, lalu siapa lagi?!" "Kamu kalau mau menuduh orang, harus ada bukti yang kuat, Na. Demi Tuhan, bukan Mba pelakunya." Chika berusaha bersikap tenang di hadapan Nana. "Owh, jadi Mba perlu bukti? Oke, aku akan coba cari buktinya sekarang!" Dengan lancang Nana merebut tas milik Chika. Ia menjatuhkan semua barang-barang yang ada di sana. Nana tampak tercengang ketika ada sebuah pistol yang jatuh dari tas milik Chika. "Lihat kan, di tas Mba ada pistol. Pasti pistol ini yang Mba gunakan untuk membunuh Mas Gavin. Iya kan?!" Tuduhan Nana makin menjadi. "Enggak, Na. Mba nggak membunuh Mas Gavin. Bukan Mba pelakunya." "Bukti udah di depan nyata. Pistol itu ada di tas Mba. Mba Chika satu-satunya orang yang ada di sini sebelum aku datang. Jadi Mba-lah yang udah menembak Mas Gavin. Mba pembunuh. Mba tega membunuh Mas Gavin!" Nana berkali-kali meneriaki Chika sebagai seorang pembunuh. Chika tidak menyangka kalau pistol itu akan membawa mala petaka baginya. Pistol tersebut adalah peninggalan dari mendiang sang ayah. Chika selalu membawa pistol itu ke mana pun ia pergi demi bisa menjaga diri. "Na, Mba bawa pistol ini ke mana pun Mba pergi, itu semata-mata agar Mba bisa menjaga diri dari kejahatan di luar, Na. Mba sama sekali nggak pernah punya niat untuk menggunakan pistol ini demi kejahatan, apalagi untuk membunuh Mas Gavin, Na." "Mba pikir aku akan percaya sama Mba begitu aja? Mba Chika itu mengerikan. Ke mana-mana bawa pistol, dan sewaktu-waktu pistol tersebut bisa Mba gunakan untuk membunuh orang. Mungkin setelah ini Mba akan bunuh aku." Chika menggeleng-gelengkan kepala cepat. Ia tidak setuju dengan tuduhan yang sejak tadi dilontarkan oleh Nana. Jangankan membunuh orang, membunuh binatang saja ia tak tega. "Punya motif apa Mba sampai nekat untuk membunuh kalian ...?" tanya Chika lirih. "Mba bisa aja ingin menguasai harta warisan orang tua kami, makanya Mba sampai nekat menghabisi nyawa Mas Gavin." Chika tidak kuat dengan tuduhan demi tuduhan yang sejak tadi ia dapatkan. Gadis itu berniat meraih pistolnya yang tergeletak sembarang di lantai, tapi dengan cepat Nana menyingkirkan pistol tersebut dengan kaki, sehingga pistol itu masuk ke dalam kolong tempat tidur. "Mba berniat mengambil pistol itu untuk nembak aku kan? Jadi benar dugaanku, Mba Chika memang memiliki jiwa pembunuh." Plak! Tamparan keras refleks Chika daratkan pada salah satu pipi Nana. Gadis itu sangat tidak terima dengan semua tuduhan dari Nana. Memang tadi Chika berniat meraih pistolnya kemudian ingin menembak Nana yang tidak pernah bosan menuduhnya. Chika merasa sakit hati dan terpojokkan. Ia tidak membunuh Gavin sama sekali, tapi ia selalu saja dituduh sebagai seorang pembunuh. Lalu, apa salahnya jika Chika berubah menjadi seorang pembunuh sungguhan jika tadi ia benar nekat menembak Nana? Setidaknya jika nanti ia dipenjara, ia terbukti melakukan kesalahan, bukan karena sebatas tuduhan saja. "Hati-hati kalau bicara, Nana. Berhenti meneriaki Mba sebagai pembunuh. Mba bukan pembunuh, Nana! Mba nggak membunuh Mas Gavin!" jelas Chika dengan suara lantangnya. "Tapi bukti udah ada di depan mata, Mba. Mba satu-satunya orang yang ada di sini sewaktu Mas Gavin tertembak. Dan aku menemukan ada pistol tersimpan di dalam tas Mba. Logikanya, kalau bukan Mba pelakunya, lalu siapa lagi?" Chika tidak bisa memberikan jawaban atau pembelaan apa-apa saat ini. Jika saja tadi Mirna masih ada di rumah, mungkin Mirna bisa memberikan saksi yang sebenarnya. "Aku akan segera laporkan Mba ke polisi. Kalau Mba berani kabur, berati memang Mba pelakunya." "Kalau aku nggak kabur, itu artinya kamu akan berhenti menuduhku sebagai pembunuh Gavin?" Chika balik bertanya. Nana yang sudah siap ingin menghubungi pihak kepolisian, kini beralih menatap Chika. "Tergantung. Kalau memang Mba terbukti bersalah, aku adalah orang pertama yang akan menyeret Mba masuk ke dalam penjara." Chika hanya sanggup menatap Nana tak terbaca. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus mendekam di balik jeruji besi tanpa kesalahan apa-apa. Namun, jika sekarang ia memilih kabur, itu sama saja ia menambah masalah. Tbc ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD