02. Different Girl

1198 Words
“Hidup itu tak pernah terduga. Seperti hal kecil yang ku temui darimu. Tidak sempurna tapi istimewa.” ---- Aly menikmati isapan rokok terakhirnya sebelum membuang puntungnya sembarangan. Pikirannya sibuk pada gadis yang beberapa hari ini gencar ia selidiki. Siapa lagi jika bukan Vanila. “Ntar malem jadi kan?” tanya Bima yang sejak tadi menemaninya. “Hm,” Aly hanya berdeham. “Lo kenapa, Bro? Banyak pikiran? Gak biasanya bengong-bengong gini. Lagian apa sih yang membuat manusia kayak lo ini kepikiran? Biasanya kan lo gak pernah mikirin apa-apa. Enjoy aja.” Cerocos Bima yang tak terima hanya di respon seperti itu oleh sahabatnya. “Bacot banget lo! Gue gak mikirin apa-apa.” Tentu saja, Aly berbohong. “Ah mosok? Kok gue rada gak percaya ya?” goda Bima. “Vanila?” Aly terkesiap mendengar nama gadis yang tengah ia pikirkan itu disebut oleh sahabatnya. “Apaan?!” tanyanya dengan nada tinggi. “Nah kan! Apa kata gue? Cuma dengan nyebut namanya aja respon lo udah kayak gitu,” kikik Bima. Selanjutnya hanya ada aksi toyor-menoyor yang mereka lakukan seperti anak SD yang tengah bertengkar. Sehingga kedua siswa yang tengah membolos di gedung kosong belakang sekolah itu menimbulkan kegaduhan karena barang-barang yang terjatuh. “Iya, Pak. Di sini aja nih!” Gadis dengan rambut ekor kuda itu mengarahkan sang penjaga sekolah untuk menaruh papan mading yang sudah rusak ke dalam gudang. “Eh sebentar, Pak. Kok di dalam gaduh ya? Apa ada kucing?” “Ah mana mungkin, Neng? Gudang kan dikunci terus. Tapi tunggu deh, nanti Bapak cek dulu,” ujar sang penjaga sekolah yang juga mendengar kegaduhan yang Vanila maksud. Ceklek. Pintu gudang ternyata tidak terkunci dan menampakkan kedua sosok tampan yang tengah memegang kerah salah satu diantara mereka. Seragam mereka pun sudah sangat berantakan. “Kalian ngapain di sini? Bolos kok di gudang? Ngerokok lagi. Gue aduin ke kepsek lho!” ancam Vanila yang melihat puntung rokok berserakan di lantai gudang. “Neng, sebaiknya jangan cari gara-gara sama mereka. Bahaya!” sang penjaga sekolah memperingati Vanila. “Biarin, Pak. Ini jadi urusan saya!” Vanila menghampiri kedua siswa nakal nan tampan itu. Menarik kemeja putih mereka yang sudah keluar dari celananya dan menggiring mereka keluar gudang. “Lo! Jangan mentang-mentang lo anak pemilik yayasan terus lo bisa seenaknya melanggar peraturan!” tunjuk Vanila pada Bima yang berada di sebelah kanannya dengan seragam yang masih di tarik oleh gadis itu. “Dan lo, Al—“ tunjuk Vanila pada Aly yang langsung di sambar kata-katanya oleh anak lelaki itu. “Iya gue tau gue ganteng!” jawab Aly enteng dan menatap manik mata coklat milik Vanila. “Kalian, ke ruang BK. SEKARANG!” tegas Vanila sambil menjinjing kerah kemeja Aly dan Bima seperti anak kucing. “Vani cantik, jangan ya!” “Lo baik deh, Van. Jangan ke ruang BK ya!” Aly dan Bima mencoba merayu Vanila agar tidak membawa mereka ke ruang BK. Bukan karena takut, tapi mereka tidak ingin ribet berurusan dengan hal seperti itu. Buang waktu saja, katanya. “DIEM!” Teriakan Vanila dan langsung membungkam celotehan kedua makhluk tengil itu. **** “Gila ya si Vani, gue pikir kalem. Kok kayak macan betina lagi PMS gitu kelakuannya?” Bima menyeka keringatnya sambil mengisap batang rokok yang sudah tinggal setengah. Sedangkan, Aly menatap tajam sahabatnya yang berbicara seperti itu pada perempuan yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. “Yaelah, sensi amat, Bro. Gue gak maksud nyela Vani LO itu!” tekan Bima sambil tergelak melihat ekspresi kesal Aly. “s****n lo!” “Eh eh, tuh si Vani, panjang umur amat ya,” tunjuk Bima ke arah gadis berambut hitam legam itu yang tengah berjalan bersama seorang siswa. “Cowoknya?” tanya Aly dengan pandangan mata yang masih terfokus pada dua sejoli yang tengah sibuk dengan tawa. “Itu sahabatnya. Namanya Virgo. Ada satu lagi, cewek tapi, namanya Vera. Yang cadel itu.” “Kok lo tau?” “Gue gak se-kuper lo kali!” sindir Bima pada Aly yang memang tidak peduli lingkungan sekitar. Ia membiarkan kharismanya menyebar sendiri. Aly hanya mendelik tajam ke arah Bima yang langsung di balas dengan cengiran kikuk. **** “Ninggalin ih!” gadis cadel bernama Vera itu menghampiri kedua sahabatnya dengan tergesa-gesa. “Sorry, Vey. Abis lo lama banget di toilet.” “Cup cup cup, Vevey sayang jangan nangis ya,” kekeh Virgo yang melihat raut wajah kesal dari sahabat sekaligus sepupunya itu. “Dasar Virlgo nyebelin!” “Nama gue Virgo!” ledeknya lagi. “Au ah!” “Eh udah sih! Ribut mulu!” Vanila menengahi kedua sahabatnya yang memang hobi adu mulut itu. “Vani, Ibu bikin roti rasa baru gak?” tanya Virgo mengakhiri perdebatannya dengan Vera. “Eh, ada. Mau mampir?” “Kapan ya? Nanti malem kita berdua aja acara keluarga.” “Ya udah, next time deh!” jawab Vani agak kecewa. Ketiga sahabat itu berjalan sambil sesekali tertawa di sepanjang koridor. Entah apa lagi yang mereka bicarakan sampai seseru itu. “Hai,” cengir Aly menghampiri ketiganya. Ikut juga Bima di belakangnya. “Eh iya, Al. Kenapa?” Vani mengerenyitkan dahinya. “Pulang bareng gue yuk. Gue mau nanya-nanya puisi ke lo.” “Rumah gue deket kok. Lo kan bawa mobil,” “Eng—“ Aly tampak berpikir. Virgo dan Vera hanya bertukar pandang melihat perlakuan Aly pada sahabatnya. “Lo bawa mobil gue, Bim. Nanti kalo gue udah beres, gue kontak lo.” Aly melemparkan kunci mobil ke arah Bima yang dengan sigap menangkapnya. “Siap!” Bima yang sudah menerima kunci mobil Aly langsung berlari ke arah parkiran. “Yuk!” ajak Aly. “Em—“ Vani tampak berpikir beberapa detik. “Malah bengong.” Aly menarik lengan Vanila tanpa persetujuan sang pemilik, sehingga gadis itu melonjak kaget dan mencoba mensejajarkan langkahnya dengan anak lelaki itu. Hanya lebih kurang lima menit untuk sampai ke rumah Vanila. Atau lebih tepatnya toko dan rumah yang bergabung menjadi satu. Lantai satu sebagai toko kue dan lantai dua sebagai tempat tinggal. Tidak ada percakapan di antara keduanya sepanjang perjalanan. “Di sini, Al. Tapi sorry, kalo siang gini, gue gak bisa ngajarin lo bikin puisi, karena ini waktunya gue jagain toko gantiin ibu,” jelas Vanila. “Em, iya, gapapa kok. Anu, gue, baru tau kalo ini toko nyokap lo. Gue biasa beli roti disini. Tapi kok gue gak pernah liat lo ya?” tanya Aly. “Lo aja gak nyadar, Al.” batin Vanila. “Gue mampir bentar ya, beli roti buat sarapan besok.” “Hm,” Vanila mendorong pintu kaca toko dan masuk terlebih dahulu, disusul Aly yang mengekorinya dari belakang. “Eh, Nak Al,” sapa wanita paruh baya yang menyambutnya dari balik meja kasir. “Bu Resti,” Aly mencium punggung tangan Resti. “Ibu,” Vanila yang mencium tangan perempuan paruh baya yang di ketahui ibunya itu. “Jadi, Vani ini beneran anaknya Ibu?” “Lho, Nak Al baru ngeh ya?” tanya Resti balik. Aly menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menunjukkan cengiran canggungnya. “Nak Al mau roti yang kayak biasa?” “Iya, Bu.” Jawab Aly sopan sambil mencomot roti pilihannya lalu memasukkannya kedalam baki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD