01. Who is She?

1013 Words
“Kamu tak perlu mencari, karena kamu pasti menemukannya cepat atau lambat.” ---- “Ly, rambut gue kepanjangan gak sih?” tanya Bima sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil sesekali ia gibaskan. Tak ada jawaban, Aly tak menyimak perkataan Bima. Bahkan, handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya pun hanya di pegangnya. “Ly!” Kali ini, Bima menepuk pundak Aly. “Ah bangs*t! Gak usah ngagetin bisa?” Aly melempar handuknya ke arah Bima. “Ada juga gue yang marah, Ly. Lo udah gue tanya baik-baik malah bengong aja. Kesambet mampus lo!” Aly hanya mendelik ke arah Bima kemudian menghadap cermin dengan pandangan tak fokus. “Oh jadi gitu? Cogan ngomong di kacangin!” rajuk Bima. “Cogan-cogan, colokan gantung!” balas Aly kesal. “Iya emang colokan gue menggantung. Tau aja nih, Bang Aly.” Bima menoel dagu Aly sambil menahan geli. “Najisun! Sejak kapan lo jadi m**o?” “Hm, sejak kapan ya? Lupa,” jawab Bima sambil mengetuk dagunya. “Jauh-jauh k*****t!” Bima yang sedari tadi di buat kesal karena omongannya tak di tanggapi, semakin gencar menggoda Aly yang mulai terpancing emosinya. Ia berjalan ke arah Aly dengan gerakan yang membuat Aly semakin ngeri. Tentu saja, Aly memundurkan tubuhnya dan menatap Bima geram. Entah, apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. “Mau ngapain lo?” Aly mengepalkan tangannya ke arah Bima. Tak tahan lagi, tawa Bima pecah seketika dan membuat Aly menyernyit heran melihat tingkah laku sahabatnya itu. “Bercanda, nyet! Gue masih suka cewek.” Bima menepuk bahu Aly. Namun, Aly masih tak percaya dan menyingkirkan tangan Bima kasar. “Bim, sumpah ya, kalo lo m**o, seumur hidup gue gak mau kenal lo lagi,” ujar Aly waspada. “Cewek banyak. Kurang kerjaan amat jadi m**o,” jawab Bima. Mereka berdua tak kunjung keluar dari ruang ganti sebelum bel masuk berbunyi. Pasalnya, fans fanatik mereka masih setia mengantri di luar ruang ganti. “Baru kali ini, gue ngerasa lama banget di ruang ganti berdua sama lo. Agak merinding gitu.” Aly mengusap tengkuknya. “Yeu, gue bilang bercanda juga! Tapi ya, kalo gue m**o, Cowok yang pertama gue sukain pasti lo. Kan, lo ganteng, tajir—“ Bima menerawang. “Stop! Dakjal lo! Makin ngeri gue!” maki Aly. Perkataan Aly hanya di tanggapi kekehan oleh Bima. “Bim, cewek yang tadi namanya siapa?” Aly mengalihkan pembicaraan unfaedah mereka. “Cewek yang mana?” “Cewek yang tadi, yang ketemu pas kita kelar main.” “Iya kan banyak, Aly!” Dengan tak sabar Aly menjitak kepala Bima yang tak kunjung mengerti siapa yang di maksudnya. “Aw, kok malah ngejitak, bangs*t!” Bima mengumpat sambil mengusap keningnya yang terasa sedikit panas. “Lemot sih! Gue nanya serius di tanggapinya gitu.” “Ya lo kalo mau tanya, sebutin spesifikasinya juga. Soalnya, cewek yang tadi kita temuin banyak.” Aly mengusap kasar wajahnya menanggapi perkataan sahabatnya itu. “Oke Bima, lo tau gak cewek yang tadi gue ambilin kertasnya dari atas rak piala? Apa pertanyaan gue kurang jelas?” Aly mulai kehilangan kesabaran. Sebelum menjawab, Bima malah terbahak dan dan melemparkan handuk yang di pegangnya ke wajah Aly. “Sejak kapan lo perhatiin cewek? Bukannya tiap ganti cewek aja lo gak tau namanya?” Bima masih terbahak. “Serius gue!” “Ya ampun, itu sih si Vani anak IPA 1.” “Terus-terus?” Aly antusias. Bel tanda masuk sudah berbunyi, Bima mengecek keadaan di luar ruang ganti dan benar saja, fans mereka sudah bubar. Keduanya pun keluar sambil menghembuskan nafas lega. “Woy cab*l! Terus gimana itu si Vani?” ulang Aly. “Sabar bang-ke!”  Bima mengajak Aly ke ruang guru. Aly menyernyit heran, pasalnya kedua siswa itu paling anti guru dan sekarang keduanya malah memasuki ruangan guru. Seperti ayam masuk ke kandang macan. “Ngapain lo bawa gue ke sini?” “Katanya lo mau tau si Vani, kita cari datanya. Gue males ngejelasinnya, jadi mending baca datanya biar lengkap informasinya.” “Gak sia-sia gue punya temen kayak lo,” Aly merangkul pundak Bima. “Ada maunya aja baik lo!” Bima mencebikkan bibirnya. Keduanya berjalan ke arah meja wali kelas IPA 1 untuk meminta dokumen murid-muridnya. Tentu saja, guru itu tak bisa menolak, karena yang memintanya adalah anak pemilik yayasan sendiri. “Nih!” Bima melempar map yang sudah ia dapatkan kepada Aly. “Thanks,” Aly menangkapnya dengan sumringah. “Jangan hilang, besok harus di kembaliin lagi, atau gue yang kena ceramah Butut!” Bu Tuti atau yang sering di panggil Butut oleh murid-murid Pertiwi adalah guru kimia sekaligus wali kelas IPA 1 yang terkenal kata-katanya seperti gerbong kereta jika sudah marah. “Siap, Bos! Nanti gue kembaliin utuh sekaligus traktir lo selama sebulan penuh!” Bima bersorak mendengar ucapan Aly. Walau apapun yang ia inginkan pasti di dapatkannya, tentu kesempatan gratis apapun selama sebulan tidak bisa ia abaikan begitu saja. “Clubbing?” tanya Bima. “Everything!” “Brother!” rangkul Bima. “Gue cabut ya, males pelajaran!” Aly mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. “Gue ikut! Ya kali gue di kelas sendirian.” **** Aly merebahkan tubuhnya di atas ranjang king sizenya yang super empuk, matanya menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran menerawang jauh. Hampir saja, ia lupa membaca dokumen tentang Vani. Di bukanya map biru itu dan yang pertama menarik perhatiannya adalah foto berukuran 4x6 dengan background merah yang berada di pojok kiri atas yang di satukan dengan data diri. Vanila Andriana, gadis yang mendapat beasiswa penuh dari SMA Pertiwi, alamat rumahnya pun tak begitu jauh dari sekolahnya. Seorang anak tunggal yang hanya tinggal bersama ibunya, mendiang ayahnya sudah meninggal tiga tahun lalu. Selanjutnya Aly membuka dokumen lain, seperti nilai raport dan fotokopi berbagai sertifikat yang mencantumkan berbagai prestasi yang di raih gadis itu. Diam-diam Aly mengulas senyumnya. Lebih lama menatap foto gadis yang masih berseragam SMP yang tampak sangat manis di mata Aly. Pikirannya sudah terbang bersama gadis manis bernama Vanila itu, hingga ia tak sadar jika bel rumahnya berbunyi berkali-kali. Siapa lagi yang bertamu di tengah malam jika bukan sahabatnya Bima yang kerap kali bertamu di waktu yang tak lazim. Sahabat yang selalu membunuh kesepiannya karena kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang Aly sendiri akan sangat muak mengingatnya. “Lama banget, nyet bukain pintunya. Gak mungkin seorang Alyanshah Pradipta jam segini udah tidur.” Bima mengekori Aly yang berjalan menuju kamarnya. “Oh jadi itu yang bikin sohib gue tiba-tiba budeg?” sindir Bima sambil menunjuk dokumen pribadi Vanila yang masih tergeletak di atas ranjang Aly. “Kalo mau main-main jangan sama dia, bro! Lo cari orang lain aja. Dia mah cewek baik-baik,” ujar Bima Hanya ia yang sedari tadi nyerocos, sedangkan Aly duduk di jendela kamarnya, membiarkan angin malam menerpa wajahnya dengan pikiran yang jauh melayang. “Woy! Denger gue gak?” Bima setengah berteriak. “Denger! Lagian siapa yang mau main-main sama cewek modelan begitu? Hidupnya aja lempeng-lempeng aja.” “Jadi lo mau seriusin?” “Sejak kapan seorang Aly serius sama cewek? Gue cuma penasaran aja sama cewek yang berani menolak pesona gue,” kilah Aly lagi. Tentu saja ia berbohong, karena hatinya tidak berkata demikian. Hatinya sudah tertarik oleh Vanila sejak pertama kali gadis itu menyebut namanya dengan panggilan ‘Al’.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD