#2. Flashback

642 Words
“Enak kan Than? Hampir tiap minggu aku beli ice choco di sini lho.”         Alih-alih menjawab, Fathan menatap gadis itu. Seolah menunggu penjelasan apa yang ingin dibicarakan.         “Fuuh … kamu bener-bener engga bisa diajak basa-basi ya, Fathan Abdaniel Darmawan?” Ailsa menyeruput ice choco itu lalu meletakkannya di atas meja. “Oke, to the point aja. Aku mau kamu ngelupain pertemuan kita waktu itu.”         See? Fathan memang bukan murid terpintar yang memperoleh paralel angkatan, tapi ingatannya masih tajam. Benar, sekarang dia sudah benar-benar mengingat Ailsa. Begitu pula pertemuan mereka beberapa hari lalu di sebuah tempat yang mungkin terkesan tabu.         Ya, pertemuan tabu di Rumah Sakit Jiwa tiga hari yang lalu.            Lorong rumah sakit tampak lengang hari itu. Fathan merutuki Ayahnya yang bisa-bisanya melupakan dokumen penting dan meminta ia mengantarkannya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit.         Memangnya Tamansari-Pasteur cuma lima menit hah?         “Lho, Nak Fathan? Tumben ke sini? Nyari dokter Daniel ya?” sapa seorang xxx—istilah penjaga rumah sakit jiwa—yang bahkan tidak Fathan ketahui namanya.         “Mmm, iya Bu. Saya hubungi daritadi handphone-nya engga aktif.”         “Baru banget tadi ada klien yang masuk. Ada yang mau dikasihin? Titipin ke saya aja, beliau kayaknya bakal lama.”         Penawaran menggiurkan, apalagi mengingat sesi konseling yang memakan waktu berjam-jam. Fathan melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi ia harus sudah berada di café tempatnya bekerja.         “Boleh Bu, saya titipkan saja. Anu, maaf … dengan Bu …”         “Santi. Ya ampun, sering papasan belum tahu nama Ibu toh?”         “Iya, terima kasih Bu Santi. Ini dokumennya Bu, tolong berikan pada dr. Daniel ya. Mari Bu.” Fathan mengangguk sopan. Ia sudah berniat meninggalkan ruangan itu, sebelum akhirnya pintu di sebelah ruangan Ayahnya terbuka dan sesosok gadis keluar dari sana. Seorang gadis yang mengenakan hoodie sama persis dengannya, hoodie maroon dengan tulisan Tarja’20. Hoodie yang dimiliki oleh semua murid Taruna Jaya angkatan 2020.         Mata Fathan dan gadis itu bertemu. Walau mengenakan masker, Fathan dapat menangkap pupil mata yang melebar saat gadis itu menyadari Fathan mengenakan hoodie yang sama dengan miliknya.         Refleks gadis itu menjatuhkan obat-obatan yang sedari tadi ia genggam. Fathan membungkuk memunguti obat-obatan itu, sedangkan gadis itu masih mematung.         “Nih.” Fathan mengulurkan obat-obatan itu, namun bukannya menerima, gadis itu masih menatap Fathan dengan tubuh bergetar.         Fathan mendecak, ditariknya tangan gadis itu dan dia letakkan obat-obat itu di atas telapak tangan. Tanpa berkata apa-apa lagi ia melenggang berniat meninggalkan gadis itu, tapi langkahnya tertahan seketika. Rupanya gadis itu menggenggam erat hoodie yang Fathan kenakan.         “Kamu … kamu anak Tarja juga kan …?” tanya gadis itu dengan suara bergetar.         Fathan menaikkan sebelah alisnya, tidak berniat menanggapi pertanyaan gadis itu, namun lagi-lagi gadis itu menarik lengan Fathan.         “Please … jangan kasih tahu siapa-siapa kalau aku berobat di sini …” pandangan berkaca-kaca gadis itu tidak membuat Fathan iba, justru sebaliknya.         “Bahkan gua engga tahu siapa lo.” Fathan menatap dingin lalu menarik tangannya dari genggaman gadis itu.         “Tunggu, hei!” Gadis itu berlari kecil, berdiri menghalangi Fathan.         “Engga mungkin ada anak Tarja yang engga kenal aku, apalagi kita seangkatan. Susah banget sih minta tolong buat rahasiain ini dari orang-orang?”         Engga mungkin ada anak Tarja yang engga kenal dia? Sekarang gadis itu merasa paling eksis sampai semua orang mengenalinya?         Fathan menunduk, membuat wajahnya kini sejajar dengan gadis itu. Ia menatap tajam gadis itu sambil berkata, “Gua. Engga kenal. Elo. Ngerti?” Fathan sengaja memberikan penekanan, membuat gadis itu meneguk ludah.         “Tunggu, sebelum pergi kasih tahu dulu siapa nama kamu.”         “Buat apa?”         “Udah engga usah banyak tanya. Kasih tahu nama kamu atau kamu engga boleh pergi.”         Fathan memutar bola matanya. Ya ampun.         “Fathan. Fathan Abdaniel Darmawan. Puas?”         Seulas senyuman terbit di wajah gadis itu, “Aku Ail. Ailsa Renjana. Inget-inget ya Than, aku jamin kita bakal ketemu lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD