PART 1 : LOWONGAN PEKERJAAN

1789 Words
Happy Reading ^_^ *** Malam itu Esther memasuki ruang kerja Mamanya. Langkahnya terlihat ragu-ragu, tapi ekspresinya dibuat sekeras mungkin. Ini persis seperti ekspresi Esther ketika ingin mendapatkan sesuatu lewat jalur kedua orang tuanya. Dan Chrystalline Tan menyadari tindak-tanduk sang putri dengan baik. Dengan ujung pulpen yang masih menempel pada kertas yang harus ditanda tanganinya, dia melirik putrinya dengan kening berkerut. “Selamat malam, Esther. Ada yang bisa Mama bantu?” Ini ledekan. Sang Mama meledek dirinya. Sialan, pikirnya. “Mama, emmm...” Esther kebingungan. Dia bingung harus memulainya. “Apa Mama punya lowongan pekerjaan di perusahaan? Bisakah aku bekerja di perusahaan dalam waktu dekat?” Konyol. Seorang Esther Kinara Wang tidak pernah membutuhkan lowongan pekerjaan. Bukankah ini terdengar sangat lucu? Berbanding terbalik dengan Esther yang terlihat sedang menghujat dirinya, Chrystal malah terlihat terkekeh kecil. Dia meletakkan pulpennya dan menautkan kedua tangannya di atas meja. Tatapannya tertuju pada sang putri yang kepalanya tertunduk lumayan dalam. “Jujur pada Mama, Esther. Kamu mengacau di mana?” Esther langsung menggeleng. “Aku tidak mengacau di mana-mana. Aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan di perusahaan.” “Untuk apa? Apa kamu kekurangan uang?” “Aku tidak kekurangan uang satu sen pun kok...” “Lalu?” Semakin panjang obrolan mereka, ekspresi Chrystal berubah semakin tidak bersahabat. Esther jadi takut kalau membawa-bawa nama Nick ke dalam obrolan ini. Tapi sudah terlanjur, pikirnya. “Aku cuma pengen bekerja. Sudah—itu saja.” Chrystal menghela napas. “Kamu punya kemampuan apa?” Esther membuka mulut, tapi kemudian mengatupkannya lagi dengan cepat. Dia tidak jadi berbicara karena sadar tidak ada kemampuannya yang pantas untuk disampaikan pada sang ibu. Apa mendapatkan barang yang limited edition tergolong sebagai kemampuan? Kemampuannya adalah menghambur-hamburkan uang, sedangkan perusahaan membutuhkan seseorang yang bisa menghasilkan uang. Sampai sini dia benar-benar sadar kalau dia tidak seharusnya memasuki perusahaan. “Mama membiarkan Oliver bekerja di perusahaan. Bahkan dia punya jabatan yang luar biasa, baik di perusahaan Mama atau pun Papa. Lalu kenapa kalian tidak memberikannya juga pada aku? Aku kan juga putri kalian.” kata Esther dengan nada cemburu yang kental sekali. “Mama tidak pernah membeda-bedakan anak Mama, Esther. Catat itu dengan baik-baik,” Chrystal berujar dengan nada tegas. “Oliver punya jabatan itu karena dia memang memperjuangkannya. Dia ingin bekerja di bidang ini. Apalagi dia laki-laki—kami mengandalkannya untuk meneruskan bisnis keluarga. Sedangkan kamu—sejak awal kamu tidak pernah ingin memiliki jabatan makanya selama ini kamu asyik dengan dunia kamu sendiri seperti shopping dan traveling. Mama dan Papa memahami bahwa bidang ini keras, makanya kami tidak memaksa kamu sedikit pun. Terserah kamu mau melakukan apa pun karena kami pun sudah memastikan kehidupan kamu aman.” “....” “Tapi sekarang kenapa kamu jadi menyalahkan Mama dan Papa, hm? Di mana letak rasa hormat kamu pada kami?” Esther langsung terdiam. Perkataan Mamanya begitu menohok. Dia tidak pernah sekeras ini dalam hal memberontak. Bahkan bisa dibilang ini adalah kali pertamanya. Sebelumnya semuanya begitu tenang sampai Nicholas Cheung, pacarnya, terus merongrong dirinya untuk memiliki jabatan di perusahaan. “Maafkan aku, Mama...” Hanya itu yang bisa Esther ucapkan sebagai penebusan rasa malunya. “Jujur pada Mama—siapa yang sudah memprovokasi kamu sampai seperti ini?” Esther mendongak. Dia menatap sang mama dengan takut-takut. Mamanya tidak pernah ikut campur dalam urusannya, tapi kalau sang mama sudah menanyakannya, itu artinya urusannya ini sudah kelewatan. Dan setelah dipikir-pikir, ya memang benar sih. “Apa setelah semua ini Nicholas Cheung masih terasa seperti si Mr. Right yang kamu cari-cari dear?” Esther langsung mendongak kala nama pacarnya didengungkan oleh sang mama. “Mama... tahu?” tanya Esther hati-hati. Chrystal menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya. Ekspresinya terlihat santai sekali, berbeda dengan ekspresi sang putri yang mulai cemas. Pada titik ini Chrystalline Tan sadar kalau putrinya sudah menyadari kesalahannya. “Tentu saja Mama tahu senaif apa anak perempuan Mama dan senakal apa anak laki-laki Mama. Mama tahu. Ralat, lebih tepatnya Mama harus tahu karena dari situlah Mama bisa mengontrol kalian.” “Karena Mama sudah tahu senaif apa aku, jadi bisakah Mama memberikan aku jabatan di perusahaan? Nicholas adalah pria yang baik. Dia khawatir aku akan kesusahan di masa depan kalau tidak memiliki jabatan ini, Ma.” Esther mencoba membujuk sang mama lagi. “Dan kamu mempercayainya, nak?” kata Chrystal. “Kamu percaya kalau Mama dan Papa akan membiarkan kamu kesusahan di masa depan? Bahkan kamu pun meremehkan kepedulian Oliver pada kamu. Kamu lebih percaya Nicholas dibanding janji kami—keluarga kamu sendiri?” Esther merasa tertohok. Perkataan sang mama semuanya benar. Tapi sayangnya Nicholas tidak memandang semuanya dari perspektif ini. Demi Tuhan, kenapa sekarang kesannya seperti dia melawan keluarganya sendiri? “Esther, dengarkan Mama baik-baik. Kamu bisa melakukan apa pun, bahkan kamu juga bisa mendapatkan apa pun, tapi tidak dengan perusahaan.” “Ma, aku tidak ingin perusahaan. Aku hanya ingin jabatan yang layak untuk kuberitahukan pada Nicholas. Hanya itu.” Esther masih bersikeras. “Mama bisa memberikannya secara acak padaku dan tidak perlu terlalu memikirkannya.” “Esther, setiap jabatan punya tanggung jawab yang berat. Bagaimana mungkin Mama tidak memikirkannya kalau memberikannya secara serampangan hanya karena kamu menginginkannya? Ini adalah perusahaan keluarga yang dibangun dengan susah payah, jadi Mama tidak akan main-main dengan pemberian jabatan.” “....” “Sekali tidak ya tetap tidak.” “Mama!” “Girls, kenapa kalian bersitegang malam-malam begini?” Suara dari ambang pintu membuat kedua perempuan dengan rentang dua puluh lima tahun itu menengok ke sumber suara. Chrystal yang terlebih dahulu menarik atensi si pria yang tak lain adalah sosok Christopher Wang di usianya yang sudah paruh baya. “Putri kamu cinta buta. Tolong sadarkan dia sebelum gila.” “Mama!” “Chrystal...” Christopher memperingatkan dengan nada lembut. “Calm down. Kita bicarakan ini baik-baik.” “Aku sudah berbicara baik-baik dengan dia, tapi dialah yang tidak bisa menangkap maksud aku yang sebenarnya, Christ.” Christopher menghela napas. Chrystal adalah istrinya yang tersayang, tapi Esther juga putri kesayangannya. Dia benar-benar tidak bisa memihak di saat dirinya dihadapkan pada dua perempuan ini. “Aku akan berbicara dengan Esther. Kamu selesaikan pekerjaan kamu dan tidur. Sudah terlalu larut. Ingat kata dokter kan?” Chrystalline Tan menghela napas. Kemudian dia mengangguk dan menyerahkan masalah putri mereka pada suaminya. *** “Sejauh ini Papa hanya punya cemilan ini,” kata Christopher sambil menunjukkan cemilan kentang goreng dan saus kemasan yang merupakan kesukaan Esther. “Ada request lain, darling? Papa akan menyuruh orang untuk menyiapkannya.” “Tidak bisakah kita langsung ke inti pembicaraannya saja?” kata Esther dengan ekspresi antara malas dan jengkel. Christopher terkekeh. “Kina, tatap mata Papi...” Panggilan ini—batin Esther meronta-ronta. Ini adalah panggilan sayang sang papa untuk dirinya. Dulu saat masih kecil Esther punya masalah saat ingin melafalkan nama depannya sehingga seringkali dia mengenalkan dirinya sebagai ‘Kina’ dari penggalan kata ‘Kinara’. Harapannya adalah orang-orang akan mengubah panggilannya sehingga lebih mudah untuk dilafalkan oleh dirinya sendiri. Tapi sayangnya orang-orang tetap memanggilnya Esther. Menyadari hal ini, Christopher pun maju dan menjadi satu-satunya orang yang memanggil dirinya sebagai Kina. Hingga akhirnya Nama Kina menjadi nama panggilan kesayangan Papanya untuk dirinya. “Aku hanya ingin punya jabatan dan mempertahankan hubunganku dengan Nicholas, Papi. Hanya itu.” Esther menatap sang papa dengan penuh permohonan. Kalau dia tidak berhasil di perusahaan sang mama, maka mungkin saja dia bisa berhasil di perusahaan sang papa. Lagipula Nicholas tidak mengharuskan perusahaan yang mana, bukan? Intinya Nicholas hanya ingin dirinya punya jabatan, entah itu di perusahaan sang mama atau pun sang papa. “Katakanlah Papi memberikan kamu jabatan yang kamu impikan, lalu bagaimana cara kamu mempertanggung jawabkannya?” Perkataan Christopher membuat sang putri terdiam. Dia seperti ingin menjawab, tapi ragu sehingga hanya bisa mengurungkan niatnya sambil menundukkan kepala. Ini persis seperti jawaban sang mama. Dan dari sini saja Esther sudah tahu akan seperti apa hasil akhirnya. “Apa kamu siap untuk mengubah tampilan kamu jadi lebih formal? Apa kamu siap mengubah cara berfikir kamu yang tadinya hanya mementingkan diri sendiri menjadi mementingkan tim dulu? Apa kamu sudah siap duduk di belakang meja kerja selama tujuh sampai sepuluh jam setiap harinya demi kepentingan perusahaan? Apa kamu yakin padahal di momen itu teman-teman kamu sibuk shopping dan traveling?” “Papi—aku hanya ingin jabatan.” “Tapi jabatan selalu diikuti dengan tanggung jawab pekerjaan. Dan itulah yang membuat Mama kamu kekeuh tidak bisa memberikan jabatan itu ke kamu. Bahkan Papa pun tidak bisa memberikannya. Kamu belum mumpuni, sayang.” Christopher mengambil tangan putri sulungnya dan memainkannya dengan lembut. Matanya menerawang jauh untuk mencoba memberikan sang putri gambaran jelasnya kenapa hal ini tidak mungkin untuk dilakukan. “Memilih seseorang yang mumpuni adalah kewajiban. Karena dengan seseorang yang mumpuni itu kejayaan perusahaan ditentukan. Apa kamu tega menghancurkan perusahaan yang sudah Papa dan Mama bangun dengan susah payah? Kamu bahkan tahu demi semua ini Mama bekerja terus menerus sampai kesehatannya terus memburuk seperti sekarang. Kamu sendiri tega mau menghancurkan kerja keras Mama hanya demi Nicholas Cheung?” “....” “Ketika Papa dan Mama bilang kesejahteraan kamu terjamin—kami tidak pernah membual, sayang. Itu kenyataan. Bahkan kalau kamu memutuskan untuk tidak bergabung dengan perusahaan sama sekali, kami tidak akan memaksa. Mama dan Papa sadar kalau bidang ini bukan bidang yang mudah. Papa dan Mama hanya ingin kamu dan Oliver bahagia.” Air mata Esther menitik. Dia benar-benar tertohok karena kalimat Papanya. Dia benar-benar malu pada sang Papa karena sudah memperjuangkan Nicholas Cheung sampai seperti ini. Cintanya pada pria itu terlalu membutakan. “Dulu saat seusia kamu pun Mama hanya tahu shopping dan traveling. Mama baru masuk ke dunia kerja sesaat setelah kamu dan Oliver lahir. Itu pun karena kebetulan Nenek sakit-sakitan dan Mama tidak punya pilihan selain bergabung untuk membantu kakek kamu. Berapa usia Mama saat itu? Sekitar tiga puluhan. Sedangkan usia kamu sekarang masih duapuluh lima. Masih terlalu dini, dear.” “....” “Mama dan Papa tidak akan menghalangi kalau kamu memang ingin masuk ke perusahaan. Di usia berapa pun—silakan saja. Tapi yang jelas Mama dan Papa pun akan menuntut tanggung jawab kamu, jadi sebisa mungkin masuklah ketika kamu sudah siap memikul tanggung jawab yang besar.” Christopher menjelaskan dengan sabar. “Atau ketika nanti kamu sudah tiga puluhan dan masih tidak berminat untuk masuk ke perusahaan—ya kami pun tidak akan memaksa juga. Karena seperti yang kami bilang tadi, bidang ini bukan hal yang mudah. Mama dan Papa tidak ingin kamu merasa dipaksa sehingga kehilangan momen bahagia yang seharusnya bisa kamu nikmati dengan bebas. Toh, kamu juga perempuan. Pada akhirnya kamu pun akan diratukan kalau bertemu dengan pria yang tepat. Sehingga bekerja dan mencari uang jelas bukan kewajiban kamu, sayang.” TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD