Dua

706 Words
Dandi Aku mengambil sebotol air putih dari dalam kulkas dan langsung menenggaknya habis. Setelahnya pikiranku melayang jauh kepada Jihan yang tadi pagi kutemui. Aku sebenarnya bingung harus bersikap seperti apa padanya tadi. Namun dengan berpura-pura tidak mengenalnya adalah hal kekanakan menurutku. Aku berjalan ke ruang tengah dan mengistirahatkan badanku pada sofa. Kemudian aku mengambil remot televisi dan menyalakannya. Beberapa berita serta acara lalu lalang di sana, namun pikiranku tidak ada yang fokus pada siaran itu. Tak lama, acara berganti. Liputan berita Indonesian Choice Awards yang di adakan dua hari lalu masih saja menjadi perbincangan hangat. Ya tentu saja bagi para pemenangnya itu adalah ajang unjuk gigi dan popularitas.  Sayup-sayup aku mendengar nama yang tak asing di telingaku di bicarakan oleh seorang presenter. Nama itu seketika membuat emosiku bergejolak. Sadam Nayaka.  Cit! Lantas aku langsung mematikan siaran tak bermutu itu. Ya, sangat tak bermutu jika orang-orang dengan bangganya mewawancari Sadam, serta memuji manusia tak beradap itu. Tadi aku sempat melihat sekilas ia di wawancari dengan istrinya yang cantik. Ya, istrinya cantik, sangat cantik. Seorang banker ternama, pemilik bisnis fashion, aku berani bertaruh bahwa kekayaan Sadam tak ada apa-apanya di banding sang istri. Tapi ya itu, laki-laki itu kadang kurang bersyukur. Sudah dapat A malah pengen B, padahal B belum tentu lebih baik buat hidupnya. Aku bukannya iri pada Sadam, bahkan aku tak mengenalnya sama sekali. Namun, tiga tahun yang lalu, ia adalah manusia yang telah merusak kebahagiaanku. Dengan sangat gampangnya ia merebut Jihan dariku. Tiga tahun lalu, saat aku belum memiliki apa-apa. Tiga tahun lalu, bahkan makan pun aku meminta pada Jihan. Dua tahun kami berpacaran, semuanya baik-baik saja. Jihan bahkan tak pernah mengeluh apa pun padaku. Ia sempat mengatakan jika dia punya sesuatu, berarti itu milikku juga. Jihan milikku, dan aku miliknya, saat itu. Sebelum si Sadam k*****t ini masuk ke dalam hidup kami. Beberapa orang di sekelilingku mengatakan bahwa ya, wanita itu butuh kepastian, pengertian, dan yang terakhir adalah kemapanan. Tetapi aku selalu mengelak. Tidak, Jihan tidak butuh poin ketiga, aku selalu menyangkal itu, karena Jihan lebih membutuhkan perhatianku di banding hartaku yang memang tak seberapa. Jihan tak pernah menuntut apa-apa. Itulah yang membuatku bisa menilainya berbeda dari wanita lain. Aku juga bukan pria egois, aku bahkan tak bermaksud untuk bermalas-malasan dengan membiarkab Jihan menanggung hidupku. Tidak, bukan begitu. Aku bekerja nomaden. Dari satu tempat ke tempat lain, ijazahku bisa di bilang sangat baik nilainya, entah mengapa kesialan menimpaku saat itu. Aku selalu berjanji padanya untuk selalu membahagiakannya kelak di saat aku sukses. Dan sekarang terbukti, aku sukses. Namun Jihan tak ada di sini untuk menikmatinya. Lagi-lagi karena lelaki k*****t itu. Oh tuhan, sudah berapa kali aku mengumpat dalam menit terakhir ini? Maafkan aku. Tapi ku akui Jihan memang sangat bodoh, ia rela menjadi selir pria itu. Padahal statusnya sangat tidak pasti. Belum tentu Sadam akan menikahinya, kan? Dan walaupun begitu, aku masih menaruh harapan lebih padanya. Aku akui, aku terlalu terlambat untuk membahagiakan Jihan, namun tak ada salahnya mencoba, kan? Lagian kerja sama ini juga atas permintaan Raia, sahabat Jihan. Aku belum tahu pasti ada masalah apa antara mereka dan Sadam, yang jelas aku yang membuat James untuk menarik Jihan sebagai wedding organizernya. Drrtt.. Drrtt.. Getaran ponselku membuyarkan umpatanku pada masalah Jihan. Nama James tertera di layar dan dengan segera aku menekan tanda hijau yang bergerak-gerak. “Hallo?” sapaku. “.....” “Baiklah,” “Hm,” “Apa??? Kenapa??” “Tapi bagaimana mungkin?” “Oke,” “Nanti akan kusampaikan padanya,” “Tidak, tidak,” “Oke,” Tut! Sambungan telfon itu terputus. James memang orang yang susah di tebak. Tiba-tiba saja dia menelfon memintaku dan Jihan untuk segera merencanakan pernikahannya dengan matang. Entah ada angin apa keluarganya memajukan tanggal pernikahan hingga bulan depan. Dan aku hanya membutuhkan waktu 2dua puluh lima hari untuk menciptakan sebuah gaun mewah. Oh astaga! Aku dan James sudah lama berteman, dan dia adalah pria yang memiliki rencana super mendadak. Bahkan mengurus skripsinya saja dulu juga mendadak, namun hebatnya, jurus the power of ‘mendadak’ yang ia gunakan selalu berhasil membuatnya matang dalam merencanakan sesuatu. Ajaib! Aku mengetik pesan untuk Raia menginformasikan urusan mendadak ini. “Rai, besok tolong temui aku di apartemenku, ya. James memajukan tanggal pernikahannya. Kita harus buru-buru.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD