bc

Alunan Rasa

book_age16+
599
FOLLOW
2.3K
READ
billionaire
second chance
goodgirl
powerful
independent
drama
sweet
bxg
office/work place
first love
like
intro-logo
Blurb

Indra Putra Gumilar, seorang laki-laki yang harus terpaksa mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih, karena kekasihnya telah melakukan perbuatan yang dibenci oleh semua umat yang sedang menjalin asmara, sebuah perselingkuhan.

Seolah belum cukup, ia harus kembali menerima pengakuan bahwa seharusnya dirinya tak perlu risau, karena semua pengkhianatan kekasihnya, juga pernah ia lakukan sebelumnya. Kepada Kirana Ayu Larasati, yang sekarang sudah hidup bahagia dengan suaminya.

Membuat Indra bertanya-tanya, apakah ia memang benar-benar tak pantas untuk siapa pun? Karena ketika kembali berdamai dengan masa lalu dan kembali menjalani hubungan dengan perempuan lain pun, perempuan yang saat ini telah resmi menjadi kekasihnya juga melakukan hal yang nyaris serupa. Bukan selingkuh, hanya memintanya untuk menyerah saja.

"Sampai kapan pun aku nggak pernah siap, Ndra. Aku nggak pernah siap untuk menjalin hubungan dengan kamu. Sungguh."

Lantas, apa yang harus Indra lakukan untuk lebih meyakinkan Anandya Permata Wijaya, setelah sebelumnya ia pun telah berusaha sekeras yang ia bisa?

Apakah ia memang tak ditakdirkan untuk bersanding dengan seorang perempuan pilihannya?

****

Cover by : Lana Media

chap-preview
Free preview
Rasa - 1
Hari libur selalu menjadi waktu favorit setiap orang. Tanpa terkecuali. Terlebih untuk para pekerja yang selama lima hari penuh sudah melakukan kewajibannya untuk bekerja. Lembur semalam suntuk, mendapatkan tekanan dari tempat bekerja mereka, lalu ketika hari libur datang, adalah sebuah anugerah yang pantas mereka nikmati dengan sungguh-sungguh. Seperti itulah yang sedang Indra Putra Gumilar rasakan. Walau ia sebenarnya bukan pekerja kantoran. Namun, hari libur tetap selalu ia harapkan. Merebahkan diri dan malas-malasan di kasurnya yang nyaman. Menonton film atau membaca buku-buku yang belum senpat ia baca sebelumnya. Tidak ada agenda pergi ke suatu tempat, khusus untuk weekend kali ini, karena seseorang yang biasanya selalu mengajaknya pergi, sedang tidak berada di Jakarta. Kekasihnya, Widya, sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Sangat disayangkan sebenarnya. Karena Indra sebenarnya ingin mengajak kekasihnya itu ke suatu tempat. Tempat yang ia yakin akan menjadi tempat bersejarah bagi hubungan mereka berdua. Ya, Indra ingin melamar Widya. Sebuah rencana lamaran yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, dan harus tertunda karena ada pekerjaan yang lebih penting yang harus kekasihnya datangi. Tak apa, ia bisa menunggu. Inginnya hanya menunggu. Dengan bermalas-malasan seperti yang ia sebutkan tadi. Namun, semua hal menyenangkan tentang hari libur yang menjadi angannya itu, harus ia relakan hanya menjadi angan karena ibunya yang tiba-tiba memaksa dan mengintervensi hari liburnya. Yeah, ibunya dengan segala kediktatorannya. "Indra Putra Gumilar! Ayo cepat turun, ini Mama udah siap-siap, kok!" Melin, ibu Indra berteriak memanggil putra bungsunya yang masih berada di dalam kamar. Ingin menghampiri, namun ia sedang disibukkan dengan memilih kerudung yang akan ia kenakan untuk berkumpul dengan teman-temannya. "Bentar, Ma! Pake baju dulu." jawab Indra, sang putra bungsu, tak kalah lantang. Padahal ia sedang berada di dalam selimut. Belum beranjak walau ibunya sudah mendatanginya satu jam yang lalu untuk segera bergegas. Melin tak bisa dibohongi. Mengerti dengan jelas bagaimana sikap anaknya, ia tahu bahwa sang putra belum melaksanakan apa yang ia perintahkan. "Dari tadi, kok, bilangnya pakai baju dulu mulu!" kembali ia berseru. "Iya, ini tadi nyetrika dulu." jawab Indra lagi dengan asal. Bangkit dari ranjangnya, cepat-cepat ia membereskan tempat tidurnya yang seperti kapal pecah. Camilan begitu berserakan di atas meja, laptopnya yang sejak semalam tidak ia matikan, sudah dalam keadaan mati, dan beberapa barang yang entah mengapa tak berada di tempatnya. Padahal, semalam ia hanya menonton pertandingan bola sambil mengecek beberapa pekerjaan di laptopnya. Seingatnya, sih, begitu. "Halah, sejak kapan kamu rajin nyetrika?!" tidak biasanya anak bungsu Melin yang tak pernah menyentuh pekerjaan rumah bila tidak dipaksa, kali ini mengerjakan dengan sukarela. Tanpa sepengetahuan dirinya. "Jangan salah, dulu waktu aku kuliah rajin nyetrika, Ma!" ia masih meladeni ibunya. Sambil sesekali masih berlari kecil membereskan kekacauan yang ada di dalam kamarnya. Bila ibunya sampai melihat ini, sudah pasti pekerjaan yang mulanya hanya mengantar bertambah hingga menemani ke mall tersebut sampai beliau bosan. Hukuman versi ibunya memang anti mainstream sekali. "Cepat Ndra, sebelum Mama pergi sama Pak Amin." ancam Melin dengan gemas. Membawa salah satu kerudung berwarna merah marun yang akhirnya ia pilih, Melin melangkahkan kaki untuk menuju ke kamar anaknya yang terletak di lantai dua. Semua kamar anaknya terletak di lantai dua. Bisa dibayangkan betapa lelah suara dirinya ketika anak-anaknya sedang dalam mode malas untuk turun ke lantai satu. Apalagi saat dulu mereka semua masih sekolah. Belum bangun, lah. Masih sibuk berdandan, lah. Belum selesai membersihkan diri, lah. Dan alasan-alasan lain yang begitu menyulut emosinya. Namun, saat mereka sudah dewasa seperti ini. Ia malah berbalik begitu merindukan keriweuhan mereka. "Nah itu, Mama pergi sama Pak Amin aja. Biar Indra jaga rumah!" karena sejak awal, Indra memang sedang tak ingin melakukan apa pun di hari ini. Mendengar jawaban Indra, Melin ingin tertawa sebenarnya. Karena ada saja jawaban anaknya bila sedang malas menemaninya berbelanja. Terlebih berbelanja bersama teman-temannya. Membuka pintu kamar anak bungsunya saat ia sudah berada di depan kamar anaknya, Melin tak heran melihat kondisi di dalamnya. Sungguh, sangat tak layak disebut sebagai kamar. Bila Melin masih sering mengomel seperti dulu, sudah pasti ia akan langsung berkomentar melihat kekacauan yang terjadi. Atau barangkali tak membiarkan anaknya keluar sebelum semuanya dibereskan. Dan meminta asisten rumah tangga di rumahnya untuk tak membantu. Ya, sekeras itu ia dalam mendidik anak-anaknya. Walau, lebih dari mampu untuk mengerahkan semua bibi yang membantu di rumahnya, namun Melin tak pernah melakukan hal itu. Biar anak-anaknya bertanggung jawab terhadap kekacauan yang dilakukannya sendiri. "Pak Amin ada kerjaan lain, Ndra. Ini, kan, hari minggu kamu nggak boleh malas-malasan." Melin menghampiri anak bungsunya dengan berjalan pelan. Kamar laki-laki dewasa 30 tahun yang tak layak disebut sebagai kamar. Sampah makanan berserakan, sprei yang tak berada rapih di tempat yang seharusnya. Selimut yang sedang dipeluk oleh anaknya. Sepertinya anak bungsunya sedang mencoba merapikan kekacauan yang dibuat sendiri. Ah, ternyata Indra masih ingat mengenai cara main ketika ia berada di rumah. Barangkali bila sudah sejak pagi tadi Melin menginjakkan kaki di kamar ini, ia sudah pingsan saking stressnya melihat kamar yang seperti kapal pecah ini. Indra tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Menjadi anak bungsu memang jauh lebih manja, dibandingkan dengan salah satu kakaknya yang adalah seorang wanita. Namun, Indra sejak dulu benci kekacauan. Sebisa mungkin anak itu akan menghindarkan diri dari kekacauan yang ada, sekali pun itu memang disebabkan oleh dirinya sendiri. Hanya karena ia sedang libur bekerja dan waktu yang seharusnya anak laki-lakinya gunakan untuk keluar bersama sang kekasih, harus tertunda karena kekasihnya sedang berada di luar kota. Tidak. Melin yakin pasti ada sesuatu yang lebih serius dibandingkan dengan masalah sepele seperti itu. "Malas-malasan sekali doang di hari ini kali, Ma." melihat bahwa ibunya tak berkomentar apa pun saat melihat kamarnya yang super berantakan, Indra membuang selimutnya dan kembali merebahkan diri di ranjangnya yang empuk. Banyak orang mengatakan bahwa ivestasi terbaik adalah dengan membeli ranjang yang bisa memberikan kenyamanan secara optimal meskipun mungkin kita tak bisa merasakannya secara penuh dalam delapan jam tiap malam, karena hal itu tergantung pola tidur masing-masing. Dan Indra meyakini hal itu. Sebab, mendapatkan istirahat malam yang baik akan berdampak besar pada hidup serta keseharian kita. Jika kita tidak mendapat tidur yang baik, kita tidak akan produktif dalam bekerja, dan mungkin saja cenderung bermalas-malasan karena kondisi tubuh yang terlalu kelelahan. Tetapi, jelas, ibunya tak akan setuju dengan dirinya. Karena belum sempat ia kembali melancarkan pembelaaan, sang ibu kali ini sudah menatapnya dengan tatapan yang... ah, sulit ia deskripsikan. Namun, Ia tahu bahwa itu adalah salah satu drama yang sedang dilakoni wanita nomor satu di hidupnya "Ndra, Mama nggak pernah minta apa-apa sama kamu, kan? Kok cuma nganterin Mama bentar doang kamu nggak mau?" Indra menghela napas. Bila sudah merajuk seperti ini, tak ada yang bisa dilakukan Indra kecuali menganggukan kepala. Menuruti perintah ibunya yang tak bisa ia turuti dengan mudah. "Iya, Ma, iya. Indra anterin nih." ya sudahlah, toh membahagiakan orangtua, kita bisa sekalian mendapatkan pahala. Dan benar saja. Begitu ia menganggukan kepala, wajah keruh dan bibir ibunya yang cemberut raib entah kemana, digantikan dengan wajah sumringah khas ibunya ketika tengah mendapatkan kabar gembira. "Ayo cepet mandi, kok dari tadi malah nggak mau gerak buat mandi?!" ingatkan ia untuk benar-benar bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada anak laki-lakinya. Karena selain benci dengan keadaan di sekitarnya yang berantakan, Indra juga sangat benci ketika dirinya sendiri tak rapi. "Nganterin doang, kan? Indra males gerak banget, Ma...." Melangkah untuk lebih dekat dengan Indra, tangannya mengulur untuk mengacak rambut anak laki-lakinya dengan gemas. Membalikkan tubuhnya, Melin akhirnya mengangguk. "Ya udah kalau nggak mau nemenin Mama, berarti nanti sore pas Mama pulang, kamu juga yang jemput." Indra berdecak cepat. Namun, tak pelak ia tertawa juga. Ibunya yang tak ingin rugi sedikit pun, bersanding dengan Indra yang sedikit badung. Tak seperti kakak laki-laki pertamanya yang cenderung penurut. Yeah, inilah dunianya. Dunia yang penuh dengan omelan ibunya dan kecerewetan beliau. Menjadi anak bungsu tak lantas ia menjadi anak yang lebih disayang dan lebih segala-galanya. Tidak. Ibunya tidak pernah memperlakukannya secara istimewa. Membela anaknya bila sedang terkena masalah, memang benar. Tetapi, ibunya tak lantas tutup mata dan sengaja melindungi anaknya yang memang bersalah. Ibunya selalu memperlakukan anak-anaknya dengan adil. Membuat Indra dan dua kakaknya tak pernah iri karena sang ibu lebih menyayangi salah satu anaknya. Indra tahu hal itu dilakukan sang ibu karena ia harus merawat anak-anaknya seorang diri. Ayahnya meninggal kala Indra sedang menempuh bangku kuliah. Dan sejak sang kepala rumah tangga meninggal, sang ibu memang jauh lebih keras dalam mendidik anak-anaknya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook