Rasa - 2

1680 Words
"Nanti jangan lupa jemput Mama, ya?" Melin kembali memperingatkan Indra ketiga kalinya sejak mobil anak bungsunya sudah memasuki tempat parkir mobil yang ada di salah satu mall di daerah Jakarta Selatan. Dan saat ini mereka sudah masuk dan bergabung bersama pengunjung mall yang lain. Sebenarnya Melin hanya butuh diantarkan oleh Indra saja. Tidak sampai harus masuk ke dalam dan diantarkan oleh anak bungsunya. Namun, Indra berkata bahwa dirinya memang harus diantarkan karena takut hilang. Padahal, Melin tahu sekali bahwa alasan Indra mengantar sampai bertemu dengan temannya adalah salah satu bentuk perhatian anak itu yang diberikan untuk dirinya. Indra boleh saja manja, namun dia adalah satu-satunya anaknya yang begitu perhatian terhadap hal-hal kecil seperti ini pada orangtuanya. "Mama bawain pesanan aku dulu." jawab Indra dengan enteng. Ternyata menemani ibunya tak seburuk apa yang ia kira. Walau hanya sebentar dan tak benar-benar jadi pendamping ibunya shopping, cukup membuat hatinya sedikit jauh lebih baik. Ya, alasan mengapa semalam Indra benar-benar merasa tak terkendali hingga berakhir mendapatkan omelan dari ibunya sejak pagi adalah kekasihnya. Ia tak akan pernah melarang Widya, nama kekasihnya, untuk bekerja. Sungguh, Indra akan mendukung apa pun yang sedang dan akan dilakukan kekasihnya untuk kemajuan dirinya sendiri. Namun, Indra harus tersulut emosi ketika Widya mengatakan bahwa weekend ini kantornya menyuruhnya untuk pergi ke luar kota. Sedangkan, sudah sejak beberapa hari yang lalu Indra meminta waktunya untuk bertemu di waktu weekend. Tak jadi masalah bila Widya memberitahunya jauh-jauh hari, tetapi kenyataannya wanita itu memberitahukan informasi penerbangannya, satu hari yang lalu. Apakah banyak kantor yang mempekerjakan karyawannya secara mendadak seperti itu? Ataukah sebenarnya disini Widya yang sedang membohongi dirinya? Ah, dia baru ingat bahwa kejadian ini sudah cukup sering terulang. Tiap kali bertanya, Widya akan marah dan menganggapnya tak percaya. Memang melelahkan sekali berhubungan dengan wanita yang sama keras kepalanya dengan dirinya. "Siap kalo itu, mah." ucap Melin santai. Walau sudah menginjak kepala tiga, anak bungsunya memang selalu meminta 'sesuatu' untuk dibawakan. Katanya oleh-oleh karena dirinya di hari libur berpergian. Yeah, kebiasaan membeli oleh-oleh walaupun hanya ke mall, yang sejak dulu tak pernah dilupakan Indra. "Makanya jemput biar nanti kalau kamu nggak suka, kita bisa beli yang lain." lanjutnya. Masih sambil berjalan, Indra menyeletuk pelan. "Ngomel-ngomel ke supir truk bisa, tapi mau pulang aja minta dijemput." celetuknya mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Melin tertawa. Ia pikir anak-anaknya sudah tak mengingat kejadian memalukan itu lagi. Kejadian dimana dia pernah memarahi supir truk karena menyenggol spion mobilnya hingga patah. Dan bukannya meminta maaf, supir truk tersebut malah menyalahkan kondisi jalanan yang sedang ramai. Kala itu, jelas, ia bertambah emosi. "Mama, kan, takut semobil sama orang asing sendirian, Nak." lanjutnya dengan memelas. Sejak dulu, ia memang tak pernah menyukai naik taksi. Kendaraan umum yang lainnya seperti angkut, KRL, walau masih dipenuhi ketakutan akan kejadian tak menyenangkan, ia masih mau untuk naik. Namun, taksi, yang mana hanya dia yang berada di sana bersama supir sungguh membuatnya parno. "Halah, alesan Mama aja itu." Melin kembali tertawa. Mengacak dengan gemas rambut putra bungsunya, ia kembali bersuara. "Jangan berantakin rumah. Kasian Bi Nur. Capek dia. Padahal di rumah nggak ada anak kecil yang berpotensi gede buat berantakin rumah." Melin sudah bertanya perihal peristiwa yang terjadi pada anaknya. Dan ternyata memang ada beberapa masalah yang sedang melingkupi Indra dan Widya. Melin tak bertanya detil masalahnya, karena Indra juga enggan menjelaskan lebih jauh. "Nggak, Ma. Aku juga nggak langsung pulang. Mau cuci mobil dulu." Indra menjawab. Sudah terlanjur keluar rumah, lebih baik ia lanjutkan saja aktivitas di luar yang sempat tertunda. Juga sambil menunggu waktu bila ibunya nanti menghubungi meminta dijemput. Melin mengangguk mengerti. Kala netranya melihat beberapa temannya yang terlihat sudah duduk di salah satu restauran yang mereka pilih untuk berkumpul, Melin langsung mengecup pipi putra bungsunya sebagai tanda perpisahan. "Ya udah pokoknya jangan lupa jemput Mama, ya. Mama berangkat dulu. Assalamualaikum.." "Waalaikumsalam, hati-hati, Ma." Indra mengingatkan. "Kamu juga." Indra mengangguk. Setelah memastikan ibunya sudah duduk bersama teman-temannya, ia membalikkan tubuhnya untuk menuju basement, dimana mobilnya diparkirkan disana. *** Indra tak pernah seterkejut saat ini. Ia tahu weekend seperti ini selalu digunakan oleh beberapa orang untuk mengunjungi sang kekasih. Mereka akan menghabiskan waktu bersama di tempat perbelanjaan, tempat wisata, atau hanya bermalas-malasan di apartemen atau rumah. Indra maklum mengenai hal itu. Sepanjang jalan bersama ibunya di mall saja, ia sudah menemukan berpuluh-puluh sepasang kekasih yang juga sedang berkeliling di sana. Namun, Indra syok ketika netranya menangkap sosok laki-laki dan perempuan yang sangat ia kenal, sedang berjalan mesra. Berangkulan dan sesekali bercanda, membuat perempuan yang sedang dalam pelukan laki-laki itu, tertawa. Indra tak masalah bila yang ia lihat adalah orang yang tak ia kenal. Masalahnya adalah ia mengenali salah satu diantara mereka berdua. Widya. Kekasihnya yang mengatakan padanya tak bisa kembali kencan di wekeend ini karena ada kunjungan kerja, bermesraan dengan laki-laki lain di tempat umum yang siapa saja bisa menyaksikan keromantisan mereka berdua. Astaga... Indra benar-benar tak menyangka dengan apa yang sedang dilihatnya. Melangkah tergesa, Indra hampiri dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Lupa pada tempat yang seharusnya tak dihampirinya dengan penuh kemurkaan. Basement mall. Ya, ia masih berada di kawasan mall tempat ibunya bertemu dengan teman-temannya. Berjalan riang, ia siap untuk menjalankan mobilnya menuju ke tempat cuci mobil langganannya. Namun, rencana tinggalah rencana. Manusia hanya bisa berencana dan sepenuhnya Tuhan yang memutuskan segalanya. "Wid?" panggil Indra saat dirinya sudah berada tepat di belakang Widya dan seorang laki-laki. Sedangkan keduanya tampak tak sadar. Wanita bernama Widya menoleh. Lalu, membolakan kedua matanya saat melihat di belakangnya ada kekasihnya yang lain. "Indra?!" Ah, rahasia yang sudah lama ia simpan, harus terungkap dengan cara yang tak elegan seperti ini. Refleks, jemari yang mulanya bertaut dengan Ikhsan, yang juga kekasihnya, ia lepaskan. Tertawa tak sampai mata, Indra kembali bersuara. "Jadi, ini yang kamu bilang ada dinas luar kota?" persetann dengan dinas luar kota di tiap weekend. Karena yang kekasihnya lakukan selama ini adalah berselingkuh. Indra tak yakin ia yang diselingkuhi, atau sebenarnya ia yang menjadi selingkuhan kekasihnya. Melihat betapa akrabnya Widya dengan laki-laki yang belum ia kenal, sepertinya pilihan kedua lebih masuk akal. Bahwa dia adalah orang ketiga di hubungan mereka. "Ini nggak seperti apa yang kamu bayangkan, Ndra." Widya tak pernah sepanik ini. Tetapi syukurlah kondisi di sekitar basemen tak terlalu ramai, jadi ia bisa menjelaskan tanpa harus takut akan menjadi pusat perhatian. "Klise banget, ya, Wid," Indra lagi-lagi tertawa. Lucu sekali ketika ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kekasihnya berselingkuh, namun pembelaan yang harus ia dengar adalah sekadar 'bukan seperti apa yang dirinya bayangkan'. "Dan memang kamu tahu apa yang aku bayangkan saat ini?" lanjutnya bertanya. "Ndra, aku bisa jelasin ini semua," Widya abaikan dulu keberadaan Ikhsan yang juga sedang menyaksikan drama ini. Hanya saja yang membedakan dengan Indra, Ikhsan tahu bahwa dirinya sudah mempunyai kekasih. Yeah, mereka memang bermain gelap. "Ayo masuk mobil, kita bicara ini baik-baik." mungkin saat ini belum banyak orang yang melihat, tetapi jika mereka tetap berada di sini dan bukannya masuk mobil atau masuk ke dalam mall, orang-orang yang melintas juga akan menaruh curiga. Kontan, Indra langsung menyibakkan jemari lembut Widya yang sedang menggenggam lengannya. "Nggak ada yang bisa dibicarakan dengan baik-baik untuk hal seburuk ini, Wid." dan tak akan pernah ada. "Aku pamit." Indra menatap manik bola mata Widya yang sehitam jelaga, karena hari ini kekasihnya tak memakai softlen yang sering wanita itu kenakan ketika sedang bersamanya. "Dan satu hal lagi, kamu yang menyulut api, itu tandanya kamu juga yang akhirnya mempersilakan aku untuk mengakhiri hubungan ini. Selamat, ya. Untuk hubungan yang sedang kalian jalani saat ini." sekali lagi, Indra tatap Widya, yang sekarang sudah resmi menjadi mantan kekasihnya, lamat-lamat. Lalu, sekejap saja, ia sudah membalikkan tubuhnya meninggalkan Widya dan laki-laki yang entah siapa namanya, termenung di sana. Di esok hari, ia tidak akan melakukan aktivitas antar jemput kekasih yang sering ia lakukan selama ini. Ia juga sudah tidak bisa mengajak Widya untuk ke kafenya. Lalu menghabiskan waktu di apartemen pun sudah tak bisa lagi mereka lakukan. Ah, bila seperti ini, Indra seperti laki-laki yang menye-menye sekali. Padahal, beberapa detik yang lalu ia baru saja memutuskan secara sepihak hubungannya dengan sang kekasih. Baru setengah langkahnya berjalan dan belum sempat ia menuju mobilnya, Indra kembali dikejutkan oleh sebuah suara dari Widya yang terdengar menusuk gendang telinganya. "Kamu nggak usah sok terluka, deh, Ndra! Bukannya kamu juga melakukan hal yang sama ke mantan kamu yang dulu? Siapa itu namanya?" mendengar lontaran kalimat menyakitkan dari Indra membuat Widya tak terima. Karena disini tak hanya dirinya yang salah. Indra pun pernah melakukan hal yang sama. Namun, laki-laki itu seolah lupa apa yang pernah diperbuatnya di masa lalu. "Ah, iya, Kirana!" Kirana yang malang, yang pernah begitu direndahkan oleh laki=laki yang sekarang sudah resmi menjadi mantan kekasihnya. Terkadang hukum tabur-tuai memang berlaku secepat itu. "Wanita itu kamu buat luka. Dan kamu malah memilih aku yang ternyata nggak setia juga." Widya enggan menghentikan ucapannya. Geram kepada berbagai kalimat menyakitkan, pun merasa belum cukup puas berkomentar. "Dari awal aku cuma pengin bersenang-senang, Ndra. Tapi kamu malah menganggap hubungan kita nggak sesederhana itu. Puncaknya saat kamu sibuk bekerja, sedangkan ketika kamu sibuk, kamu nggak pernah peduli pada orang-orang di sekeliling kamu. Kamu fokus dengan pekerjaan, yang mana kamu pernah mengatakan kalau itu semua demi untuk menikahi aku.” pembelaan Indra dulu adalah laki-laki itu harus mengurus kafenya yang ada di Jogja karena ada penyalahgunaan pengeluaran. “Sejak saat itu aku luluh, Ndra. Aku ingin kelak menjalani hidup bersama kamu. Tetapi, sejak saat itu pun kamu nggak pernah berubah lebih perhatian. Alasan yang selalu kamu berikan adalah kamu sedang sibuk dengan kafe kamu. Kamu ingin membangun csbang Semesta di berbagai kota. Kamu nggak ingat ada yang lebih penting daripada itu, kata-kata kamu yang sudah terlanjur terpatri di benakku.” Indra kembali menoleh kala Widya sudah menyelesaikan ucapan panjangnya. Dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan mantan kekasihnya. “Asal kamu tahu, Wid? Aku nggak pernah membutuhkan penjelasan panjang kamu itu. Karena bagi aku, perselingkuhan, entah apa pun bentuk, cara, dan alasannya, tetaplah sebuah perselingkuhan. Yang terlihat begitu rendah, bagi orang-orang yang mengalaminya.” lalu ia benar-benar melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Widya, dan semua kenangan indah yang pernah terjalin diantara mereka. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD