bc

Pengantin Pesanan

book_age16+
39
FOLLOW
1K
READ
contract marriage
reincarnation/transmigration
love after marriage
fated
second chance
sensitive
drama
mystery
city
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Ayuni gadis indigo sedang diuji ketika seorang duda dari negeri jiran datang melamarnya. Namun, niat sang pria mempersunting bukan berdasarkan cinta, tetapi karena ia menginginkan agar Ayuni membantu dalam urusan materi.

Pernikahan Ayuni dan Tuan Andrew terikat oleh kontrak perjanjian dan keduanya tidak boleh berhubungan badan. Sebab, dalam tubuh Ayuni dijaga oleh sosok jin berwujud harimau.

Lalu, apa yang akan terjadi jika seandainya Tuan Andrew dan Ayuni melanggar perjanjian tersebut?

chap-preview
Free preview
Tiba-Tiba Dilamar
"Bukankah singa bisa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa?" ~Ayuni Humaira Sabian~ Siang itu, rumah sederhana kami kedatangan tamu yaitu tiga orang pria. Bu Nyai--ibu angkatku--begitulah aku memanggilnya mempersilakan ketiganya masuk. Setelah menyuguhkan minuman serta makanan ringan seadanya, Bu Nyai menunggu Bapak selesai menjalankan salat Zuhur. Aku yang baru saja menunaikan salat, duduk di tepi ranjang sambil melipat baju ketiga adik angkatku. Letak kamar tidur bersebelahan dengan ruang tamu dan pintunya hanya ditutupi kain usang. Jendela kamar dibiarkan terbuka, sehingga angin semilir meniup kain tipis itu hingga bergoyang pelan memberi celah penglihatanku pada wajah para tamu. Kulihat Bapak keluar dari kamarnya masih lengkap mengenakan sarung dan baju koko yang telah lusuh. Ia meletakkan posisi peci sebelum duduk di kursi. Bapak menatap wajah para tamu satu per satu. Dua tamu pria, Bapak pasti sangat mengenali. Namun, sepertinya ia baru melihat tamu pria satunya untuk pertama kali. "Wa Karni, Pak RT ... tumben berkunjung ke gubuk kami, ada apa ini?" tanya Bapak. Dari kerutan keningnya, aku yakin ia merasa penasaran. "Pak Hamid, ini Tuan Andrew. Beliau dari Malaysia, sengaja datang ke sini karena ada sesuatu yang mau disampaikan." Suara Pak RT memulai pembicaraan. "Selamat siang, Pak Hamid," sapa pria yang disebut Tuan Andrew sopan. Bapak mengangguk ramah seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Tuan Andrew. Sorotnya seperti tengah memperhatikan wajah pria itu lebih lekat, rasa penasaran begitu tampak pada raut wajah Bapak yang teduh dan penuh wibawa. "Mid, maksud kedatangan Tuan Andrew ke sini karena ada hubungannya dengan putri angkatmu, Ayuni." Kali ini suara Wa Karni salah satu kerabat sekaligus tetua di desa kami menyela pembicaraan dengan nada serius. 'Apa hubungannya denganku?' batinku bergejolak. "Ayuni? Maaf, Wa ... saya tidak mengerti maksud Wa Karni," ujar Bapak bingung. "Iya ... setelah berunding dengan saya, Tuan Andrew berniat ingin melamar Ayuni." Deg! Jantungku serasa berlompatan.Melamar? Satu pernyataan yang terkesan sangat cepat atau lebih tepatnya terburu-buru menurutku. Tunggu dulu! Apakah aku pernah bertemu dengan pria bernama Tuan Andrew ini? Kapan dan di mana? Bagaimana mungkin ia dengan seketika menyatakan ingin melamarku? Rasanya aku sama sekali belum pernah berjumpa apalagi berurusan dengan lelaki ini. Rasa penasaran menyeruak dalam pikiranku. Kusibak kain usang yang digunakan sebagai gorden kamar. Mengintip sedikit melalui celah agar bisa melihat jelas seperti apa wajah Tuan Andrew itu. Sayang, ia duduk membelakangi. Dari posisi duduknya dapat kuperkirakan postur tubuh Tuan Andrew lebih tinggi dibanding tinggi pria pada umumnya. "Oh, untuk urusan itu, akan lebih baik jika saya serahkan langsung kepada Ayuni. Saya tidak mau memaksanya dan dia berhak menentukan pilihan ...." Kulihat kepala Wa Karni mengangguk pelan. Melirik sekilas pada pria muda yang duduk di sampingnya. Lalu, suaranya terdengar bergetar. "Mid, kalau Ayuni ada, cobalah panggil dia ke sini. Kami ingin mendengar jawaban secepatnya!" titah Wa Karni. "Baik, Wa ... Bu, tolong panggilkan Ayuni, bapak mau bicara!" "Baik, Pak!" Bu Nyai mengangguk dan segera bergegas untuk menemuiku. Suara langkah kaki terdengar menuju kamarku. Kepala Bu Nyai melongok di depan pintu. Senyumnya mengembang tulus, pertanda kasih sayang penuh seorang ibu. "Ay, Bapak mau bicara sama kamu, Nak ... ayo, ibu temani!" ucapnya pelan. Aku merapikan baju dan mengikuti Bu Nyai menuju ruang tamu. Kesempatan ingin menatap wajah para tamu dari dekat lenyap seketika, kepalaku terasa berat dan sulit terangkat. Berjalan sambil menunduk adalah ciri khas setiap menghadapi situasi tegang yang sulit kuartikan. Bu Nyai menyuruhku duduk di kursi plastik yang diambilnya dari ruang makan. Sementara, ia berdiri di belakang sembari memegang erat kedua bahuku. Melalui tangannya seolah-olah ia sedang menyalurkan rasa percaya diri dan memberi semangat untukku. "Ay, kami membesarkan, merawat, juga mendidikmu dari kecil sesuai yang diamanatkan oleh almarhum kakekmu. Sekarang kamu sudah cukup dewasa, Nak. Jika ada seseorang yang melamarmu, bapak dan ibu hanya memberi restu serta mendoakan yang terbaik untuk masa depanmu. Keputusan apa pun semua ada di tanganmu, Ayuni." Kalimat panjang lebar bapak begitu menyentuh. Aku sangat beruntung dan bersyukur menjadi bagian keluarga kecil Bapak Abdul Hamid, walau hanya sebagai anak angkat. Mereka memperlakukanku sangat baik dan tak pernah membeda-bedakan dengan ketiga anak kandungnya. Hubungan kami pun rukun meski hidup dalam kesederhanaan. "Ay mengerti maksud Bapak dan Wa Karni. Maaf, Ay mendengar perbincangan kalian dari dalam kamar. Ay perlu waktu untuk berpikir dulu. Kalau Bapak tidak keberatan, Ay ingin berbicara empat mata dengan Tuan Andrew." Perlahan aku mengangkat wajah memberanikan diri menatap pada pria yang kumaksud. Pria di depanku memiliki paras campuran. Jika disebut keturunan Melayu, sepertinya kurang tepat. Karena wajahnya berbeda dari pria asli Melayu. Disebut keturunan Chinese pun tidak, karena bentuk matanya biasa saja tidak sipit seperti orang China. Kulitnya bersih dan ia pun memiliki wajah rupawan.  Pria tampan datang melamar gadis kampung sepertiku, membuatku tak percaya diri juga ada rasa curiga. Bukankah, singa bisa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa? Apalagi jika dikaitkan dengan yang namanya cinta. Sebab dalam cinta, kita harus lebih siap untuk tersakiti, karena cinta tidak selamanya akan bersatu dan berakhir bahagia. Seperti dalam sebuah pepatah, "Karena cinta duri menjadi mawar. Karena cinta cuka menjadi anggur yang segar." "Baik ... besok sore, saya tunggu Dik Ayuni di kedai perbatasan desa," sahut Tuan Andrew menyetujui. *** "Ay, ingat apa yang dikatakan bapak tadi siang. Bapak dan ibu tidak akan memaksamu. Jika kamu belum siap menerima lamaran Tuan Andrew, ikhlaskan dia, Nak. Ibu yakin Allah belum memilih jodoh yang terbaik untukmu, Ay." Bu Nyai menasihat saat aku sedang membantunya di dapur. "Jangan lupa nanti malam salat Istikharah. Minta petunjuk sama Allah." "Baik, Bu ... Insya Allah." Cahaya kemerahan menggiring malam bertandang. Menaburkan pengharapan esok pagi yang menjelang. Wangi daun teh semerbak harum dari perkebunan di ujung jalan. Aku rindu tempat itu, gubuk kecil yang biasa kujadikan sebagai persembunyian dari berbagai macam pikiran yang sedang bergelut. Malam merangkak, pikiranku beranjak. Mencari tahu tentang arti pernikahan. Di usia muda, pada umumnya sebagian remaja mengira pernikahan seperti memasuki restoran di mana orang-orang hanya menemukan menu yang enak-enak saja dan sedikit berpikir bahwa pernikahan tidak saja berisi pelukan tapi juga akan ada perkelahian dan persaingan. Semua itu tergantung bagaimana masing-masing pasangan mengimbangi permainan sehingga mampu bertahan dalam satu ikatan. Komitmen, kesetiaan, nafsu, dan cinta adalah bagian dari pernikahan. "Ayuni!" panggilan gaib terdengar melalui celah-celah pepohonan di pinggir kamarku. "Ayuni ...." Aku tersentak saat tubuh jangkung seorang pria berdiri menatapku. Subarja, makhluk yang terkadang menjelma harimau itu memandang lekat dengan kedua tangan menyilang di d**a. Sorot matanya tajam, mengungkapkan perasaan tidak senang. Sepertinya, makhluk itu sudah mengetahui apa yang sedang terjadi tentang kejadian tadi siang. Bagi sebagian orang, mendengar dan melihat penampakan makhluk-makhluk tak kasat mata merupakan sebuah momok yang menakutkan. Namun, bagiku itu hal yang biasa. Sejak kecil aku sudah memiliki indera penglihatan untuk hal-hal mistis bahkan yang tidak bisa diukur nalar manusia. Menurut keterangan dari almarhum kakek, makhluk yang bernama Subarja itu adalah sosok jin pendamping atau biasa disebut dengan 'khodam'. Berbeda dengan penilaian menurut bapak angkatku, Pak Hamid. Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang bisa melihat jin itu karena matanya dimasuki jin dan perlu diruqyah. Menurutnya makhluk itulah yang membisikkan informasi masa lalu kepada anak yang bisa melihat jin atau disebut dengan indigo. Beliau pun menjelaskan jika jin-jin tersebut bisa jadi adalah jin yang menempel dari nenek moyang yang bersangkutan. "Bisa jadi kakekmu dulu berkawan dengan jin, kemudian turun ke anaknya, lalu ke cucunya," kata Pak Hamid, ketika itu. "Ayuni, jangan terima lamaran pria itu!" perintah Barja, berbisik di daun telingaku. "Barja, aku sedang tidak ingin berdebat," ucapku lirih. Kelopak mataku terasa perih, rasa kantuk pun tak dapat kutahan. Makhluk yang ingin berbincang seketika menghilang, meninggalkan keheningan malam diterangi cahaya bulan di atas langit berhiaskan bintang. Tubuh ini harus siap terbangun di sepertiga malam untuk menunaikan salat sunah, sesuai nasihat yang dikatakan Bu Nyai sore tadi. "Ayuni, dulu kakek berutang budi kepada Barja. Ini menyangkut ibumu ketika dia sakit, Barja membantu kakek menjaga ibumu, walau nyawanya tak bisa diselamatkan. Tapi, nyawamu terselamatkan, Nduk!" Baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba, suara alhmarhum Kakek seperti terngiang melalui daun telingaku. Namun, saat hendak bangun, rasanya sangat berat membuka mata. Suara itu begitu jelas, mengingatkan pada kejadian puluhan tahun silam. Saat aku masih kecil dan tinggal bersama almarhum Kakek dan Nenek. "Ayuni Humaira Sabian, nama pemberian almarhumah ibumu, Ay. Ibumu menyukai nama-nama yang indah dan terdengar merdu ketika memanggilnya, termasuk nama kamu." Cerita Nenek waktu itu. "Kata ibumu, nama itu ibarat doa dan harapan, Ay. Melalui doa, kita berharap mendapatkan masa depan yang baik." Aku melihat perempuan muda itu, tersenyum lembut. Tangannya hangat, membelai kedua pipiku. Perempuan yang selalu kurindukan. Dia ibuku, 18 tahun yang lalu berjuang melawan penyakit aneh, bertahan hidup hingga bayi mungil lahir dengan selamat. Sebulan kemudian, ibu meninggalkanku. Tubuhnya kelelahan, Kakek dan Nenek hanya bisa mengikhlaskan. "Ay, udah Subuh. Bangun, Nak!" Suara Bu Nyai seperti sedang berdiri di sampingku. Aku mengerjap, terbangun dari mimpi. Samar-samar, aku mendengar suara seseorang melantunkan ayat suci. Kulirik tubuh Bu Nyai berjalan keluar dari kamarku. Entahlah, apakah itu benar-benar Bu Nyai atau makhluk yang menyerupai wajahnya? Aku melihat jam dinding, waktu sudah hampir pagi. Aku telat bangun, tidak sempat menunaikan salat Tahajud. Segera bangkit dari ranjang, bergegas menuju kamar mandi. Hari ini adalah awal di mana aku akan bertemu dan bertatap muka dengan Tuan Andrew. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook