Balas Budi

1475 Words
"Jadilah orang yang tahu budi, tahu berterimakasih, dan tahu membalas budi." Pria itu duduk di bangku sudut ruangan, di kedai ini menjadi tempat pertemuan. Suasana sepi hanya beberapa pembeli yang datang. Ia mengenakan kemeja putih dengan bagian lengan dipilin hingga siku. Wajahnya tersenyum semringah, seolah-olah ada denyar yang terpancar melalui sorot matanya. "Dik Ayuni, senang bertemu denganmu lagi," sapanya seraya menarik bangku dan mempersilakan aku duduk. "Mau minum apa?" tawarnya. "Tidak perlu repot-repot, Tuan Andrew. Saya harap obrolan kita cuma sebentar ...." "Setidaknya saya akan minta pelayan membawakan air putih." Ia memanggil pelayan kedai untuk membawakan segelas air. Melalui gestur tubuhnya, ia terlihat sedang menutupi kegelisahan dan sedikit canggung. Kuperkirakan usia kami terpaut 20 tahun, tetapi seperti hanya beda 10 tahunan. "Langsung ke inti saja, Tuan Andrew. Apa yang membuat Anda berpikir untuk meminang saya?" tanyaku setelah kami siap berdiskusi. "Sebenarnya saya berat untuk menyatakan niat dari awal. Ini menyangkut masalah komitmen dan kamu tahu saya lelaki dewasa tak pantas melakukan ini kepada gadis sepertimu, Dik Ayuni ...." Ia berhenti sesaat, menghela napas, lalu mengembuskan perlahan sebelum melanjutkan apa yang hendak disampaikan. "Saya yakin kamu gadis pintar dan sangat mudah menebak apa yang saya pikirkan. Benarkan, Dik Ayuni?" "Saya memiliki pemikiran sendiri, tapi saya juga ingin mendengar langsung melalui Anda, Tuan Andrew." "Saya mendengar banyak hal tentang kamu dari Wa Karni dan saya cukup lama bekerja di perusahaan di kota dekat daerah ini. Saya juga sering berkunjung dan sangat tertarik setiap Wa Karni bercerita tentang Dik Ayuni." Aku menatap lekat wajahnya, membaca sesuatu dari yang mampu kulihat. Tampaknya pria ini orang baik dan sepertinya ada luka dalanm yang membekas di hati. Sesuatu yang mengguncang jiwa juga menyurutkan semangat dan kepercayaan dalam dirinya. "Saya telah kehilangan segalanya ... dan saya merasa kesulitan untuk bangkit kembali menghadapi kenyataan. Saya tidak tahu, kenapa saya berpikir bahwa dengan menikahi kamu akan membuat saya berdiri kembali?" "Apa Wa Karni menjanjikan sesuatu kepada Anda, Tuan Andrew?" "Beliau mengatakan bahwa kamu bisa membantu saya melalui jalur instan." "Hmm ... tapi, apa yang Anda pikirkan tidak semudah seperti yang dibayangkan." "Saya mengerti ... Dik Ayuni, saya bukan pria serakah. Saya bisa berbagi denganmu--" "Tuan Andrew, saya tidak butuh materi. Saya cukup mampu bekerja dengan peluh membasahi sekujur tubuh tanpa harus berurusan dengan hal gaib." "Tapi hanya untuk sementara, saya akan membantu meringankan beban keluargamu setelah saya mendapatkan kembali apa yang pernah dimiliki. Saya sangat frustrasi." "Setiap orang pernah mengalami kegagalan Tuan Andrew, bukan hanya Anda. Jangan berpikir saya mau membantu untuk hal-hal sepele seperti ini." "Dik Ayuni, ini bukan masalah yang sepele. Ini menyangkut harga diri saya! Saya mengalami kehancuran dalam karier dan rumah tangga." "Anda masih memiliki harapan, saya yakin semua akan Anda dapatkan tanpa bantuan saya!" "Sayangnya itu tidak semudah seperti yang kamu bayangkan!" sahutnya getir. Aku membaca apa yang ada dalam pikirannya. Ia terlihat sangat putus asa, ada kemarahan terpancar melalui aura wajahnya. Ada sesuatu yang ingin diselesaikan, seperti membalas dendam dengan kebaikan. "Maaf, Tuan Andrew ... sebaiknya obrolan ini kita sudahi. Mohon maaf, saya tidak bisa membantu Anda." Aku beranjak hendak pergi, namun tangannya mencengkram erat dengan penuh permohonan. Refleks, membuatku tersentak atas sikapnya dan aku terpaksa mengikuti kemauannya untuk kembali duduk di kursi, menanti kalimat yang ingin ia ungkapkan. "Dik Ayuni ... Demi Tuhan saya tidak ingin menyakiti kamu. Saya akan memberimu kebebasan, tolonglah!" "Ayuni ...." Tiba-tiba, Wa Karni muncul pada saat yang tidak kuinginkan. "Wa perlu bicara, duduklah!" titahnya. "Almarhum kakekmu dulu selalu berpesan, jadilah orang yang tahu budi, tahu berterimakasih, dan tahu membalas budi. Walaupun kamu dibesarkan dan dididik oleh Hamid, keponakanku. Kamu jangan lupakan nasihat dari Mbah Sabian," sambung Wa Karni seraya mengisap batang rokoknya. Duh. Ucapan Wa Karni seakan-akan menyindirku dengan membawa nama almarhum Kakek. Ya, aku tahu Kakek memang selalu mengajarkan kepada anak dan cucunya untuk tidak melupakan kebaikan seseorang dan harus bisa membalas dengan kebaikan pula. Namun, kalimat yang diucapkan Wa Karni sengaja dijadikan alasan agar aku menerima lamaran Tuan Andrew. "Memangnya ada hubungan apa antara Wa Karni dengan Tuan Andrew? Kenapa saya merasa harus membalas budi dengan orang yang baru saya kenal?" Aku bertanya karena rasa ingin tahu sulit kututupi. "Ayuni, Tuan Andrew telah banyak membantu kita, desa kita, dan hampir semua warga di sini. Sekarang beliau sedang membutuhkan bantuan. Kamu terima saja niat baik Tuan Andrew, itu akan meringankan beban bapak angkatmu." "Tapi saya masih tidak mengerti!" "Ayuni, percayalah pada uwa-mu ini, jangan ragukan lagi, Tuan Andrew pria yang baik dan kamu akan menjadi nyonya!" Wa Karni mengangkat telapak tangan, membayangkan perkataannya. "Saya tidak butuh itu, Wa! Wa sendiri tahu apa yang akan menimpa saya kalau nekat menerima lamarannya." Aku bergegas meninggalkan kedua pria tersebut. Mungkin mereka mengira aku gadis remaja lugu yang mudah diiming-imingi materi. Kalau memang seperti itu, seharusnya dari dulu sudah kulakukan. Langit mendadak mendung setelah aku tiba di rumah. Langsung menuju dapur membantu Bu Nyai memasak menu makan malam. Wanita lembut itu tampak sedang meniup api di bawah tungku yang masih menggunakan kayu bakar. Beliau mengangkat wajah saat melihat kehadiranku. "Bagaimana, Ay? Sudah bicara dengan Tuan Andrew?" tanyanya tenang. "Sudah, Bu Nyai." "Lalu, apa jawabanmu?" Ia tersenyum. Sangat wajar bagiku bila Bu Nyai merasa ingin tahu. "Ay menolaknya ... tapi Ay tidak enak hati dengan Wa Karni, Bu Nyai." "Tidak enak hati bagaimana? Bukankah kamu cuma berbicara empat mata?" "Iya, awalnya Ay hanya menemui Tuan Andrew, tapi Wa Karni tiba-tiba ada di sana sebelum Ay menyudahi pembicaraan ...." "Apa yang dikatakan Wa Karni, Ayuni?" Bapak tak sengaja mendengar perbincangan kami. Ia baru saja tiba dari kebun. Bapak bekerja sebagai buruh di kebun sayur milik salah seorang juragan kaya di desa kami. "Tidak ada, Pak. Wa Karni cuma mengingatkan pesan yang pernah disampaikan oleh Kakek." Raut muka Bapak mengerut, tangannya mengusap wajahnya lembut. Kedua jari mencapit dagunya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia duduk di kursi plastik sambil menyeruput teh manis yang telah disediakan Bu Nyai. "Apa Wa Karni memaksamu untuk menerima lamaran Tuan Andrew?" "Entahlah, Pak. Sulit diartikan, tapi sepertinya beliau memang mendukung pernikahan Ay dengan Tuan Andrew." "Pikirkan baik-baik Ayuni! Ini tentang masa depan kamu, bukan kita, ataupun orang lain," pesan Bapak menegaskan. Di luar hujan turun sangat deras, sejak Magrib, petir terdengar menggelegar. Seluruh lampu penerangan di desa padam. Rumah-rumah hanya mengandalkan cahaya lilin, begitu pun keadaan rumah keluarga angkatku. Setelah waktu Isya, keadaan bertambah sunyi ketiga adik angkatku terlelap di kamar mereka masing-masing. Suara denting air menetes berasal dari genting yang bocor terdengar di ruang makan. Juga kamarku, di dekat jendela air menetes melalui celah-celah genting. Dingin malam menyeruak seisi ruangan, mengingatkanku pada pertemuan dengan Tuan Andrew. Mungkin dalam pikiran lelaki itu, aku adalah gadis remaja yang dingin dan lugu di desa ini. *** "Melamunkan apalagi, Cah Ayu? Apa kamu mau aku masuk ke tubuh kecilmu? Hihihi" Wanita bertubuh ceking dengan telinga dan hidung panjang serta memiliki seringai menakutkan mendekati. "Apa kamu ingin aku merobek mulutmu yang cerewet itu, Masida?" "Ah, kamu bisa saja, Cah Ayu! Mulutku sudah robek, apa gunanya mau kamu robek lagi?" balasnya diselingi suara tawa mengerikan. "Masida, apa kamu pernah merasakan bagaimana menjalani pernikahan?" tanyaku sambil menatap pada makhluk yang mungkin bagi gadis seusiaku akan pingsan seketika saat menjumpainya. "Pernikahan, huh? Aku tidak pernah menikah, karena hatiku sudah terikat. Hihihi ...." "Kalau begitu kamu bukan teman yang tepat untuk kuajak berdiskusi." Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Aku tahu dia akan bereaksi dengan cara mendekatkan wajah tepat di wajahku. Kemudian, menarik selimut dan membuangnya ke lantai. Masida bergelantungan di atas langit-langit kamar dengan posisi tubuh tepat di atas tubuhku yang telentang, menjulurkan kepala dengan lehernya yang panjang dan pasti akan membuat orang biasa bergidik ketakutan. "Cah Ayu, pernikahan itu hanya buang-buang waktu saja untuk gadis secantik kamu. Usiamu masih belia, nikmatilah hidupmu sebelum kamu menua dan kulitmu menjadi keriput, menjijikkan," kikiknya meledek. "Teman-temanku banyak yang menikah di usia muda dan mereka kelihatannya baik-baik saja. Aku pikir menikah itu pasti menyenangkan. Kita bisa memiliki teman hidup sambil berbagi cerita. Pergi ke mana pun ada yang mengantar, didampingi, juga ada teman sekelambu." "Bukankah aku juga bisa menjadi teman seperti itu? Lihatlah kita sekarang!" "Tapi kita berbeda jenis dan tidak mungkin menjadi pasangan kekasih." "Bagaimana dengan Subarja? Dia berlawanan jenis denganmu. Selain itu, dia juga pria tampan menurut golongan bangsa kami." "Mana mungkin dia jadi kekasihku? Lagi pula  aku tidak mau begitu ...." "Cah Ayu ... dia akan marah jika mendengar itu! Kamu tahu, Barja kebanggaan bangsa kami. Dia tangguh, kuat, dan hebat. Sangat disegani, karena dia mampu menaklukkan makhluk-makhluk besar seperti Buto Ijo. Bahkan, urusan pasangan dengan mudah dia bisa memikat dayang-dayang cantik seperti bidadari." "Kamu terlalu berlebihan, Masida, hidungmu akan bertambah panjang jika berkata bohong. Kakekku bilang, Barja mudah ditundukkan. Artinya Barja mempunyai kelemahan. Semua makhluk jika masih memiliki kelemahan, maka tidak pantas disebut makhluk paling hebat." "Lalu, apa yang membuatmu menanyakan tentang pernikahan kepadaku, Cah Ayu?" selidiknya penasaran. "Karena ada seorang pria ingin melamarku." "Kamu menerimanya?" tatapnya serius. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD