BSW Bab 3

1396 Words
“Kalau mau kerja, pergi saja. Biar aku yang nungguin Nadia.” Mara berjalan menghampiri kopernya. Wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi. Berjongkok, Mara membuka koper, lalu mengeluarkan pouch yang berisi alat make up, dan perawatan kulitnya. Wanita itu menoleh saat belum mendapatkan respon setelah beberapa detik terlewat. Mara mendesah melihat Raga ternyata sedang menatap sang istri sambil melamun. Menggelengkan kepala, wanita itu beranjak lalu menghela kaki ke sofa. Sambil mengusap cream kulit ke wajahnya, sesekali bola mata wanita itu bergulir ke arah ranjang. Mara menghembuskan napas. Selesai dengan rutinitas pagi merawat kulit wajahnya, Mara beranjak. Wanita itu menyimpan pouch ke meja di dekat ranjang. Dia belum tahu sampai kapan akan berada di rumah sakit. Kondisi Nadia masih naik turun belum stabil. “Raga,” panggil Mara memecah lamunan pria 33 tahun itu. Raga menoleh dengan dua alis yang mulai bergerak. “Kalau kamu mau kerja, kamu bisa pergi. Biar aku yang nunggu Nadia.” Raga menatap beberapa saat wanita yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu mengatur napas. Hidupnya berubah. Statusnya kini adalah suami dari dua orang istri. “Jangan khawatir. Kalau ada apa-apa sama Nadia, aku akan hubungi kamu. Tinggalkan saja nomor ponselmu.” Mara mendesah lantaran yang Raga lakukan hanya menatapnya. “Jangan menatapku seperti itu. Hati-hati … kamu bisa jatuh cinta.” Mara nyaris tertawa ketika melihat sepasang bola mata Raga membesar, sebelum pria itu langsung beranjak, kemudian melangkah menjauh. Mara memperhatikan pergerakan pria itu sambil menggelengkan kepala. “Nomor ponselku tidak kamu simpan?” “Tidak,” sahut cepat Mara. “Kamu bisa cari di history panggilan. Aku titip istriku sama kamu.” Lalu Raga menarik handel pintu. Tak lama pintu kembali tertutup dari luar. "Astaga ... ada apa dengannya?" Mara tidak habis pikir dengan sikap dingin pria yang kini sudah menjadi suaminya. "Ya ampun ... suami apa seperti itu," gumam Mara. Mara mendengkus. Lagi, wanita itu harus menggelengkan kepala menyadari sikap Raga yang terkesan menjaga jarak darinya. Tidak. Mara sama sekali tidak tersinggung. Baginya, sikap Raga terhadapnya itu normal. Dari dulu pria itu memang selalu menjaga jarak darinya. Oh … mereka memang saling mengenal, tapi tidak bisa dikatakan dekat. Sama sekali tidak. Mara melangkah menghampiri ranjang, lalu duduk di samping Nadia yang masih tertidur. Mara memperhatikan setiap jengkal wajah Nadia yang jauh lebih tirus dari terakhir mereka bertemu—satu tahun lalu. Sebelum keberangkatannya ke Jepang. “Seharusnya kamu tidak meminta suamimu menikahiku, Nad.” Lalu Mara mendesah. “Aku tidak keberatan menemani kamu, merawat kamu. Tidak perlu memaksa Raga. Kasihan dia. Dia pasti tertekan. Harusnya kamu lihat seperti apa saat dia mengucapkan ijab kabul.” Mara bercerita. Mara tersenyum saat melihat kelopak mata Nadia bergerak, lalu beberapa saat kemudian terbuka. “Kamu bangun?” Nadia mengedip. Bola mata wanita itu bergerak. Dia masih hidup. Dia pikir, dia sudah tidak akan bangun lagi. D*da wanita itu tertarik perlahan. Nadia menggerakkan tangan kanan, meraih tangan Mara. Mara mendekatkan telinganya ke mulut Nadia saat melihat bibir sang teman bergerak-gerak. “Kamu … sudah … ni-kah … sama … mas Raga?” Menegakkan tubuh, Mara menatap sang teman. “Sudah. Kamu senang?” tanya balik Mara. Melihat sang teman menarik sepasang sudut bibirnya, Mara berdecak. “Kamu itu aneh. Suami nikah sama perempuan lain, kok malah senang.” Mara menurunkan pandangan mata ketika merasakan remasan lemah di tangannya. Bola mata wanita itu bergerak ke atas hingga kembali bertemu dengan netra Nadia. Dari gerakan bibir Nadia, Mara tahu apa yang wanita itu ucapkan. "Terima kasih.” Mara menggeleng tak percaya. Di saat banyak wanita di luar sana menghalangi suaminya menikahi wanita lain, wanita yang terbaring di ranjang ini justru tersenyum mengetahui sang suami sudah menikah dengan perempuan lain. Entah terbuat dari apa hati Nadia. Disaat dia sakit dan membutuhkan dukungan--cinta yang besar dari suaminya, dia justru memberikan sang suami pada orang lain. Mara menarik napas panjang. Nadia memang berbeda. Mara kembali mendekatkan telinga ketika melihat Nadia kembali ingin bicara. Sang teman masih lemah setelah menjalani kemoterapi. “Aku titip … mas Raga.” Mara langsung menegakkan tubuh kemudian mendelik. “Aku tidak mau. Kamu harus sehat, dan urus suamimu sendiri.” Nadia tersenyum. “Dia juga suamimu,” ucap pelan Nadia hingga membuat sepasang mata Mara membesar. Suara ketukan di pintu membuat Mara menoleh ke belakang. Mara beranjak saat melihat siapa yang masuk. Kening wanita itu mengedip beberapa kali. Mara menganggukkan kepala ketika sosok dengan jubah putih yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Nadia--memutar kepala ke arahnya. Mara tersenyum rikuh. Melihat kernyit di kening sang dokter, Mara pikir--pria yang sempat berada satu lift dengannya itu masih mengingat dirinya. “Pagi, Dok.” Lalu Mara mengalihkan tatapannya. “Sus.” Wanita itu menyapa dua orang perawat yang berjalan di belakang sang dokter. Mara memberikan ruang bagi tiga orang tersebut dengan menarik langkah menjauhi ranjang. Mara memperhatikan saat sang dokter mulai memeriksa Nadia. Wanita memutar kepala saat mendengar ponsel yang ia letakkan di sofa—berdering. Buru-buru Mara mengayun langkah lalu meraih benda tersebut. Melihat siapa yang sedang menghubungi, Mara segera menerima panggilan. “Ya, Ma.” Mara duduk di sofa sambil mendengarkan sang ibu. “Belum. Aku belum tahu. Kondisinya belum membaik.” Mara menjawab pertanyaan sang ibu. Sepasang matanya menatap ke arah ranjang. “Aku akan memberitahu Mama nanti. Sekarang sedang ada dokter di sini. Aku tutup dulu ya, Ma?” Mara mematikan sambungan setelah sang ibu meng ‘iya’ kan. Masih dengan memegang ponselnya, Mara beranjak lalu melangkah kembali mendekati ranjang. “Bagaimana kondisi Nadia, Dok?” tanya Mara ingin tahu. Mara menghembuskan napas lega saat melihat kepala sang dokter bergerak turun naik. “Dia masih berjuang. Buat dia bahagia. Pastikan dia selalu optimis.” Mulut Mara terbuka. Mengedip setelah memahami perkataan sang dokter, Mara menutup sepasang bibirnya. Wanita tersebut buru-buru kembali membuka sepasang bibir ketika melihat pergerakan sang dokter yang akan meninggalkan Nadia. “Dok, apa boleh saya bawa Nadia keluar? Mungkin dia bosan di dalam ruangan terus.” “Tentu saja boleh. Suaminya biasa bawa dia ke taman.” “Oh … baiklah.” Mara menggerakkan kepalanya turun naik. Raga tidak memberitahu apa yang biasa pria itu lakukan. “Kamu … saudara pasien?” Mara meringis. “Saya … um, sahabatnya, Dok.” Tidak mungkin dia mengatakan statusnya sebagai madu si pasien. Aneh sekali. Sang dokter mengangguk-angguk. “Kemarin kita bertemu.” “Benar." Mara tersenyum. "Terima kasih sudah menunggu saya waktu itu.” Melihat kemana arah tatapan mata sang dokter, Mara kembali bersuara. “Kemarin saya langsung ke sini dari bandara.” “Liburan?” tanya sang dokter yang sudah mengalihkan tatapan dari koper besar di sudut ruangan. “Kerja, Dok.” Dua orang yang sedang berbicara itu tidak tahu jika tiga orang lainnya yang berada di dalam ruangan tersebut, menatap dengan kernyit di dahi. Terutama Nadia. Wanita yang masih tergeletak di atas ranjang tersebut menatap tidak suka sang dokter. Apalagi saat melihat pria itu tersenyum pada Mara. “Jepang? Wah … bisa dong jadi tour guide kalau saya mau jalan-jalan ke sana.” Mara tertawa. “Boleh … boleh, Dok. Yang penting dokter bantu sahabat saya sembuh. Biaya tour guidenya gratis,” kata Mara bersemangat. Sang dokter ikut tertawa. “Sepertinya menyenangkan.” Lalu sebelah tangan pria itu masuk ke salah satu kantong snelli, dan keluar dengan membawa ponsel. “Tulis nomor ponselmu.” “Hah?” Mara menatap sang dokter lalu menurunkan pandangan mata ke arah ponsel yang terulur di depannya. “Banyak yang ingin saya tahu tentang Jepang.” “Oh … oke oke.” Paham keinginan sang dokter, Mara meraih ponsel yang terulur di depannya--setelah menyimpan ponselnya sendiri ke dalam saku celana kulot yang dikenakan. Beberapa saat jari Mara bergerak menggulir ponsel, kemudian menekan-nekan. Mengangkat kepala, wanita itu tersenyum sambil mengembalikan ponsel pada sang pemilik. “Sudah.” Sang dokter menerima, lalu memeriksa. Kening pria itu mengernyit. “Asmara?” “Iya … itu nama saya. Tapi, panggil Mara saja.” Mara tersentak saat mendengar suara ponselnya. “Itu nomor saya. Disimpan, ya?” Sang dokter tersenyum sebelum detik berikutnya memutar tubuh, lalu mengayun langkah meninggalkan ruang rawat Nadia. Mara mengikuti pergerakan tiga orang tenaga medis rumah sakit tersebut hingga kemudian tak lagi terlihat--setelah pintu tertutup dari luar. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Menurunkan pandangan, Mara kemudian menggulir layar ponsel lalu terlihat sibuk beberapa saat. "Ingat Mara, kamu sudah punya suami." Dengan lemah Nadia bersuara. "Jangan terlalu dekat dengan pria lain."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD