BSW Bab 2

1301 Words
Mara syok mendengar apa yang baru saja ibu Nadia sampaikan. Mulut wanita itu terbuka dengan mata membesar. “Tante mohon. Biarkan Nadia pergi dengan tenang karena tahu jika suaminya sudah berada di tangan perempuan yang dia pilih.” Ibu Nadia tidak kuasa membendung air matanya. Bulir-bulir bening itu kembali turun. Sementara Raga sudah mengalihkan tatapan matanya. Dad*nya bergejolak. Dia ingin sekali menolak keinginan sang istri. Namun, mengingat kata-kata Nadia--dia tak kuasa mengatakan tidak. “Mas … aku akan tenang kalau kamu nikah sama Mara. Bukan yang lain.” Raga membuka mulut--membulatkan untuk mengeluarkan karbondioksida. D*danya terasa begitu sesak. Tanpa sadar tangan pria itu sudah terkepal kuat. Dua orang yang berdiri duduk di sofa--di sisi lain ruang rawat tersebut, berulang kali memperhatikan benda pengingat waktu yang melingkari pergelangan tangan mereka. Sesekali mereka mendesah karena mereka akan terlambat tiba di pernikahan yang lain. “Ma … Ra.” Meskipun suara itu terdengar lemah, namun semua orang di dalam ruangan yang hening tersebut mendengarnya. Raga memutar kepala, lalu berderap menghampiri ranjang. “Nad … Sayang. Kamu bangun?” tanya Raga sambil menatap sang istri yang ternyata sudah membuka kelopak matanya. “Mara.” Mara menganggukkan kepala sambil memaksa kedua sudut bibirnya terangkat. “Hmm ….” Menahan isak agar tidak keluar dari sepasang bibirnya, Mara hanya menggumam. “Kamu … da-tang.” “Jangan banyak bicara dulu, Sayang.” Raga duduk di sisi ranjang terdekat kepala sang istri lalu mengusap pelan bulir keringat yang muncul di kening istrinya. Nadia menggelengkan kepala. Satu tangannya bergerak melepas alat bantu pernapasannya. Kepala wanita itu menggeleng ketika melihat Raga berniat menahannya. Dengan napas yang sulit terhela, Nadia berkata. “A-ku … ing-in … me-lihat … ka-kalian … men-nikah.” Mara kehilangan kata-kata. Wanita yang belum lama tiba itu tak kuasa melihat tatapan memohon sang sahabat. Mara menurunkan pandangan mata saat merasakan remasan di tangannya. “Ma-ra … kabul-kan … per-min-taan-ku.” Nadia membuka mulut lebih lebar ketika merasa semakin sulit bernapas. Melihat sang istri mulai kesulitan menarik oksigen, Raga buru-buru meraih kembali alat bantu bernapas sang istri lalu memasangnya--hingga Nadia kemudian bisa bernapas dengan lebih teratur. Lalu semua berjalan cepat. Mara tidak punya kesempatan untuk menolak. Dua orang dengan setelan jas hitam--yang berada di dalam ruangan tersebut ternyata adalah para petugas dari kantor urusan agama. Nadia tidak memberinya pilihan selain menjalankan permintaan wanita itu. Dan yang membuat Mara semakin tercengang adalah kedua orang tuanya yang datang tak lama kemudian. Seolah semua orang sudah tahu kecuali dirinya. Hanya orang tua yang tidak terlihat karena keduanya sedang berada di tanah suci untuk menjalankan ibadah umroh. Itu yang sempat Mara dengar dari ibu Nadia. Sungguh, Mara tidak pernah menyangka jika kedatangannya kembali ke tanah air adalah untuk merubah statusnya di KTP. Dari belum kawin menjadi kawin. Mara menatap kosong ke arah ranjang. “Saya terima nikah dan kawinnya Asmara Wulandari binta Ahmad Sholeh dengan mas kawin berupa uang sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.” “Sah?” “SAH!” Suara para saksi terdengar bersamaan. Mereka adalah para perawat pria yang Raga minta pertolongan. Mara tertegun di tempatnya duduk. Sepasang bibirnya terkunci rapat. Telinganya berdengung. Wanita itu mengerjap saat satu buah buku kecil yang sudah terbuka--disodorkan ke depannya. “Karena belum ada fotonya, jadi besok tolong disusulkan ke KUA ya, Mas? Jangan lupa juga persyaratan yang lain. Kami membantu mengingat permintaan dari mbak Nadia yang kondisinya kritis.” salah satu petugas KUA berbicara pada Raga. Raga menganggukkan kepala. Tangan yang tersembunyi di bawah meja—setelah menandatangani buku nikah dan beberapa berkas, teremas perlahan. Katupan sepasang rahang pria itu mengeras. Sementara itu, di atas ranjangnya--Nadia menghembuskan napas lega. Satu bulir air mata turun dari sudut mata wanita tersebut. Napas wanita itu tersengal. Bola matanya bergulir—memperhatikan sang suami yang duduk bersebelahan dengan sahabat baiknya. 'Aku kembalikan dia padamu,' batin Nadia bersamaan dengan bulir lain turun dari kedua matanya. Mara menoleh saat merasakan usapan tangan lembut di bahunya. Mara melihat ibunya menangis. Wanita itu meraup oksigen sebanyak mungkin. Mara memegang tangan sang ibu di pundaknya. “Baik. Kami harus pergi sekarang. Kami tunggu kelengkapan berkasnya di kantor.” Dua orang petugas KUA itu berpamitan. Keduanya beranjak lalu melangkah cepat meninggalkan ruang rawat tersebut. Mereka sudah terlambat menikahkan pasangan lain--lantaran pernikahan dadakan yang harus disegerakan mengingat seseorang dalam keadaan kritis. Raga bergegas berdiri lalu menghampiri sang istri di ranjang. Ibu mertuanya duduk menemani istrinya. Raga meraih tangan sang istri lalu menggenggamnya erat. Pria itu mendorong punggung ke depan. Raga mengecup kening istrinya sambil berbisik. “Aku sudah mengikuti keinginanmu. Sekarang, berjuanglah untuk sembuh. Aku tidak mau kehilangan kamu.” Lalu pria itu kembali mengecup kening istrinya. Raga menghembuskan napas panjang ketika melihat bekas air mata sang istri. Dengan lembut pria itu mengusapnya. Di tempatnya duduk, Mara memperhatikan. Wanita itu mengusap kedua mata yang sudah basah. Demi Tuhan … dia memilih untuk bisa melihat Nadia kembali sehat. Lebih memilih mendengar omelan wanita itu saat dia melakukan sesuatu yang menurutnya salah. Mara menarik napas dalam. Dua tangan wanita itu kembali terangkat mengusap cairan yang dengan cepat terproduksi lalu turun dari sudut-sudut mata. Menoleh, Mara memeluk sang ibu yang sudah menggantikan posisi Raga di sampingnya. “Kamu sudah melakukan hal yang benar. Setidaknya, Nadia sekarang bisa tenang.” “Aku ingin dia sembuh, Ma.” Ibu Mara menganggukkan kepala. “Kita doakan dia sembuh.” Wanita itu mengusap pelan kepala sang putri. Dirinya sendiri terkejut saat mengetahui jika suaminya menerima telepon dari suami sahabat putrinya--yang meminta izin untuk menikahi Mara. Jika bukan karena kondisi Nadia, dia tidak akan pernah membiarkan sang putri menjadi istri kedua. Dia mengenal baik sahabat putrinya tersebut. Wanita itu kemudian menepuk-nepuk punggung sang putri. Entah takdir apa yang ada di depan putrinya. Dia hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan kebahagiaan pada sang putri. *** Hari itu, Mara tidak pulang ke rumah orang tuanya. Mara memilih menunggu Nadia di rumah sakit. Kedua orang tuanya sudah pulang. “Biar aku yang memandikan Nadia, Sus.” Mara menahan dua orang perawat yang masuk ke dalam ruang rawat Nadia dengan mendorong troli besi berisi air hangat dan juga peralatan mandi. Dua perawat tersebut menoleh. “Saya pernah menjadi sukarelawan di rumah sakit. Saya tahu bagaimana cara memandikan pasien.” “Oh … baiklah.” Sang perawat mengangguk sambil tersenyum. “Beritahu saja kalau sudah selesai. Nanti kami ambil perkakasnya.” Dua perawat itu kemudian berpamitan, lalu kembali melangkah keluar ruang rawat. “Biar Tante bantu.” “Tidak usah, Tante. Tante pasti lelah. Istirahat saja. Biar aku yang urus Nadia.” “Aku akan keluar sebentar.” Raga menyela. Melihat anggukan kepala ibu mertuanya, pria itu melangkah menjauh menuju pintu, lalu tak lama terdengar pintu terbuka lalu tertutup lagi. “Tante, tolong kunci pintunya. Takutnya nanti ada dokter masuk waktu aku belum selesai membersihkan tubuh Nadia.” Ibu Nadia tersenyum kecil lalu mengangguk. Wanita yang usianya sudah mendekati 60 tahun itu kemudian menuruti permintaan Mara. Mara mendorong troli ke samping ranjang. Wanita itu menarik ke atas lengan kemeja yang dipakainya, lalu memakai sarung tangan. Setelahnya, Mara yang memang pernah bekerja di rumah sakit sebagai tenaga sukarela itu—terlihat begitu cekatan mengurus Nadia yang sudah kembali tertidur. Dengan hati-hati Nadia membersihkan setiap jengkal tubuh sahabatnya. “Kulitmu bagus, bersih,” kata pelan Mara sambil mengusap punggung sang sahabat. Aku akan menunggumu bangun, lalu kita bisa saling bantu menggosok punggung.” “Kamu tahu, Nad? Aku sebenarnya belum ingin kembali ke sini. Kalau bukan karena kamu. Aku ingin marah, tapi, kamu tahu kalau aku tidak mungkin bisa marah sama kamu.” Mara mendesah. Tangan wanita itu masih bergerak membersihkan jengkal demi jengkal tubuh sahabatnya. “Aku tidak pernah berpikir akan menjadi istri kedua.” Kepala Mara menggeleng. “Jadi madu sahabatku sendiri. Kamu memang luar biasa, Nad. Sekarang kamu harus tanggung jawab. Kamu harus sehat kembali dan biarkan aku membalas kelakuanmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD