2. Pertemuan Pertama

1488 Words
Tujuh bulan yang lalu…   Hampir dua tahun Carlos tidak menginjakkan kaki ditempat haram ini pasca ia putus dengan kekasihnya, tapi kali ini ia menginjakkan kakinya ditempat ini kembali atas ajakan anak boss besarnya, Millian. Jika lelaki yang lebih muda enam tahun darinya itu bukan boss nya sekarang, ia tak akan mau menemaninya ketempat ini. Tapi karena dia yang memiliki kendali, jadilah ia menuruti saja.   “Carl apa kau belum berniat kembali ke rumahmu?” tanya Millian “Aku muak hidup begini.”   Selalu pertanyaan itu yang Millian ajukan. Padahal, jangankan untuk pulang, melihat bentukan rumahnya saja ia sangat enggan. Malas dengan kenyataan keluarganya yang harus ia hadapi.   Carlos hanya diam saat mendengarkan cerita Millian. Ia tidak memberi reaksi apapun terlebih saat tatapannya terkunci pada sosok mungil yang mengenakan rok hitam diatas lutut dipadukan dengan kemeja berwarna putih. Pertanda bahwa dirinya seorang pelayan ditempat ini. Perempuan mungil yang tampak sangat manis dan juga sangat menggemaskan.   Carlos semakin mengamati perempuan itu dengan lekat, meski tanpa memberikan reaksi apapun. Ketika Carlos masih menatap perempuan itu, tanpa sengaja pandangan mereka saling bertemu.   Dia ...   Carlos menyeringai, penuh kemenangan.   I got you ... Sabrina.   Sepertinya tak sia-sia ia mengikuti permintaan Millian untuk menemaninya ketempat kotor ini. Ia justru kini serasa mendapatkan keuntungan yang sangat besar.   Carlos tersenyum tipis, sebelum melirik Millian sekilas. “Tapi Milllian, aku pikir kau memang tidak bisa jauh dari harta kekayaanmu. Kau terlahir dengan sendok emas di mulutmu.” Ujar Carlos begitu Millian selesai bercerita.    “Kau berlebihan Carl.”   “Aku berbicara fakta. Sebaiknya terima saja, daripada kau jadi gelandangan.” Ujar Carlos sebelum menenggak kembali wine ditangannya.   “Kau ini sebenarnya orangku atau orangtuaku?” Desis Millian membuat Carlos mengedikkan bahunya.   “Tergantung, siapa yang membayarku?”   Rahang Carlos mendadak mengeras, tatapannya bahkan menatap tajam pada satu titik, begitu nyalang dan terlihat sangat marah. Disana ... tak jauh dari pandangannya ia melihat seorang lelaki tua menyentuh paha perempuan itu dengan tangan kurang ajarnya. Sedetik kemudian dengan langkah lebarnya, Carlos mendekati lelaki tua itu, lalu dengan pergerakan cepat ia menepis kasar lengan itu, ia bahkan menghempaskannya dengan keras.   “Singkirkan tanganmu Sir.”   Lelaki tua itu tertawa pelan seraya menatap Carlos dengan tatapan remeh. “Cari mangsamu sendiri anak muda. Dia milikku.”   “Mangsa?” Carlos mengeluarkan seringaiannya, sesaat kemudian menatap lelaki paruh baya itu dengan tajam. “Dia manusia Sir dan manusia yang kau anggap mangsa itu, milikku.”   “Jangan kurang ajar. Dia sudah membayarnya.” Seorang wanita datang diantara mereka, dia Madam Eve, pemilik tempat itu.   “Aku akan membayar sepuluh kali lipat.” Ucap Carlos dengan penuh tekanan. “Bagaimana? Masih tak mau?” tanya Carlos diiringi dengan tatapan dinginnya.   Senyuman lebar Madam Eve berikan pada Carlos. Ia merasa puas dengan penawaran lelaki itu. “Tentu saja kau boleh bersamanya anak muda, kau bisa bersamanya sepanjang malam.”   “HEY! Aku sudah membayar!”   Carlos menatap perempuan disampingnya itu yang kini tampak sangat ketakutan. Kemudian ia menatap wanita paruh baya itu lagi.   “Sir di tempat ini, yang membayar lebih besar akan mendapatkan yang dia inginkan. Kau mengerti?” Madam Eve menyeringai. Ia kemudian mengalihkan pandangan pada Carlos. “Kau bisa pergi ke tempat VIP anak muda. Dan ... Sabrina. Pastikan layani tamu kita dengan baik.”   Setelah mendengar  itu, tanpa banyak bicara lagi Carlos meraih tangan mungil perempuan yang bernama Sabrina itu lalu menariknya pergi, menjauhi tempat itu.   Carlos membuka salah satu pintu kamar yang berada di ujung lorong itu kemudian memasukinya dengan menarik paksa Sabrina. Setelah itu ia mengunci ruangan tersebut, kemudian menyudutkan perempuan itu pada pintu. Ketika ia melangkah semakin dekat, Perempuan itu semakin menyudutkan diri, ketika Carlos semakin mendekatkan diri lagi, perempuan itu semakin menempelkan dirinya pada pintu.   Carlos menyeringai kemudian menarik dirinya menjauh. Carlos mendudukkan diri di atas sofa lalu melirik Sabrina. Carlos kembali menyeringai saat melihat perempuan itu tampak menghembuskan nafas pelan.   “Duduklah.” Ucap Carlos. “Aku tidak akan melakukan apapun jika itu yang kau takutkan, Sabrina.”   “Ya ... Sir.”   “Aku Carlos.”   “Aku akan tetap memanggilmu begini Sir.”   Carlos mendesis. “Terserah.” Ujarnya lagi sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi seraya memejamkan mata.   “Sir... apa yang harus aku lakukan?”   Carlos membuka matanya lagi, “Temani aku tidur. Tentu saja.”   “T... tapi Sir.”   Carlos menghembuskan nafas perlahan lalu merebahkan kepalanya dipangkuan perempuan itu. “Jangan kemanapun sampai aku bangun.”   “J ... jadi ini?”   Carlos menatap wajah manis Sabrina yang masih ketakutan itu. “Memang apa yang kau pikirkan?”   Semburat merah muncul dikedua pipi Sabrina. Membuat Carlos menarik ujung bibirnya, sedikitnya ia mengerti dengan arah pikiran perempuan dihadapannya itu. Menggemaskan. Pikirnya.   “T ... tidak Sir. Kau boleh tidur.”   “Good.”   ---   Begitulah pertemuan pertama Carlos dengan Sabrina yang tidak pernah Carlos duga sama sekali.   “Puas melihat wajahku?” Tanya Carlos saat merasakan belaian diwajahnya. Ia membuka mata, mendapati wajah manis Sabrina yang mengeluarkan semburat merah, dengan mata yang membulat terkejut.   “Sejak kapan kau bangun Sir?”   Carlos menegakkan dirinya. “Sejak merasakan kau dengan beraninya menyentuh wajahku.”   Sabrina menciut, ia menundukkan kepalanya. Tak berani menatap wajah dingin itu. “Maafkan aku, Sir.”   Carlos terkekeh pelan. “Tak masalah. Aku tau, aku memang tampan.”   Sabrina mendesis pelan sebagai balasan. Lelaki itu memang terkadang sangat narsis, di balik wajah datar dan dinginnya itu.   Carlos mengabaikan hal itu, ia justru mengamati arloji ditangan kanannya beberapa saat. “Sudah saatnya kau pulang.”   “Iya ... .”   “Berkemaslah, aku menunggumu diparkiran.” Ucap Carlos yang hanya diangguki oleh Sabrina.   ***   “Aku dengar akan ada pelelangan minggu depan. Rasanya aku ingin melarikan diri saja. Aku takut mendapatkan seseorang dengan kink yang aneh. Kau tau, senior kita dulu kan? Sampai masuk rumah sakit karena kink yang aneh dari pelanggan yang memenangkannya itu.”   Sabrina berusaha mengabaikan perkataan-perkataan rekannya itu, ia justru dengan santai masuk keruang ganti, untuk mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian yang sebelumnya ia kenakan. Saat dirinya keluar, rekan-rekannya itu masih membicarakan hal yang sama.   “Bagaimana menurutmu Sabrina?”   Sabrina mengerutkan keningnya. “Apa?”   “Tentang pelelangan itu. Ah ... aku lupa sejak kau disini belum ada pelelangan, bukan?”   “Lelang apa maksudnya?”   “Semua pegawai yang ada ditempat ini, tentu saja.”   “Termasuk pelayan?”   “Semua.” Jawab rekannya yang lain dengan penuh tekanan. “Tapi kau enak Sabrina, tak perlu khawatir dengan pelelangan. Lelaki itu pasti akan berusaha mendapatkanmu. Aku rasa dia sangat kaya raya, dan akan dengan sangat mudah mendapatkanmu.”   “Lelaki? Tunggu. Maksudnya ... kita semua benar-benar dilelang?”   “Ya ... dan kau harus menemani orang yang memenangkan lelang atas dirimu itu selama satu minggu penuh.” Ujar rekannya. “Melayaninya ... tanpa terkecuali.”   Deg!   Tanpa terkecuali?   Perasaan Sabrina mendadak buruk. Membayangkan kemungkinan ‘tanpa kecuali’ yang teman-temannya maksud itu.   Sabrina membasahi bibirnya. Apakah itu termasuk melayani di tempat tidur? s*x?   “T... tapi aku ... aku bekerja disini bukan untuk itu.”   “Kau salah tempat Sabrina. Seharusnya kau cari tahu dulu sebelum bekerja disini.” Rekannya itu menghela nafas. “Apalagi kau orang baru yang akan mereka anggap barang baru, apalagi kau tidak pernah tersentuh. Mereka pasti akan menghargaimu dengan sangat mahal.”   Deg!   Apa katanya?   Sabrina melangkahkan kakinya dengan lebar. “Mau kemana Sabrina?”   “Aku harus berbicara pada Madam Eve.”   “Dia sudah pulang, kau bisa berbicara dengannya besok.”   Sabrina membasahi bibirnya. Takut. Bagaimanapun ia bekerja disini bukan untuk hal itu. Tapi mengapa ia justru akhirnya terjerumus juga? Padahal ia pikir Madam Eve sangat baik. Nyatanya ... .   Tenang Sabrina, tenang. Kau belum tentu masuk didaftar pelelangan. Ujarnya dalam hati. Madam Eve tidak akan sejahat itu kepadanya bukan?   “Jika ingin mengecek kau di lelang atau tidak, besok kau bisa cek. Nanti situsnya aku kirimkan.” Seru rekan Sabrina sebelum perempuan itu benar-benar meninggalkan ruangan tempat ganti pakaian.   Pikiran Sabrina masih mengambang, masih memikirkan nasibnya yang tidak jelas. Bagaimana jika besok namanya terpampang di sana? Bagaimana jika ia benar-benar di lelang?   “Sabrina.”   Perempuan itu mendongak, menatap Carlos yang melambaikan tangan seraya bersandar pada mobil mewahnya. Di depan Carlos juga sudah terdapat satu buah kendaraan lain yang selalu mengantarkannya pulang. Sebuah taksi yang menjadi langganannya akhir-akhir ini.   “Sabrina.” Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian tersenyum tipis seraya melangkah, mendekat pada lelaki itu.   Haruskah ia bercerita pada Carlos tentang pelelangan itu?   Tapi Carlos akan melakukan perjalanan bisnis. Ia tidak mungkin mengganggunya hanya karena dirinya yang sebenarnya belum tentu masuk dalam daftar pelelangan atau tidak.   Sabrina meneguk ludahnya dengan kasar. “Sir ... .”   “Ada apa?” tanya Carlos.   Tidak Sabrina, tidak. Jangan ceritakan. Carlos sudah berkorban terlalu banyak untukmu.   Sabrina menggeleng pelan kemudian tersenyum. “Aku pulang sekarang.” Pamitnya.   Carlos mengangguk. “Hubungi aku jika terjadi sesuatu.” Pesan Carlos yang segera diangguki oleh perempuan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD