3. Perang Batin

1588 Words
Pukul enam pagi Sabrina telah terjaga, tidur yang hanya tiga jam tidak menghalangi dirinya untuk memulai hari kembali. Pagi itu, seperti biasa ia harus kerja ditempat lain sebagai pelayan disebuah café. Lagi-lagi pelayan, tapi setidaknya ditempat itu terasa lebih baik daripada pekerjaan malamnya. Ya ... meskipun bayaran yang ia dapatkan jauh lebih rendah.   Sabrina berdiri dihadapan sebuah bingkai foto, foto keluarganya. Satu-satunya foto keluarga yang ia miliki, ia memejamkan mata dengan kedua tangan yang mengatup. “Ayah, Ibu, Adik. Semoga kalian selalu bahagia disana, begitupun aku disini. Semoga hari-hariku akan lebih baik lagi. Amin.”   Sabrina memandangi foto keluarga itu untuk kesekian kalinya. Ayah dan Ibunya telah lama pergi, meninggal akibat pembunuhan yang hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai otak pelakunya. Sementara sang adik, meninggal lebih dari satu tahun lalu karena penyakit yang dideritanya sejak lahir. Sabrina kembali tersenyum sebelum memutuskan beranjak meninggalkan flat sederhananya.   “Sabrina, mau berangkat lagi?” tanya Thalia, salah satu tetangga sekaligus temannya.   “Seperti biasa, aku akan ke café.” Jawabnya. “Hm Thalia—tentang kasus orangtuaku.”   “Ah itu. Temanku belum menemukan titik terang Sabrina. Katanya, semua petunjuknya benar-benar tertutup seolah sengaja ditutupi.” Perempuan itu mendekatinya seraya mengelus lengan kanannya sesaat. “Maafkan aku, tapi aku berjanji akan terus membantu.”   Sabrina mengulas senyumannya. “Tidak masalah Thalia, kau tidak perlu meminta maaf. Seharusnya aku sangat berterimakasih karena kau mau membantuku.”   Thalia terkekeh pelan. “Tak masalah Sabrina, kita bernasib sama. Kau ingatkan? Hanya saja, aku belum tau nasib adikku yang sebenarnya.”   “Semoga lekas mendapatkan kabar Thalia, aku berharap adikmu masih hidup dan kau segera bertemu dengan adikmu.” Ujar Sabrina   Perempuan itu mengangguk. “Aku juga berharap kau segera menemukan titik terang tentang kasus orangtuamu.” Dia tersenyum sekilas. “Yasudah, sampai nanti Sabrina. Aku juga harus bersiap dan segera berangkat kerja. Sampai bertemu nanti.”   Sabrina bergumam seraya melambaikan tangannya. Setelah itu ia menghela nafas panjang sebelum benar-benar beranjak, meninggalkan flat sederhana itu. Sudah hampir sepuluh tahun, tapi kasus itu tidak juga mendapatkan titik terang. Memang benar, kasusnya seolah ditutupi dengan baik. Mungkin sengaja ditutup oleh si pelaku?   Pertanyaannya. Siapa pelaku yang membunuh orangtuanya itu?   ***   “Selamat datang di café kami.”   Sabrina menebar senyuman manisnya. Wajah ceria dan ramah itu bahkan seolah tak lelah ia tunjukkan pada setiap orang yang masuk dan keluar dari café tersebut. Selalu terus menyapa, menyambut dengan senyuman hangat yang mampu membuat setiap pelanggan yang datang ikut tersenyum pula karena sikap ceria perempuan itu.   “Sabrina, giliranmu beristirahat.” Tegur pemilik café itu.   “Sebentar Mrs. Samantha.” Ucap Sabrina, kemudian menyapa pada para pelanggan yang kembali bermunculan. Langkah lebarnya terlihat begitu gesit, pergerakannya benar-benar cepat dan terkendali. Seolah Sabrina memang telah terlatih untuk bekerja secara cepat.   Waktu makan siang memang telah tiba, itulah alasan kenapa pengunjung semakin banyak. Ia sendiri sudah merasakan perutnya berbunyi meminta diisi, namun ia menahannya sedikit lebih lama demi melayani pelanggan dengan baik. Ia yang memberikan setiap menu, ia mengambilnya dan ia juga yang memberikan nampan berisi makanan keatas meja setiap pelanggan. Meskipun sebenarnya tak hanya ia saja, tetapi dengan jumlah pelanggan banyak tentu saja membuat dirinya kewalahan juga.   “Sabrina. Waktunya makan siang dan istirahat.”   “Sekarang.” Tegas pemilik café sebelum Sabrina kembali membantah.   Sabrina memberikan senyuman terbaik pada para pelanggan café tersebut kemudian beranjak memasuki ruangan khusus pegawai. Disana sudah tak ada siapapun, karena mungkin pegawai lain telah selesai menyantap makan siang.   Sabrina meraih ponselnya yang ia letakkan didalam loker. Benar saja ada beberapa pesan masuk. Dari rekan kerjanya di club malam dan juga pesan lain dengan kalimat ‘Ini Carlos’ dibagian top-up nya.   Senyuman diwajah rupawan Sabrina kembali mengembang melihat kalimat itu. Ia tak menduga Calos akan benar-benar menghubunginya. Namun senyuman itu seketika sirna begitu membaca pesan lain.   ---   Sabrina… lihat link yang aku kirimkan. Ada namamu dalam daftar lelang.   ---   Deg!   Apa katanya? Ia berada di daftar lelang?   “Ini gila.” Umpat Sabrina begitu melihat namanya benar-benar tertera disana. Setelah melihatnya beberapa kali dengan seksama, memastikan bahwa nama yang tertera benar-benar namanya, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi si pemilik club tersebut.   ---   “Hallo Sabrina. Ada apa cantik?” Pertanyaan manis seolah tanpa dosa itu yang pertama kali Sabrina dengar. Membuat kedua tangan perempuan itu mengepal dengan sangat erat.   “Kenapa namaku ada di daftar lelang?” tanya Sabrina setengah menggeram.   “Ah kau sudah tau, baguslah. Aku jadi tak perlu repot-repot memberitahumu.”   Rasanya, ingin sekali ia menangis. Bagaimana mungkin dia setega itu padanya? Padahal sejak awal ia sudah mengatakan bahwa, ia akan bekerja sebagai pelayan. Tidak dengan menjajakkan dirinya.   Akhirnya dengan setengah menggeram menahan marah, Sabrina mulai berujar lagi. “Madam Eve, tapi kenapa? Aku sudah katakan jika aku hanya ingin bekerja sebagai pelayan. Aku tidak menjajakkan diriku.”   Tawa terdengar dari sebrang sana. “Sabrina, Sabrina. Jika tidak melakukan itu, bagaimana kau akan melunasi utangmu padaku beserta bunganya? Kau tau, bahkan dengan lelang satu kali belum tentu kau bisa langsung melunasi utangmu itu.”   “Aku. Akan. Membayarnya!” tegas Sabrina dengan penuh penekanan.   “Kau yakin? Sabrina. kau tau utangmu dan bunganya sekarang berapa? Lima juta dollar. Kau sanggup membayarnya sekarang juga?”   Gigi Sabrina mulai mengerutuk, menahan ledakan amarahnya. “Madam! Kau memotong gajiku tiap bulan dan utangku tetap bertambah? Kau gila! Dasar lintah darat.”   “Sabrina dengar, kenapa kau harus takut? Kau punya Carlos. Dia pasti akan membelimu dengan harga tinggi. Tak perlu khawatir.”   Sabrina mendesis. “Jadi kau sengaja memanfaatkannya?”   “Siapa yang tidak akan memanfaatkan sumber air saat kemarau Sabrina? jangan bodoh.”   “Madam. Kau!”   “Apalagi? Kau tak ada hak untuk membantah Sabrina. dan ... jika kau berusaha melarikan diri, utangmu akan menjadi dua kali lipat. Jangan macam-macam, karena sampai  ke penjuru duniapun aku akan memburumu.” Ancamnya seraya mengakhiri panggilan itu.   ---   “Pergi saja kau ke neraka!” teriak Sabrina dengan nafas terengah, mengatur amarah yang akhirnya meledak tanpa bisa ia tahan lagi.   Perempuan itu kini menatap ponselnya marah, matanya bahkan kini memerah menahan tangis dan juga amarah yang bertumpuk. Rahangnya mengatup keras disertai gemerutukan giginya menahan amarah yang siap meledak untuk kedua kalinya. Sungguh ia tak pernah menduga sedikitpun akan terjerumus sejauh itu. Ia pikir ia bisa lepas dengan sangat mudahnya dari wanita laknat itu. Tapi ternyata ia semakin terjerat. Seharusnya dulu ia tak sebodoh itu dengan langsung menerima tawaran kerja setelah ia kehilangan pekerjaan utamanya. Seharusnya ia mencari pekerjaan yang benar di tempat yang benar. Bukan di tempat yang salah seperti itu. Tapi jika sudah terlanjur begini, bagaimana?   Awalnya ia pikir kehadiran Carlos akan menjadi hal baik untuknya. Tapi ternyata kedatangan lelaki itu justru dijadikan ladang yang empuk untuk dimanfaatkan Madam Eve melalui dirinya. Terlebih wanita itu mengatakannya dengan sangat jelas beberapa saat lalu.   Sabrina berjongkok dihadapan loker dengan menyembunyikan wajah pada kedua telapak tangannya.   Mengapa datangnya Carlos justru menjadikan masalah untuknya? Mengapa ... mengapa mereka memanfaatkan Carlos dengan begitu kejamnya seperti itu. Tidak cukup kah yang setiap hari Carlos berikan? Lagipula belum tentu Carlos mau membelinya. Belum tentu lelaki itu rela mengeluarkan uang lebih banyak lagi hanya untuk dirinya. Apalagi sekarang Carlos tak ada. Ia semakin tidak yakin Carlos akan datang, terlebih harus meninggalkan pekerjaannya sekaligus mengeluarkan uang hanya untuk membelinya. Tidak, rasanya semakin tidak mungkin.   Meskipun Carlos memintanya untuk segera menghubungi lelaki itu saat terjadi sesuatu. Namun ... jika hal seperti ini ... haruskah ia katakan?   Air mata Sabrina semakin meleleh, perempuan itu menangis dalam diam. Hampir tidak mengeluarkan isak tangis. Hanya saja, kini tubuhnya bergetar dengan sangat hebat. Menangisi nasib hidupnya yang pasti akan berubah setelah beberapa hari mendatang. Benar-benar terasa miris dan sangat buruk.   Setelah hari nanti, Carlos pasti tak akan sudi lagi datang padanya. Apalagi menolongnya lagi, atau bahkan memperlakukannya dengan baik. Carlos ... ia mungkin akan kehilangan lelaki itu dari hidupnya. Ia mungkin tak akan pernah bisa bertemu dengan Carlos lagi.   Ia pasti ... akan dibuang.   Semakin memikirkan hal itu rasanya ia ingin mati saja, ingin menghilang dari muka bumi dan mengakhiri penderitaan yang ia alami ini. Ya ... lebih baik begitu daripada ia harus melayani lelaki hidung belang layaknya jalang.   Ponsel Sabrina berdering, tanda sebuah panggilan masuk.   Dari Carlos.   Sabrina menarik nafas panjang seraya membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa mengering. Haruskah ia menjawab panggilan itu? Lalu menceritakan semuanya? Haruskah?   Setelah beberapa saat deringan itu berakhir, lalu disusul oleh sebuah pesan masuk. Masih dari Carlos.   ---   Hubungi aku, segera.   ---   Setidaknya itu kalimat yang dapat ia lihat. Air matanya kembali menggenang, kemudian segera disusul oleh tangisan yang terdengar sangat memilukan. Entah kenapa, melihat pesan itu membuat perasaan Sabrina terasa lebih buruk lagi. Bahkan lebih dari sekedar buruk.   Selama ini Carlos begitu menjaganya, dia bahkan telah membayar untuk satu bulan penuh pada Madam Eve agar ia temani di setiap malamnya. Tapi sekarang, yang terjadi justru seperti ini. Bagaimana ia akan menemui Carlos nanti? Saat lelaki itu kembali. Apakah ia masih bisa menunjukkan wajahnya didepan lelaki itu? ataukah tidak? Karena bagaimanapun sejauh ini ia sudah terlalu banyak merepotkan Carlos, sampai-sampai tanpa ia sadari semua orang memanfaatkan lelaki itu karenanya dan jika boleh jujur, ia tak ingin merepotkan lelaki itu lagi.   Sabrina menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Setelah itu ia menyeka sisa air mata yang masih terasa menggenang di sudut matanya. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat baginya untuk lepas dari Carlos lalu menghadapi masalahnya sendiri. Meninggalkan Carlos yang selalu menolongnya.   Kemudian menghadapi hidupnya, tanpa lelaki itu.   Tanpa Carlos lagi.   Maaf ... aku mungkin membuatmu kecewa Carlos. Aku hanya tak ingin orang-orang semakin memanfaatkan keberadaanmu.   ***   Bersambung ...   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD