4. Kabar Mengejutkan

1486 Words
 Aku akan pulang dalam dua hari kedepan.   Sabrina memandangi ponselnya yang menunjukkan sebuah pesan dari Carlos. Matanya sudah sangat membengkak, memerah menangisi nasibnya yang akan ia pertaruhkan beberapa jam yang akan datang. Hatinya teriris sakit, memikirkan masa depannya  yang sudah tak bisa ia lihat lagi. Apalagi ketika melihat website tempat pelelangan itu, ia dapat melihat komentar penuh minat yang orang-orang layangkan untuknya. Mereka mengatakan sangat tertarik dengan dirinya yang masih baru dan tanpa pengalaman, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia akan puas melakukan apapun karena kepolosannya. Sangat mengerikan.   Awalnya ia pikir dirinya yang terbilang baru dan masih tanpa pengalaman itu tak akan menarik minat ornag-orang. Namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Orang-orang justru mengatakan akan menyimpan uangnya demi mendapatkan satu minggu yang eksklusif bersamanya. Bahkan ada yang mengatakan mereka telah menyimpan sebanyak lima juta dollar untuk bersamanya.   Lima juta dollar ... seharga dengan utang yang harus ia bayarkan.   Sabrina menyeka air matanya yang kembali meleleh, melunturkan make up yang telah ia bubuhkan entah untuk keberapa kalinya. Ia terus menangis dan terus menangis ketika memikirkan pelelangan itu. Ia tak bisa menahan kesedihannya dan kesakitannya lagi. Namun ... mengatakan semuanya pada Carlos pun ia pikir tak akan membuahkan hasil. Ia tidak berpikir bahwa Carlos akan memenangkan lelang, jika penawar di website saja sudah sampai begitu besarnya.  Ia juga tidak berpikir bahwa Carlos akan rela mengeluarkan uang lebih dari itu hanya untuk dirinya. Karena ia menyadari bahwa, ia bukan siapapun. Bukan seseorang yang berarti dlam hidup Carlos.   Clek!   “Sabrina ... Kau belum ... Sabrina! kenapa kau menangis?!”   Mendengar suara sahabatnya yang tiba-tiba masuk. Air mata Sabrina yang sempat mengering kini kembali meleleh. Ia segera berdiri kemudian memeluk  sahabatnya itu, memeluknya dengan sangat erat. Menangis tersedu hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Pertahanan yang selama ini ia buat hancur berantakkan. Hancur tak tersisa lagi bersamaan dengan air mata yang semakin deras mengaliri kedua bola matanya.   “Sabrina ... hey! Kau kenapa?” tanya sahabat Sabrina –Thalia.  Tangannya bahkan kini terulur mengelus punggung Sabrina. Berusaha memberikan ketenangan pada sahabatnya itu.   Sabrina memang tidak mengatakan tentang pelelangan itu pada siapapun. Entah itu pada Carlos ataupun sahabat-sahabatnya sendiri. Ia sengaja melakukan itu, ia tak ingin membuat mereka semua khawatir. Namun sekarang, rasa takut yang ia hadapi ternyata tak bisa ia pikul sendiri lagi. Semuanya terlampau berat dan begitu menekan dirinya, hingga rasanya ia akan terjatuh jika terus memikulnya sendiri.   “Thalia ... .” nafas Sabrina tercekat. “Aku akan mengatakannya padamu, tapi tolong jangan katakan ini pada siapapun. Aku hanya ... aku hanya tak sanggup memendamnya sendiri.”   Thalia membawa Sabrina duduk pada salah satu sofa diruangan itu, tangannya terulur menggenggam erat tangan Sabrina yang tampak sangat ketakutan.   “Thalia ... aku ... .” air mata Sabrina kembali meleleh. “Aku akan di lelang.”   Ketika mendengar kalimat yang dituturkan Sabrina. Elusan tangannya terhenti, tubuhnya seolah membeku. Setelah beberapa saat barulah ia menatap Sabrina. “Kenapa kau tidak mengatakannya sejak kemarin?! Apa Carlos tau? Kau harus memberitahunya Sabrina. Carlos pasti akan menolongmu!”   Sabrina menggelengkan kepalanya. “Tidak Thalia ... tidak. Jangan memberitahunya. Dia ... dia sedang berada diluar kota untuk pekerjaan yang sangat penting.”   “Lebih penting mana dengan kau yang akan di lelang Sabrina?!” bentak Thalia dengan kencang. “Dengar ... kau harus memberitahunya Sabrina. Kau harus. Carlos pasti akan datang.”   “Tidak Thalia, jangan. Jangan memberitahunya. Madam Eve sengaja memanfaatkan Carlos. Dia sengaja melelangku untuk melubangi dompet Carlos. Dia sengaja.” Sabrina menggelengkan kepalanya pelan seraya menunduk. “Aku tak mau membuatnya di manfaatkan oleh orang-orang seperti Madam Eve. Aku tak mau Thalia. Biarlah ... tak apa. Tak masalah aku di lelang. Lagipula hanya satu minggu. Bukan waktu yang lama.”   “Tapi Sabrina ... .”   Sabrina menggelengkan kepalanya seraya terseyum dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Aku ... kali ini aku akan menghadapinya sendiri Thalia. selama ini aku selalu menyulitkan orang lain. Kau, Wendy, Johnny, bahkan Carlos. Aku sudah merepotkan kalian terlalu banyak.”   “Tapi ... Sabrina.”   Sabrina kembali menggelengkan kepalanya, ia tersenyum dengan air mata yang kembali meleleh. “Aku ingin menghadapinya sendiri ... .” Sabrina menyeka air matanya. “Aku harap kau mengerti Thalia.”   Thalia terdiam melihat Sabrina yang kini tersenyum dengan air mata yang mengalir. Bibirnya kelu, tak bisa mengatakan apapun lagi. Ia tau, ia dapat sangat merasakan bahwa sahabatnya itu ketakutan. Dia saat ini sedang sangat ketakutan. Ia juga tau bahwa sebenarnya Sabrina tidak bisa mengahadapi ini sendiri, tapi dia bersikeras untuk sendiri.   “Thalia ... .” Sabrina menggenggam kedua tangan Thalia dengan erat. “Aku hanya berpesan padamu. Jika Carlos datang, katakan bahwa aku sudah tidak disini lagi.”   “Apa maksudmu?!”   “Aku mohon.” Sabrina mengeratkan genggamannya. “Aku ... aku tak akan pernah bisa memperlihatkan wajahku lagi di hadapannya setelah hari ini. Untuk itu, aku mohon ... katakan itu pada Carlos.”   Sabrina tau, tindakannya ini akan mengakibatkan dirinya tak dapat bertemu dengan Carlos lagi. Tapi ia tau, tindakannya ini lebih baik daripada lelaki itu harus selalu di manfaatkan oleh orang-orang di sekelilingnya.   Ya ... setidaknya itu yang Sabrina pikirkan.   ***   Sementara itu ditempat lain pada waktu yang sama.   Carlos mengetikkan beberapa kata di kolom pesan ponselnya beberapa saat kemudian mengirimkannya, kemudian setelah itu ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka , dia seseorang yang sejak beberapa saat lalu ia tunggu. Lelaki itu berjalan memasuki ruangan kantor tempatnya menunggu. Ia kemudian berdiri, menyambut orang itu dengan mengulurkan tangannya.   “Selamat datang. Silahkan duduk.”   “Terimakasih  Mr. Keys, saya datang mewakili Mr. Wesley.” Ungkap Carlos.   “Aku tau. Duduk.”   Carlos mendudukan dirinya kembali pada tempat duduk di dalam ruangan kantor itu. “Mr. Wesley sedang mendampingi istrinya yang sedang hamil besar.”   Lelaki itu, Andreas Keys. Seorang pengusaha muda yang sudah sangat di perhitungkan jam terbangnya dalam berbisnis. Seorang pengusaha yang terkenal berhati dingin dan tak mudah untuk di taklukan. “Tak masalah, aku lebih senang kau yang datang.”   Carlos memandang lelaki itu lamat. Apa maksudnya? Kenapa terdengar sangat aneh?   “Jangan menatapku seperti itu.”   Carlos berdehem pelan seraya berujar maaf, kemudian setelah itu ia memberikan dokumen yang ia bawa. “Ini ... proposal permohonan persetujuan kerjasama dari perusahaan kami. Saya harap anda dapat mempertimbangkannya dan menerima tawaran kerja sama ini.”   Andreas mengambil file tersebut, kemudian membacanya sekilas. “Aku akan menerimanya.”   “Saya pikir anda belum membaca dokumennya Tuan.” Ucap Carlos.   Andreas terkekeh pelan. “Apa perlu? Bagiku tak masalah jika hanya mengenai lokasi project perusahaan kita yang berdekatan. Toh bisa saja akan sangat menguntungkan bukan?”   Carlos menatap Andreas. Semua orang mengatakan bahwa Andreas ini sosok yang sulit dalam diajak bekerja sama. Sekalipun bentuk kerjasama itu memberikan keuntungan yang sangat besar pada perusahaannya. Ya ... Andreas memang terkenal sangat pemilih. Bahkan menurut kabar yang beredar tak jarang lelaki di hadapannya ini menolak project kerja sama dengan omset milyaran dollar. Tapi anehnya mengapa sekarang dia menerima kerjasamanya begitu saja? Bahkan tanpa membaca isi dari proposal itu.   Jujur saja, ia telah menyiapkan beberapa amunisi yang sudah di siapkannya dengan Millian, Boss-nya. Tapi jika seperti ini, rasanya semua yang sudah ia rencanakan itu sangat sia-sia.   “Aku pikir ini sudah masuk jam makan malam. Bagaimana jika kita membicarakan kerjasama ini sambil makan malam Carlos?”   Carlos menatap arloji yang melingkar di tangan kirinya. Ini sebenarnya sudah lewat dari jam kerja. Tapi mengapa lelaki itu justru mengajaknya makan malam? Bukankah Andreas juga sangat disiplin terhadap waktu kerjanya?   “Carlos?”   “Baiklah.”   Carlos kemudian berjalan berdampingan dengan Andreas, tanpa memedulikan tatapan beberapa pegawai yang terlihat bersiap meninggalkan kantor itu.    “Aku berharap kerjasama kita berjalan dengan baik.” Ujar Andreas ketika mereka memasuki lift.   Carlos berdehem pelan. ia tak tau harus menanggapi ucapan Andreas seperti apa lagi. Jujur saja, saat ini ia mulai merasakan atmosfir aneh ketika berdekatan dengan lelaki itu. Apalagi dengan kemudahan yang lelaki itu berikan. Benar-benar sangat aneh, sangat aneh.   “Bagaimana mengenai penandatanganan kerjasamanya Mr. Keys?” Tanya Carlos.   “Jangan terlalu terburu-buru. Penandatanganan pernyataan kerjasama, bisa kita atur ulang lagi nanti, setelah makan malam.” Jawab Andreas seraya melangkahkan kakinya kembali meninggalkan lift ketika mereka sampai di basement.   “Masuklah. Kita pakai mobilku.” Andreas membukakan pintu penumpang untuk Carlos. Namun ponsel Carlos yang tiba-tiba berdering nyaring, menahan dirinya untuk memasuki kendaraan itu.   Sebuah panggilan dari Millian.   Carlos menatap Andreas sesaat, sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.   “Mr. Wesley. Saya masih bersama Mr. Keys. Akan saya hubungi lagi nanti setelah sampai di hotel.” Ujar Carlos begitu menjawab panggilan Millian. Ketika ia akan mengakhiri panggilan itu suara seorang wanita terdengar di sebrang sana. Suara Wendy, istri Millian.   “Carlos segeralah kembali.” Suara wanita itu entah mengapa terdengar sengau, seperti baru saja menangis. Ia bahkan dapat mendengar suara dari istri bos nya itu yang tercekat ketika mulai melanjutkan ucapanya.   “Sabrina ... Carlos ... Sabrina akan di lelang di club.”   ***   Bersambung ...   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD