Kakak Kelas dan Kecoa

1249 Words
“Sebenarnya aku mau ketawa  saat dia tiba-tiba menjeritkan kata kecoa seperti cabe lagi ndesah, tapi sayang, nggak bisa.” *** Suara piring beradu dengan sendok ditambah celetukan Alfi sama Bunda di tambah aku tentunya, membuat ramai sarapan pagi ini. “Bunda, Alfi jadi minta diajarin masak Bund?” tanyaku. “Jadilah... Alfi sayang Bunda. Eh Cia... panggil kakakmu dengan benar!” omel Bunda yang aku balas anggukkan lalu menggeleng. “Ndak mau, Alfi ndak pantes di panggil abang!” protesku yang langsung membuat Kedua kakaku yang lainnya ketawa. “Ini Azka sama Al kenapa ketawa, Al juga kenapa nggak bantuin kembarannya!” omel Bunda lagi ke kak Alaric atau yang biasa aku panggil Kak Al. “Yaelah Bund, Alfi udah gede ngapain di belain, udah kelas 12 SMA loh Bund!” “Weh k*****t, berangkat jalan kaki aja ya lo, gue ogah bareng sama ondel-ondel kayak lo!” Azkampret abang gue yang ketiga tiba-tiba nyeletuk di antara debat Bunda yang belain anak kesayangannya. “Kak Al bisa nganterin Cia ndak?” tanyaku ke Kakak pertamaku itu sambil menatap si k*****t dengan tatapan, Mau apa lagi lo? “Jangan mau Al, kalau dia nggak mau manggil gue abang!” Si Alfi ikut-ikutan. “Iya ntar Kakak anterin kalau Azka nggak mau nganterin.” Aku bersorak girang sambil meleletkan lidah menatap kedua abang laknatku. “Azka, bisa nggak ngajarin adek cewek kamu ini dengan kata-kata yang benar sedikit!” Bunda lagi-lagi ngomel. “Nggak papa Bund, udah deh Bunda kayak nggak tau Cia aja!” “Iya Bunda, biarin aja si Cia sesukanya. Asal dia nggak jatuh ke lubang yang salah.” Ayah tiba-tiba ikut bersuara. Aku menyeringai dengan iseng langsung menyeletuk, “Yah, kapan Cia dibeliin motor?” Ayah langsung tersedak, sedang Bunda melongo. Kakak-kakaku malah ngakak. “Sstt dah, Cia sudah selesai makan belum, ayo berangkat kakak anterin!” Kak Al bersuara sambil menahan senyumannya. Kak Al nggak suka dipanggil abang, padahal aku suka manggil abang daripada kakak. Aku tersenyum sumringah lalu melirik seragamku, warna putih yang lumayan kuning dengan coretan tanda tangan yang ... terlalu banyak. Si k*****t menatapku, dari atas sampai bawah sebelum tawanya meledak tajam. “Duh duh Al, tiati malu lo sama dia!” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk aku dengan jari telunjuknya. Aku merengut, “Salah siapa punya temen satu sekolahan, nggak puas satu angkatan, nggak adek kelas, nggak kakak kelas, lu gebet semua. Penuh kan tuh seragam lo sama coretan.” Alfi bersuara yang membuatku ingin menangis rasanya. Rules MOS buat sekolahku memang aneh; 1. Di wajibkan memakai seragam yang di penuhi oleh tanda tangan teman semasa SMP; (Yang nggak punya temen atau peraturan sekolahnya nggak ngijinin ya derita lo) 2. Kuncir rambut sesuai tanggal lahir; (Untung gue lahirnya tanggal dua, jadi gue cuma ngepang dua) 3. Bawa satu buku tulis kosong; 4. Bawa juga seragam Olah Raga semasa SMP; 5. Air minum; 6. Bekal. Ketentuan, MOS berlangsung selama dua hari, apabila izin dan kawan-kawannya harus di sertai dengan surat keterangan. Siswa yang masuk hanya OSIS dan peserta MOS, hari ketiga baru semua siswa boleh masuk sekaligus pemilihan Ratu dan Raja Teraneh bagi peserta MOS. Kak Al menatapku dan tersenyum, “Nggak papa, ayo!” Aku tersenyum dalam hati dan menatap si k*****t dan Alfi dengan pandangan mengejek. Kak Al baik banget, udah ganteng, putih, tinggi, baik, alim pula. Kurang apa yang beruntung dapetin dia? *** Suasananya riuh saat aku masuk dan melihat beberapa orang berseliweran, Kak Al jelas langsung pulang. Dia baru masuk besok ketika aku MOS terakhir. Aku menatap sekeliling, Banyak cogannya. Pengen banget aku langsung deketin cogan itu terus aku ajak kenalan bawa ke orang tua, eh. Masya Allah, tobat eh tobat otak gue. “Hai!” panggilan dari sebelahku membuatku menoleh, menatap sosok gadis manis yang seragamnya putih bersih sama kayak kulitnya. Njir ngiri gue, “Hai juga, Ciarra!” “Putri!” “Hm... ke lapangan yuk!” ajakku dan dia mengangguk. Kami berjalan berdampingan ke lapangan, baru aja masuk udah dapat temen kan gue? “SEMUANYA KUMPUL, BARIS YANG RAPI! KAKAK-KAKAK AJARI ADIKNYA BARIS BIAR RAPI YA!” Seorang cowok dengan baju di keluarkan, jas biru tersampir di pundak di tangannya terselip rokok di tangan kirinya dan tangan kanan megang toa. Buset... berandalan sekolah apa gimana ini? Mukanya gahar, dagu runcing, pipi tirus tapi tegas, bibirnya merah pucat, rambutnya jabrik hitam tapi di ujung rambutnya ada merah-merah gitu. Aduh, ada gangstar. “Buset itu orang kayak saingan sama api rambutnya!” ucapku tanpa sadar. Putri menoleh dan menatapku prihatin, apa bicaraku lumayan keras ya? Aku menoleh, menatap sekitar yang kini juga menatapku dengan tampang kaget. Apalagi ketika melihat seragamku yang penuh coretan, aku rasa kini aku menjadi pusat perhatian. Aku menatap si rambut api itu, dia juga menatapku dengan wajah melongo, kaget mungkin ya ada yang ngatain dia? “Heh siapa kamu, sini!” ujarnya. Aku melirik kanan kiri, mencari siapa yang di tunjuk oleh si api itu. Namun, semua orang menatapku. Sambil meneguk ludah aku berjalan mendekati dia, dan saat aku berada di hadapannya, dia langsung berkata, “Kamu ngomong apa barusan?” “Rambut lo saingan sama Api kak,” ucapku mengulangi tapi sekarang pakai embel-embel kak. Lelaki itu menatapku dari atas sampai bawah, dan berhenti melihat lambang OSIS di saku kanan yang ada di dadaku. Menatapnya lamat-lamat tanpa kedip, sampai akhirnya ada yang menjerit, “REYHAN t***l, BUANG ROKOK LU b*****t!” Aku juga baru ingat kalau di tangan dia ada rokoknya, “Yiihhh kakak rokok!” ucapku nampak jijik. Memang keluargaku anti rokok, dari Ayah, Kak Al, Alfi, dan si k*****t. Nggak ada yang mau nyentuh benda satu itu, sayang paru-paru kata mereka. Kakak kelas itu langsung melempar rokoknya, dan menatapku tajam. “Kamu, ke gudang cari bola pingpong di pojokan, nanti aku susul!” Aku mengernyit, pengen bantah sebenernya tapi nggak bisa. “Eh tunggu dulu, siapa namamu?” Aku berhenti, berbalik dan menatap Kakak kelas paling berandal yang pernah aku lihat. “Ciarra Alea, salam kenal kak Reyhan!” Aku langsung berlari ke arah gudang yang aku tau lokasinya. Gudang gelap dan kumuh, hih, tau banget tuh irang ngehukum gue. Gue nggak suka kotor. Lima menit aku muterin gudang, nggak ada nemu bola ping pong yang diminta si Api. Sampai aku merasa ada yang masuk ke ruangan yang sama denganku ini. “Udah ketemu belum?” tanyanya. Suara laki-laki dan mirip suara si Api. “Belum kak, memangnya di taruh mana?” “Katanya sih di pojokan, ikut gue!” Memang gelap tapi aku masih bisa melihat sosok Reyhan yang ada di pojokan sambil nunjuk sesuatu yang ada di atas meja rusak. Aku mendekati dia dan mengambilnya, lalu dia berjalan keluar dari gudang dan aku mengikutinya. Saat di pintu gudang aku langsung menyodorkan beberapa bola yang ada di ranjang itu ke arah Reyhan, si Api. Dia menerimanya dan dalam beberapa detik mukanya langsung pias. Kenapa ini orang? Takut sama bola? Nggak mungkin ah, tampang preman yekali takut bola ping pong. Kuputuskan untuk bertanya, “Kenapa kak?” “Ke-kec-kecoa!” “Hah? Lu manggil gue kecoa?” “Bu-buk-bukan!” ucapnya sambil tergagap. “KECOOAAA!!” teriaknya yang membuatku menatap tubuhnya. Mengamati bola di tangannya, ada hitam-hitam merayap di tangan Reyhan, dan aku langsung bertindak cepat memukul tangannya agar hitam-hitam itu minggat. Tapi bolanya juga ikut kelepas, nggak papa deh. “Kakak nggak papa?” tanyaku. “Nggak makasih ya, Kecoa!” “Njir si Api laknat!” Aku memukuli Reyhan dengan buas, salah siapa manggil gue kecoa. Emang gue kecoa apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD