Ini Hari Gila

1141 Words
Kata dia mungkin semua ini lucu, tapi kataku semua ini membunuhku. *** Berharap sang mentari segera tenggelam di ufuk barat, aku dengan gontai berjalan menuju si k*****t dengan raut wajah nelongso. Mendekati tubuhnya yang tinggi, dan memegang bajunya yang di keluarkan, menarik-narik seperti anak kecil lagi ngerengek ke Ibunya. “k*****t!” panggilku. Azkampret menoleh, menatapku dengan alis terangkat satu. “Laper!” ucapku sambil memegangi seragam putihku yang lusuh karena beraktivitas sedari tadi. Tepatnya memegang bagian perut. “Ntar satu jam lagi, lo nggak makan apa tadi?” tanya si k*****t sambil menatapku penuh aura intimidasi. “Nggak sempet makan, gara-gara si Api laknad!” “Hah si Api?” “Si Reyhan laknad!” Si k*****t menahan tawanya, dan bibirnya membentuk sebuah seutas garis melengkung. “Lo deket banget sama itu Ketos, mampus lo kalau naksir sama dia!” “Mata lo, gantengan juga kak Al, lagian Cia ndak suka perokok kayak dia!” ucap Cia lirih, takut kalau yang punya nama denger. Kampret satu itu tersenyum, “WOI b*****t, ADEK GUE LO APAIN HAH!” Tiba-tiba si k*****t teriak, dan teriakannya itu cukup bikin kita semua natap dia dengan pandangan, 'What'. Seseorang berdiri di belakangku, “Apaan, gue laper mau makan dulu anjir!” “Nah, lo barengan aja makannya sama si Api,” celetuk Azka yang langsung membuatku menoleh ke belakang. Melihat si Api yang kini sama terkejutnya dengan aku. Kami saling tatap lama, sampai.... “Dor!” sentak si k*****t lagi. “Eh, nggak usah Kam-kak, gue balik dulu,” ucapku hampir saja keceplosan manggil Azka dengan panggilan k*****t. “Lah katanya lo laper?” “Nggak jadi, mendingan pinsan gue,” daripada makan sama si Api. Lanjutnya dalam hati. “Tunggu!” Ini suara si Api yang otomatis membuat aku berhenti. “Makan bareng gue aja, nggak ada yang bakal marahin lo!” Kini aku yang melongo menatap Reyhan, ini orang gila apa s***p ya? Yekali makan sama adek kelas yang baru aja kenal tadi pagi? Tapi mending sih, yang lain aja belum tentu dia kenal juga, 'kan? “Nggak deh kak, gue lebih milih pinsan daripada nyawa gue melayang!” ucapku ngelantur apa lagi beberapa OSIS lain natap gue seakan gue ini patut musnah dari dunia ini. Aku langsung kabur, ngacir sejauhnya dari mereka dan ikut Putri ke kelompok lagi. Aku sama Putri satu kelompok, tapi aku yang paling menonjol. Mungkin gara-gara aku ngata-ngatain Reyhan, atau ketua OSIS di sini itu. Tapi 'kan aku nggak sengaja ... mulutnya nggak bisa di rem soalnya. “Lo nggak takut sama senior kita ya, Ci?” tanyanya sambil meringis mentapku. Aku menggeleng, bukan karena ada si k*****t yang jadi OSIS juga, tapi lebih ke tabiat aku yang nggak ada takut-takutnya sama orang. “Mereka juga manusia, makan nasi juga!” jawabku. “Iyain aja deh, gimana udah dapet berapa tanda tangannya?” tanya Putri sambil melirikku. Aku tersenyum, kalau soal tanda tangan mah gampang. “Udah dari tadi, banyak yang ngajak kenalan, sekalian gur modusin kali aja bisa di bawa pulang.” “Gila lo, Ci!” “Lo sendiri?” tanyaku sambil mengintip milik dia. “Gue udah ko, banyak yang minta pin bbm sama id line,” ucapnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Eh iya juga, lo 'kan cantik pasti banyak yang ngegebet elo! Btw, bagi gue id line lo dong!” pintaku dan Putri mengangguk. Memberikan aku sepatah kata yang ternyata id line dia. “Woi yang di sana jangan ngobrol terus, lakuin tugas kalian!” seru kakak Cantik yang sepertinya kakak kelas juga. “Udah kak!” balasku. Lalu kakak itu berjalan mendekati kami, “Mana?” Tangannya terulur meminta sesuatu dari kami. Aku memberikan bukuku, memperlihatkannya ke kakak kelas Cantik yang sepertinya galak banget. “Ciarra Alea Dermawan, kayak nama Azka ya? Azka, Alfi, sama Alaric?” tanyanya. “Lah emang mereka kakak-kakak gue!” ucapku spontan. Dia menoleh menatapku dengan tidak percaya, “Lah lo cewek? Ko nggak cowok kayak Kakak-kakak lo?” Pengen banget gue bacok ini orang? Lah kalau gue cewek kenapa emangnya anjir? “Maksud kakak apaan?” tanyaku datar. “Nggak... nggak jadi, Cindy panggil aja kak Cindy!” ucapnya sambil tersenyum. Aku mencium gelagat aneh nih. “Salam kenal kak, dia Putri teman saya!” Putri yang ada di sebelahnya langsung menjengit kaget. Lah ini anak kenapa? “Putri kak!” “Cindy!” “Yaudah ye kak, gue mau nunggu bel, laper!” seru gue dan menarik Putri menjauhi si Cindy itu, tak lupa menarik buku gue dari tangannya. Takut banget, kalau buku gue di robek sama dia, sumpah. *** Sewaktu bel yang aku nantikan dari tadi berbunyi. Aku dengan semangat menarik Putri ke pojokan lapangan, di mana ada pohon yang bisa ngelindungi kita dari panas Matahari. Seneng deh gue kalau ada yang kayak begini. “Put makan bareng gue ya!” pintaku dan mengeluarkan bekal. Aku tahu putri sudah makan di jam istirahat pertama tadi, dan sekarang giliran aku. Aku nggak mungkin 'kan makan sendirian? “Iya!” Putri mengangguk dan aku mengeluarkan bekal yang aku bawa. Membukanya dan menikmati bekal itu bareng Putri. Baru seperempat bekal itu kami makan, ada sosok lain yang menjulurkan tangan mengambil laukku. Dengan kilat aku memukulnya dengan sendok di tanganku, “Jorok!” Gue 'kan sukanya yang bersih langsung ngomel ke orang itu, yang ternyata ... Reyhan. “Elah tangan gue bersih,” ucap pemuda itu. Kulihat Putri yang sepertinya agak nggak nyaman sama keberadaan Reyhan. Apalagi ketika Reyhan kembali menjulurkan tangannya. Tunggu dulu jangan bilang Putri sama kayak gue? Aku langsung memukul tangan Reyhan dan menyodorkan sendokku kepadanya. “Makan pakai sendok dasar jorok!” Reyhan menatapku terkejut tapi tak lama, karena dia langsung mengambil sendok itu dan langsung makan kayak orang nggak makan satu tahun. Tunggu deh, kayaknya tadi dia baru saja makan? “Gue udah deh Ci, lo aja makan sama kak Reyhan!” Tiba-tiba Putri berbicara demikian dan menyerahkan sendoknya kepadaku. Lalu entah mengapa dia pamit dan meninggalkanku berdua dengan Reyhan. Dia kenapa? Jangan bilang dia kaget makan bareng cowok? Oh my God! “Temen lo kenapa?” Suara Reyhan bikin gue natap dia shok. “Nggak tahu, takut sama lo kali, takut kebakaran. Lo kan api!” “Eh si Kecoa manggil gue Api mulu!” cerewetnya. “Rambut lo kayak api!” makiku. “Nah kan, dasar Kecoa! Makan sini!” Reyhan menarikku mendekat dan menyuapiku dengan sendok yang sedari tadi dia pakai makan. Aku menerima suapan itu dengan diam, nggak ada kata lagi yang sanggup aku ungkapin. Ini hari yang gila, kenapa gue bisa kenal sama berandal kayak dia? Dan kenapa dia sepertinya mencoba ndeketin gue terus? Tindakannya ke gue, jujur bikin hati gue tergerak buat lihat dia terus. Tapi nggak, gue nggak boleh suka sama dia 'kan? Gue nggak mungkin sampai kayak gitu? Dan dilema hati ini, membunuhku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD