Part 2 (Super Hero)

2459 Words
"Nambah lagi, Mas!" teriak Amaya pada pelayan cafe. Hampir sepuluh kali ia meminta pelayan cafe memberinya minum lagi. Beginilah cara Amaya ketika sedang patah arah. Menghabiskan malam dengan minum, duduk di pojokan cafe sambil sesekali menangis. Bisa dibayangkan, bagaimana sakitnya Amaya saat tahu Doni menyeleweng dengan wanita lain. Biarpun Amaya terkenal sebagai cewek galak, tetapi ia juga perempuan. Punya rasa, punya hati. Jelas tidak rela kalau akhirnya hubungannya dengan Doni akan kandas dengan cara seperti ini. Tapi, di sisi lain, Amaya sempatkan untuk bersyukur. Ia tahu kebejatan Doni sekarang. Coba kalau tahunya pas mereka sudah menikah. Lebih parahnya lagi ketika mereka sudah punya anak. Amaya bisa saja mati gantung diri hanya karena disia-siakan oleh Doni. "Maaf Mba. Cafe sudah mau tutup. Mba bisa pulang sekarang." Mood gadis itu makin buruk saja ketika pelayan cafe tiba-tiba datang dan malah mengusirnya. "Dan sedari tadi, Mba cuma pesan air putih saja. Air putih di sini gratis Mba. Tapi Mba malah keenakan minta nambah terus. Mba kesempatan, ya, mumpung gratisan?" Kedua mata lentik gadis itu melotot sempurna pada si pelayan. "Mas, nggak usah khawatir kalau cafe ini bakalan bangkrut karena obral air putih gratis. Nanti pasti gue bayar, deh, air putihnya. Rewel banget, sih?!" Amaya meraih uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Meletakkan dengan kesal di atas meja. "Nih, gue bayar, kan?! Kembaliannya buat Mas aja!" Ia lantas berdiri dan berniat meninggalkan cafe milik sahabatnya ini. Sebelum sampai di pintu utama, Amaya dapati sang pemilik cafe baru saja masuk. "Ya elah, May. Jalan sempoyongan gitu? Kamu mabuk, ya?" tanya Bojes heran saat melihat Amaya berjalan sempoyongan. Padahal gadis itu mabuk air putih saja. Tapi saking banyaknya air putih yang masuk ke tubuh Amaya, refleks membuat jalannya tak seimbang, perut pun terasa begah. Pria yang usianya empat tahun lebih tua dari Amaya itu bernamanya Bojes Jasun--pemilik cafe ini. Hubungannya dengan apoteker itu boleh dibilang lumayan dekat. "Kak, bilangin tuh sama karyawan Kakak, sama tamu kudu ramah. Seenaknya main usir. Mentang-mentang di sini aku cuma mesen air putih doang!" Amaya lantas mengadu. Sambil melempar lirikan sebal pada pelayan cafe. "Eh, bu-bukan begitu maksudnya, Mba. Saya tidak bermaksud mengusir. Tapi cafe sudah mau ditutup, dan Mba-nya tidak pulang-pulang. Jadi, ya, ucapan saya tadi seperti orang mengusir. Padahal tidak." "Mas, lain kali, kalau dia masih pengen di sini, jangan buru-buru tutup cafe, Mas. Biarin aja. Dia ini udah kayak adek saya. Jadi dia mau sebetahnya di sini, ya, biarin aja." Amaya sempat terharu saat Bojes berucap demikian. Ia baru sadar kalau tidak semua lelaki itu menyebalkan seperti Doni. Namun, sayang seribu sayang, Bojes justru sudah beristri. Amaya merasa tidak pantas diperlakukan sebaik itu oleh Bojes. "Aku antar kamu pulang, ayo," ajak Bojes lalu menggamit tangan Amaya. Gadis itu hanya menurut saat Bojes menuntun tangannya keluar dari gedung cafe. "Kak, aku bisa pulang sendiri. Nggak perlu dianterin lah," protes Amaya ketika Bojes menggandengnya menuju parkiran. "Apa, sih? Ini udah malem. Masa iya, aku tega biarin adekku yang cantik ini pulang sendiri. Ayo, masuk." Lelaki itu baru saja membukakan pintu mobil untuk Amaya. Apoteker muda itu masih ragu sekaligus malu atas pujian 'cantik' yang baru saja Bojes ucapkan. Jika memang Amaya cantik, kenapa masih ada pria yang tega menyakitinya? Apakah cantik saja itu tidak cukup? "Jes," panggil seorang wanita dari kejauhan. Amaya yang tadinya akan masuk mobil, seketika ia urungkan saat mendengar seseorang memanggil Bojes. "Fika?" Pemilik Bojes Cafe's itu sangat kaget dengan kehadiran sang istri tiba-tiba. Amaya lantas berbalik badan. Ia pun tak kalah kaget ketika melihat Fika tengah berdiri tak jauh darinya. "Jadi selama aku nggak ada, kalian sering jalan bareng?" tuduh Fika dengan memasang wajah cemburu. Amaya lantas menepuk jidat. Masalah satu belum selesai, kini datang masalah lagi. Menurut Amaya, Fika jelas cemburu melihat dirinya tengah berduaan dengan Bojes. "Kamu ngomong apa, sih, Fik? Aku cuma sekedar mau antar Amaya pulang aja," jelas Bojes. Ia lalu menghampiri istrinya. "Banyak yang bilang kalau kalian sering jalan bareng? Nggak tau diri banget, sih?! Jelas-jelas udah punya istri, masih aja dideketin!" Fika tanpa sadar menyindir Amaya. Alih-alih terbawa emosi dan cemburu. Padahal sehari-harinya ia lumayan akrab dengan apoteker itu. Tanpa sadar kedua mata Amaya berkaca-kaca. Ia merasa dirinya disamak-samakkan dengan Puput--seorang wanita yang tega merebut pria milik wanita lain. "Maaf, Kak Fika. Aku janji, nggak akan datang ke tempat ini lagi. Nggak akan deketin Kak Bojes lagi," ucap Amaya mantap. Ia lalu berlari kecil meninggalkan area parkiran. Tak mengindahkan panggilan Bojes berkali-kali. Amaya sudah cukup muak dengan kesialan yang terjadi hari ini. *** Gadis dengan hoodie cokelat itu berjalan di pinggiran jalan dengan malas. Ia tengah memainkan ponsel. Membalas chat dari driver ojek online yang sudah ia perintahkan untuk menjemputnya. Amaya tiba-tiba saja mendapat panggilan telepon dari Vira. Ia pun lantas menerima panggilan telepon dari sahabatnya itu. Amaya berpikir kalau Vira khawatir karena dirinya selarut ini belum pulang. "Halo, Vir." Amaya masih santai berjalan. Tanpa ia sadari di belakangnya ada seseorang yang sejak tadi mengikuti. "Owalah, May ...! Awakmu neng ndi, to? Aku kelabakan nyariin kamu. Tak kiro ilang." "Jangan berlebihan gitu, lah, Vir. Gue nggak bakalan ilang. Gue cuma abis cari angin aja." Amaya lantas menoleh ke belakang. Ia mulai mencurigai ada seseorang yang tengah membuntutinya. "Lah piye aku nggak khawatir. Kita masih satu kampung. Mbokmu kui nitipno awakmu meng aku. Nek sampe kamu ilang, aku yo kelabakan." Amaya terkekeh geli. Ia heran sekaligus terharu akan sikap Vira yang sangat berlebihan padanya. "Gue lagi otw pulang, kok. Lagi nungguin kang gojek jemput gue. Lo tidur aja. Gue bawa kunci sendiri." Amaya, Vira, dan Rina tinggal di rumah yang sama. Kebetulan Vira memiliki seorang teman yang mempunyai rumah kosong. Temannya tersebut kini tinggal di luar kota. Dari pada kosong, Vira meminta temannya itu mengontrakkan rumah itu pada mereka. "Yo wes. Ati-ati yo di jalan. Nek ono wong jahat, ojo lali dihajar." "Iyo, iyo, Mbakyuku. Bawel banget, sih? Dah sana, cuci kaki terus bobo. Gue bentar lagi nyampe, kok." Panggilan baru saja diputuskan. Amaya menghentikan langkahnya sejenak. Ia merasa ada seseorang yang benar-benar mengikutinya. "Jangan jadi banci. Sini keluar!" Amaya berbalik badan kemudian menantang seseorang misterius tersebut. Tapi ia tak mendapati orang sama sekali. Ia justru memekik saat ada tangan yang tiba-tiba membekap mulutnya. Amaya mencoba berontak. Ia menyikut d**a orang yang tengah membekapnya dengan sekuat tenaga. Seketika orang tersebut melepaskannya. "Fino?!" Gadis itu mendapati sahabatnya bernama Fino yang tengah meringis kesakitan sambil memegangi d**a. "Lo cewek, tapi kelakuan lo bener-bener kayak preman. Sakit kali, May." "Lagian lo kenapa pake acara buntutin gue?! Bekap mulut gue segala. Untung nggak gue tonjok tadi." Amaya berniat meninggalkan Fino. Karena ia merasa tak punya urusan dengan lelaki itu. Tetapi Fino tiba-tiba mencekal lengannya. Membuat Amaya menatap Fino sebal. "Apaan, sih?!" "Lo mau ke mana, May? Gue belum selesai ngomong." "Lo ada perlu apa?" Amaya menarik kasar lengannya dari cekalan Fino. "Gue ada urusan sama lo. Gue mau nagih utangnya Doni ke elo." Gadis itu lantas tertawa. Masalah apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Fino menagih utang Doni padanya? "Yang utang, kan, Doni, bukan gue. Kenapa jadi gue yang kena?!" protes Amaya. Fino kemudian merogoh saku celananya. Ia meraih lipatan kertas. Membuka lipatan itu lalu memperlihatkan isi tulisan di kertas itu pada Amaya. "Di sini, Doni udah jadiin lo jaminan. Urusan utang, itu tanggung jawab lo. Di sini tertulis jelas, Doni utang atas nama lo." "Hah?!" Amaya syok. Ia lantas merebut kertas itu. Membaca dengan saksama. d**a gadis itu rasanya langsung sesak saja. Sudah jatuh, ketiban tangga pula. Sudah diselingkuhi, masih saja dibebani utang oleh Doni. Rasa-rasanya Amaya ingin sekali memutilasi tubuh Doni detik ini juga, kalau saja tidak menanggung dosa. "Dan di situ tertulis jelas, utang Doni senilai lima puluh juta, belum sama bunganya, ding." "Apa?! Lima puluh juta?!" Kepala Amaya terasa pening. Ia nyaris jatuh pingsan kalau saja Fino tidak sigap memapahnya. "May, lo jangan buru-buru pingsan dulu. Buruan, bayar utangnya." Amaya langsung sadar. Ia lantas mendorong tubuh Fino yang sedari tadi memapahnya. "Gue nggak mau bayar utangnya Doni. Sembarangan! Gue udah diselingkuhin, masih aja dibikin susah ngurusin utang dia. Gue nggak mau!" tolak Amaya tegas. Tapi sebenarnya ia ingin sekali menangis. Menangis sambil mencakar-cakar wajah Doni sialan itu. "Gue nggak mau tau, May. Di sini Doni minjem duit bokap gue pake nama elo. Kalau elo nggak mau bayar, urusannya bakal runyam. Lo tau, kan, bokap gue siapa? Rentenir kelas lele berkumis tebal. Elo bakalan ancur, May, kalau sampai nggak mau bayar utangnya." Fino mulai menakut-nakuti. Amaya jelas makin panik saja. "Gue udah nggak ada urusan lagi sama Doni. Pokoknya gue nggak mau bayar utangnya dia." Gadis itu tetap kekeh. Ia berniat meninggalkan Fino, tetapi pria itu lagi-lagi mencegahnya. "Bayar utangnya sekarang juga, May. Lo mau kabur ke mana? Elo nggak bisa ke mana-mana. Anak buah gue udah ngepung lo." Amaya menelan ludah susah payah. Ia lalu membalikkan badan. Di depannya kini berdiri ada tiga orang pria tinggi besar dengan wajah sangar. Gadis ramping itu lagi-lagi menepuk jidat. Ia benar-benar tak punya nyali saat ini. 'Mereka ada tiga. Badan segede-gede kingkong gitu. Sedangkan gue cuma sendiri. Kalau gue ngelawan, yang ada gue bonyok beneran,' batin Amaya sambil terus berpikir bagaimana caranya agar bisa kabur dari situasi rumit ini. "Nurut apa kata gue, May. Jangan berani kabur sebelum lo lunasin utang Doni." Fino masih senantiasa menahan lengan Amaya. Apoteker muda itu tiba-tiba memiliki ide. Ia dengan sigap menggigit tangan Fino yang sedari tadi mencekal lengannya. Tak sampai di situ, Amaya masih sempatnya menendang aset berharga milik Fino. Lelaki itu pun mengerang kesakitan. "Argh ... setan lo, May!" Fino meneriaki Amaya sambil memegangi bawah perutnya yang saat ini sakitnya benar-benar luar biasa. Sementara Amaya berhasil kabur. Disusul dengan anak buah Fino yang dengan sigap mengejarnya. "Hey! Jangan berani kabur, Nona!" teriak salah seorang anak buah Fino yang tengah mengejar-ngejar Amaya. Beruntung Amaya memiliki kemampuan berlari cepat. Jarak dirinya dengan orang-orang suruhan Fino lumayan jauh. Tapi lama-kelamaan Amaya mulai merasa lelah. Perut terasa kram. Kaki pegal. Napas terengah-engah. Gadis itu berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sesekali menoleh ke belakang, mereka nyaris dekat. Amaya berteriak kelimpungan kemudian berlari kembali. "Please ...! Jangan kejar-kejar gue terus! Gue capek!" "Menyerah pada kami, Nona! Maka kami akan berhenti mengejar Nona!" "Ogah banget gue nyerah ke kalian. Sama aja gue pilih mati!" Mereka senantiasa bermain kejar-kejaran di sepanjang trotoar. Sampai Amaya menemukan tempat yang pas untuk bersembunyi. Gadis itu kembali menoleh ke belakang. Rupanya anak buah Fino masih tertinggal jauh. Amaya menemukan sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan. Si empunya mobil diduga adalah seorang pria yang tengah berdiri di luar sambil menerima telepon. Sangat beruntung, saat Amaya mencoba membuka pintu mobil depan, rupanya tidak dikunci. Amaya bergegas masuk, kemudian duduk ketakutan di sebelah jok kemudi. "Iya. Besok pagi, kalau misalkan belum ada kemajuan, pasien bisa dirujuk untuk dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Mohon maaf sekali lagi, Bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Pria tersebut nyatanya adalah Hanafi--kepala rumah sakit tempat Amaya bekerja. Hanafi mematikan sambungan telepon. Ia lalu kembali memasuki mobil. Di sana dirinya mendapati ada seorang gadis cantik yang tengah duduk di sebelahnya. "Ka-kamu?!" Hanafi sepertinya kenal dengan gadis ini. "Selamat malam, Pak Hanafi. Saya Amaya, apoteker yang paling cantik di rumah sakit Bapak." Amaya menyapa dengan marah. Meski ia sedikit sungkan karena tahu-tahu nyelonong masuk saja ke mobil atasannya. "Kamu kenapa bisa masuk ke mobil saya?" "A-anu, Pak. Saya itu lagi dikejar-kejar--" Tok ... Tok ... Tok ... "Nona! Buka pintunya Nona!" Amaya langsung panik saat anak buah Fino sudah berhasil menemukannya dan tengah mengetuk-ngetuk kaca mobil Hanafi. "Woy! Buka pintunya! Jangan berani menyembunyikan tawanan kami!" "I-ini sebenarnya ada apa, Amaya?" Hanafi ikut-ikutan panik. Kaca mobil sebelah kanan dan kiri senantiasa digedor oleh orang-orang berbadan besar. Ada pula yang menghadang di depan mobil. Salah seorang dari mereka lantas memukul kap mobil milik Hanafi dengan balok kayu. "Haduh, Biyung ... itu kenapa mereka ngamuk-ngamuk mobil saya? Mana mobil habis di-service lagi." "Pak, please, tolongin saya. Saya mau disakitin sama mereka, Pak. Temen saya punya utang ke bos mereka, tapi mereka malah nagihnya ke saya. Kalau saya nggak mau bayar, mereka mau bunuh saya, Pak." Amaya senantiasa memohon pada Hanafi. Sambil memasang wajah memelas dibuat-buat, ia sangat berharap pria paruh baya itu mau menolongnya. "Cepat buka pintunya! Atau kami akan membakar mobil ini!" ancam salah satu anak buah Fino. Jelas ini makin membuat Hanafi dan Amaya tambah panik. "Pak, please, Pak. Jalankan aja mobilnya. Tancap gas, Pak!" desak Amaya. Karena ia sudah cukup bingung menghadapi preman-preman suruhan Fino tersebut. "Saya tidak mungkin menjalankan mobil dalam keadaan seperti ini. Di depan ada orang. Masa iya mau saya tabrak?" "Pak, please banget, Pak. Tolongin saya. Saya janji akan melakukan apa saja keinginan Bapak, tapi saya mohon, tolong bantu saya." Amaya kembali memohon sampai-sampai ia tak sadar akan ucapannya. Benarkah Amaya akan melakukan apa pun keinginan Hanafi, jika pria itu mau menolongnya? "Oke, oke. Saya akan mencoba bicara dengan mereka." Hanafi berniat membuka pintu mobil. Namun, Amaya menahannya. "Pak, saya takut Bapak diapa-apain sama mereka. Bapak nggak perlu turun. Kita tancap gas aja, Pak." "No, Amaya. Saya bukan tipikal pria pengecut. Saya juga akan melakukan apa pun demi menolong kamu. Kamu duduk manis di sini. Tunggu saya kembali, oke?" Hanafi bergegas turun dari mobil. Meninggalkan Amaya yang saat ini tengah terbengong. Ucapan Hanafi bagi Amaya seperti ucapan seorang pria muda pada kekasihnya. Gadis itu lantas geleng-geleng kepala. Tampaknya kepala rumah sakit itu tengah mengalami puber kedua. Dari dalam mobil, Amaya mencoba mengamati Hanafi yang detik ini tengah bergabung bersama anak buah Fino. Ia jelas masih was-was. Takut saja kalau Hanafi akan diserang. Amaya meraih ponsel. Menghubungi teman-temannya. Meminta bala bantuan untuk berjaga-jaga kalau Hanafi tiba-tiba diserang. Tetapi tak ada satu pun teman yang mengangkat teleponnya. Gadis itu berdecak kesal. Ada niat ingin menghubungi Bojes. Namun, seketika Amaya urungkan. Ia sudah berjanji tidak akan menghubungi pria itu lagi. Amaya tengah dirundung rasa kalut. Ia senantiasa mengamati keadaan di luar dari dalam mobil. Terlihat Hanafi tengah berbincang-bincang dengan orang suruhan Fino tersebut. Amaya mengerjap-ngerjapkan mata saat melihat Hanafi berjabat tangan dengan salah satu anak buah Fino. "Loh, kok, pake salaman segala?" Belum sampai di situ saja, apoteker muda itu makin heran saat anak buah Fino beranjak pergi, dan meninggalkan Hanafi masuk kembali ke dalam mobil. "Pak, kok, mereka pergi gitu aja? Bapak ngomong apa sama mereka?" tanya Amaya penasaran, setelah Hanafi kembali duduk di sebelahnya. "Tenang saja, Amaya. Semua, aman terkendali. Sekarang, pakai sabuk pengamannya. Saya akan mengantarmu pulang." Hanafi mulai menstater mobilnya. Sedangkan Amaya memilih menurut dan memakai seat belt, daripada harus makin pusing dengan gelagat aneh atasannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD