Bab 1

1434 Words
Jam weker di nakas menunjukkan angka 6:15, gadis blasteran Indonesia-Italia itu telah siap dengan atribut sekolah. Tidak lupa kelengkapan lain yang juga harus dikenakannya saat berada di sekolah juga telah melekat di tubuhnya. Kecuali kacamata tebal itu. Cilia Vian Santoso akan mengenakannya ketika mobil yang mengantarnya tiba di gerbang sekolah. Sebelum keluar kamar, sekali lagi Vian mematut dirinya di depan cermin. Sungguh dia merasa sangat tidak nyaman melihat penampilan cupu gadis yang terpantul di cermin besar itu. Tapi bagaimana lagi, ini sudah pilihannya. Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit ketika sepasang kaki jenjang Vian menapak lantai ruang makan. Celaka, gumam Vian dalam hati. Dia harus bergegas menghabiskan sarapan atau akan terlambat sampai di sekolah. Perjalanan menuju sekolah memakan waktu dua puluh menit, atau bisa setengah jam kalau dia terjebak macet. Yang artinya dia akan terlambat sampai sekolah. Sungguh Vian tidak mau itu. Andre pasti akan mencap jelek dirinya karena keterlambatan yang tidak dikehendaki itu. "Minum susunya pelan-pelan, sayang." Gillian Panari Santoso menegur lembut putrinya yang tampak tergesa. "Nanti tersedak lho." "Vian telat, mommy." Vian kembali meminum s**u yang tersisa. Berdiri dan merapikan seragam begitu selesai, berniat langsung berangkat tanpa menghabiskan sarapan yang bersisa lebih dari separuh. "Sandwich nggak dihabisin?" Kali ini Christian Santoso yang menegur putri satu-satunya. Vian menggeleng manis. "Udah kenyang, Daddy." "Belum habis masa udah kenyang?" Vian mengangguk lagi, meyakinkan mommy yang menatapnya penuh selidik. Vian mengerang dalam hati, mommy terlalu mengetahui semua tentang dirinya. Bahkan dia kelaparan pun mommy pasti tahu. Seperti sekarang. Sebenarnya dia memang lapar, tapi kalau menghabiskan sarapan sudah pasti dia akan terlambat. Dan itu sangat tidak baik baginya. Andre pasti akan marah besar. "Vian nanti makan di kantin aja." Vian tersenyum. Mencium pipi mommy dan daddy bergantian, Vian berlari kecil menuju pintu keluar yang tidak bisa dibilang dekat dari ruang makan. Bergegas masuk ke mobil, bernapas lega begitu mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumah. "Cepetan dikit ya, pak Tino." Pak Tino, supir yang bertugas mengantar jemput Vian ke sekolah mengangguk. Menambah kecepatan mobil seperti yang diminta nona muda-nya. Selama diperjalanan Vian bergerak gelisah. Bayangan wajah tampan Andre yang memerah marah membuatnya menggigil takut. Seharusnya dia sudah terbiasa, Andre selalu memarahinya setiap hari. Pun di depan orangtua mereka, Andre tak pernah menunjukkan sikap ramah padanya. Selalu wajah sedatar triplek dan tatapan sedingin kutub. Vian menggigit bibir, memasang kacamata tebalnya tergesa. Mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah bertaraf internasional yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Setelah mengucapkan terimakasih pada pak Tino, Vian berlari kecil memasuki gerbang yang untungnya masih belum ditutup. "Hai, nerd!" "Selamat pagi, nerd!" "Si nerd sudah datang!" Dan sederet perkataan lain. Vian tak pernah menghiraukan mereka, sudah terbiasa sejak dia memasuki sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Orangtuanya yang memintanya untuk sekolah di sini. Tentu saja karena Andre juga sekolah di sini. Mereka pikir pasti Andre akan menjaganya. Mereka bertunangan kan? Vian mendesah. Orangtuanya dan orangtua Andre hanya tidak tahu saja, Andre begitu membencinya. Jangankan menjaga, malah Andre juga terkadang membullynya. Padahal Andre yang meminta dia berpenampilan seperti sekarang. "Vian!" Seruan nyaring itu membuat Vian mengangkat wajahnya yang sejak memasuki sekolah tadi menunduk. Vian baru sadar kalau dia sudah tiba di kelas. Ternyata lamunannya begitu panjang. Tara Wilson, sahabatnya dan Andre menghampirinya. Tara gadis yang sangat cantik, sampai-sampai Vian pernah mencemburuinya hanya karena Andre yang selalu bersikap manis pada Tara. Sungguh sangat berbeda dengan sikap Andre padanya. Tapi semua dibantah Tara, mereka tidak punya hubungan apa-apa selain sahabat. Dan Tara berhasil meyakinkannya dengan selalu mendukungnya, tapi tidak dengan dia menjadi nerd. "Kirain nggak masuk tadi." Tara menarik Vian untuk segera duduk di bangku mereka. Selalu satu kelas sejak di taman kanak-kanak membuat kedekatan Vian dan Tara melebihi sahabat, mereka seperti kakak-adik. Apalagi mereka sama-sama anak tunggal. "Maaf." Vian membetulkan letak kacamatanya. "Telat bangun tadi." Tara berdecak. "Berapa kali sih gue bilang jangan dandan kaya' gini lagi tapi lu masih aja." "Bukan karena dandan kok." Bantah Vian cepat. "Pasti karena tadi malam lu tidur kelewat malam gara-gara nungguin balasan chat dari Andre kan?" Vian menggigit bibir, kemudian mengangguk lemah. Tara berdiri, berkacak pinggang di depan Vian. "Kan udah gue bilang, sampe Santa datang ngasih dia kado juga dia nggak bakalan balas chat lu. Jangan chat dia lagi, Vi. Stop kasih Andre perhatian!" Vian mengepal kuat, menahan air mata agar tidak tumpah. Mereka di sekolah, kemungkinan Andre akan melihatnya menangis sangat besar. Dia tidak mau itu. Vian tidak mau Andre menilainya lemah. Andre harus tahu kalau dia kuat. Tara menatap prihatin Vian yang tertunduk. Mengutuk Andre untuk kesekian kali karena sudah membuat Vian-nya bersedih. Tara tahu, meskipun selalu tersenyum, Vian sebetulnya menangis dalam hati. Selalu seperti itu setiap Andre mengasarinya. Entah apa yang ada dalam kepala pemuda tidak tahu diuntung itu, Tara tidak tahu. Ingin rasanya dia meledakkan kepala Andre dan membongkar isinya. Mungkin saja kan isi kepalanya sama seperti isi kepala Squidward. Menghembuskan napas lelah, Tara memeluk Vian. Sungguh dia tak pernah bisa melihat sahabatnya bersedih seperti sekarang. Seandainya saja ada yang bisa dia lakukan untuk membantu Vian. *** "Ndre, fans nomer satu lo dateng noh. Samperin gih!" Kata-kata seperti itu selalu mewarnai pagi Firza Andrean Rush. Pemuda tujuh belas tahun itu hanya menatap datar teman-teman prianya yang tak pernah bosan mengoloknya dengan kata-kata yang menurutnya sangat tidak penting itu. Vian sudah tiba atau belum bukan urusannya. Dia sudah terlalu lelah menghadapi gadis tak tahu malu itu. Bukan salahnya bersikap kasar dengan Vian kan? Bukan dia yang menginginkan perjodohan mereka, tapi orangtua mereka. Jadi jangan salahkan dia kalau tak pernah memberi perhatian pada Vian. Dia tidak menyukai gadis itu. Sejak dulu. Vian yang manja dan cengeng terlalu berisik baginya yang sangat menggilai ketenangan. Andre berdecak kesal, teman-temannya masih saja menyebut-nyebut nama Vian. Seolah mereka tidak akan bernapas kalau tidak menyebut nama itu sehari saja. Bukan, mereka bukan penggemar Vian. Mereka adalah sedikit dari kumpulan orang-orang yang suka membully gadis itu. Lalu, apa Andre perduli? Jawabannya, Big No! Andre berdiri, bermaksud untuk meninggalkan kelas yang sungguh seperti mall saja ramainya. Sebelum suara bel masuk menghentikan kakinya untuk melangkah. *** Vian sudah berdiri di depan kelas Andre, menunggu pemuda itu yang belum juga keluar kelas meskipun bel pertanda istirahat sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Pak Pandu, guru Fisika mereka, masih asik menjelaskan materi di depan kelas. Dia akan mengajak Andre ke kantin. Perutnya yang belum sempat sarapan pagi tadi menjerit minta diisi. Menunduk hormat pada guru Fisika mereka yang keluar dari kelas Andre, Vian bergegas memasuki kelas itu. Menghampiri Andre yang tengah sibuk merapikan buku-bukunya. "Andre..." Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya. Andre terlalu hapal dengan suara yang dibencinya itu. "Ayo ke kantin. Aku belum sarapan tadi." Vian tersenyum manis, menampakkan behel yang menempeli gigi-giginya. Andre bergidik melihatnya. Sungguh, behel-behel itu membuatnya ingin muntah. Kenapa sangat berbeda dengan Trisna. Gadis itu juga menggunakan behel, tapi senyumnya tetapi saja manis. Andre bukan seorang playboy, jauh dari kata itu. Dia paling anti bersinggungan dengan makhluk yang bergenre perempuan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu cerewet, manja, alay, lebay, genit. Yang pasti satu kata, berisik! Dan Andre paling tidak suka dengan kata itu. Sikutan Farrel di rusuknya membuat Andre menggeram. Apa lagi yang akan dilakukan iblis satu ini? Andre menoleh ke arah Farrel hanya untuk melihat pemuda itu menaik-turunkan alis menggodanya. Sialan! "Kencan ya, nerd?" Vian mendesah. Dia memiliki nama yang indah, tapi semenjak sekolah di sekolah ini nama indahnya berubah menjadi satu kata yang terdengar sangat mengganggu di telinganya. Apa salahnya dia nerd, toh ini cuma dandanan saja. Orangtuanya saja tak pernah mempermasalahkan, lalu kenapa semua teman-teman sekolahnya selalu meributkan hal ini? Apa salahnya dengan nerd? Mereka juga manusia kan? "I..." Andre menarik Vian keluar kelas sebelum Vian sempat menjawab. Sudah cukup olok-olok teman-teman sekelasnya pagi tadi. Jangan ditambah lagi atau dia akan meledak. "Andre kita mau kemana?" Tanya Vian bingung, jalan ke kantin buka ke arah sini. Ini jalan menuju hutan belakang sekolah. Dugaan Vian tak meleset, Andre memang membawanya ke belakang sekolah. "Ngapain kita ke sini?" Tanya Vian takut-takut. Bagaimanapun belakang sekolah adalah tempat sepi. Ditambah dengan adanya hutan buatan itu, menambah kesan seram bagi siapa saja terutama Vian. "Andre?" Vian mencoba menyentuh lengan Andre tapi segera ditepis pemuda itu. "Berapa kali gue bilang, jangan lu berani coba-coba buat nyentuh gue!" Vian tertunduk. "Ma-maaf." Cicitnya. Andre mendengus kesal. "Lu ngapain ke kelas gue?" Vian mengangkat wajah, tersenyum manis. "Mau ngajak kamu ke kantin." "Lu tau kan apa jawaban gue?" Vian mengangguk ragu. "Kalo udah tau jawabannya kenapa lu masih ajak-ajak gue?" Suara Andre meninggi. "Nggak ada kapok-kapoknya ya lu!" Andre berbalik, meninggalkan Vian yang kembali tertunduk. Tapi baru dua langkah menjauh, pemuda itu kembali memutar tubuh menghadap Vian. "Satu lagi." Vian menengadah. Menatap Andre penuh harap. "Jangan pernah datang lagi ke kelas gue. Paham lu?" Harapan hampa. Sekali lagi Vian mengangguk lemah. Menggigit bibir berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. "Aku sayang kamu, Ndre. Dan aku yakin, suatu saat kamu pasti bakalan balas perasaan aku." Iya, dia yakin. Tapi entah kapan cintanya berbalas, dia tidak tahu. Dia hanya bisa berharap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD