bc

Kupinjam Ragamu

book_age18+
287
FOLLOW
1.2K
READ
murder
revenge
body exchange
self-improved
doctor
tragedy
bxg
city
supernatural
horror
like
intro-logo
Blurb

Jangan lupa klik lambang love ya teman-teman.

************

"Aku akan datang kembali untuk balas dendam. Aku akan menghabisi nyawa kalian, lewat tangan seseorang yang sangat kalian sayangi." Begitulah sumpah Ayudia untuk keluarga Wirawan.

Wanita bernama Ayudia itu adalah sosok hantu perawat yang mengerikan. Arwahnya menjadi gentayangan karena ia ingin menuntut balas atas kematiannya. Ia tidak rela dirinya dibunuh begitu saja di saat Ayudia membutuhkan keadilan serta pengakuan dari seorang pria bernama Wirawan. Pria yang telah tega merampas kebahagiaan serta nyawanya.

Di sisi lain, ada seorang gadis bernama Lara yang tiba-tiba saja mendapat teror dari sosok hantu perempuan mengerikan. Sosok mengerikan itu adalah Ayudia. Hantu perawat tersebut sengaja mengikuti Lara karena ia ingin balas dendam pada Wirawan menggunakan tangan Lara.

Ayudia ingin meminjam raga Lara, kemudian membalaskan dendamnya pada Wirawan dan sekeluarga. Tujuannya adalah karena ia ingin membuat keluarga ini benar-benar hancur dan saling salah paham.

Lara adalah orang yang cukup dekat dengan keluarga Wirawan karena gadis itu merupakan kekasih hati dari anak Wirawan yang bernama Gibran. Bagaimana perasaan Gibran ketika gadis yang paling ia cintai, nyatanya tega menghabisi nyawa kedua orang tuanya? Di sisi lain Gibran sama sekali tidak tahu bahwa raga Lara dipinjam oleh makhluk mengerikan yang tengah menyimpan dendam besar pada keluarganya.

_____________

Main Cast :

-Gibran Ardhafirassya

- Lara Kinanthi

Cover : Orisinal

Pembuat : Ninkzichthea

Sumber gambar : Pinterest

Aplikasi pembuat : Photo Grid Maker

chap-preview
Free preview
Part 1. Makhluk Misterius
"Lo nggak bawa mobil, Ra?" tanya Aida pada Lara. Dua gadis itu tengah menikmati minuman dingin di pojokan cafe. Seperti biasa, setiap malam Lara memiliki pekerjaan freelance yaitu sebagai seorang penyanyi di cafe milik sahabatnya itu. Lara baru saja selesai bernyanyi dan langsung menghampiri Aida seperti biasa. Gadis yang memiliki pekerjaan tetap sebagai guru seni lukis itu sangat menyukai lagu-lagu Jepang. Pun lagu-lagu yang Lara bawakan setiap malam pastinya adalah lagu Jepang, paling sering lagu-lagu milik Yui yang merupakan penyanyi favoritnya. "Mobil gue lagi mogok. Gue pulang dijemput Gibran nanti. Tadi bilang katanya mau ajak gue makan malam dulu bareng orang tuanya gitu," jawab Lara setelah ia menyuruput separuh avocado juice miliknya. "Owh, hubungan lo sama Gibran baik-baik aja kan?" Dahi Lara refleks mengernyit. Pertanyaan Aida kali ini terdengar aneh dan tak biasa. "Lo kenapa tiba-tiba nanya gitu? Ngarepin gue sama Gibran putus ya?" tuduh Lara. "Bukan gitu maksud gue. Masa iya gue doain lo biar putus, gue kan temen lo. Gini loh, gue kemarin nggak sengaja lihat Gibran lagi jalan gitu sama perempuan di pusat perbelanjaan. Gue kan nemenin Mba gue belanja keperluan bayi, gue nggak sengaja lihat Gibran lagi sama cewek di toko perlengkapan bayi." Lara mencoba berpikir positif. Ia tidak mau berburuk sangka pada Gibran kalau hanya sekedar mendengar cerita dari orang lain. Bisa saja, perempuan yang sedang jalan dengan Gibran di toko perlengkapan bayi itu adalah saudaranya. Namun, Lara kembali mengingat-ingat sepertinya Gibran tidak memiliki saudara perempuan yang sedang hamil. "Lo tau nggak ciri-ciri ceweknya kayak apa? Atau, lo sempat ngambil gambar mereka?" Lara berharap Aida memiliki petunjuk yang lebih jelas. "Duh, gue nggak sempat ngambil foto mereka, Ra. Seingat gue, ceweknya itu cantik sih. Langsing, tinggi, putih, cakep deh pokoknya." Api cemburu itu langsung membakar hati Lara. Bisa-bisanya Gibran berani pergi dengan perempuan cantik tanpa sepengetahuannya? "Saran gue, coba lo tanya baik-baik sama Gibran. Gue bukan bermaksud ngomporin, Ra. Tapi gue cuma mencoba belajar dari pengalaman. Dulu gue terlalu percaya sama pacar gue. Tau-tau di belakang, dia malah asik main serong sama perempuan lain. Gue cuma nggak mau, nasib lo sama kayak gue, Ra." Lara mendengarkan nasihat Aida dengan baik. Untuk kali ini ia memang harus bertindak tegas. Lara hanya tidak mau nasibnya nanti akan sama seperti Aida yang ujung-ujungnya dikhianati oleh sang kekasih hanya karena terlalu penuh memberikan kepercayaan pada pacarnya. Lara lalu mengecek ponsel ketika ada bunyi notifikasi pesan masuk. Rupanya ada pesan chat dari Gibran. Lelaki itu memberitahu kalau saat ini posisinya telah ada di depan cafe dan meminta Lara untuk segera datang. "Gue cabut dulu ya. Gibran udah ada di depan," pamit Lara. "Iya. Lo baik-baik ya sama dia. Ngomong pelan-pelan aja," saran Aida. Lara hanya menanggapi dengan senyum tipis. Gadis itu lantas berdiri dan bergegas menemui Gibran yang telah menunggunya di parkiran. *** "Kemarin Aida lihat kamu lagi jalan sama perempuan lain di toko perlengkapan bayi. Jalan sama siapa memang?" Lara langsung menanyakan hal ini pada Gibran. Posisi Gibran saat ini sedang fokus menyetir. Lelaki itu sekilas menatap Lara dengan menampilkan raut wajah bingung. "Owh itu, kemarin aku nemenin Rinka beli keperluan bayi buat calon ponakannya." Gibran akhirnya ingat dengan siapa kemarin ia pergi. "Rinka lagi, Rinka lagi. Sering banget sih kalian jalan bareng? Di rumah sakit udah ketemu, di luar masih aja jalan berdua." "Kamu jangan mikir yang macem-macem deh. Orang cuma nemenin belanja doang, Ra. Kamu juga sering aku temani belanja juga kan?" bela Gibran. "Jadi kamu akan memperlakukan Rinka sama persis seperti kamu memperlakukan aku? Itu sama aja kamu menganggap dia pacar kamu dong? Kalian ada hubungan apa selama ini? Kalian berani main gila di belakang aku?!" Tuduhan Lara makin menjadi. Gibran merasa sudah kehabisan ide untuk meredakan rasa cemburu yang tengah menguasai diri serta hati Lara. "Bisa nggak sih kamu dengerin penjelasan aku dulu? Cuma nemenin teman belanja, apa itu salah? Kalau kamu lagi hange out sama teman-teman cowokmu, aku berusaha untuk pengertian dengan memberimu kebebasan. Asal jangan kelewat batas aja, Ra," jelas Gibran dengan sabarnya. "Tapi aku nggak suka ya lihat kamu dekat-dekat Rinka. Dia itu kelihatan kayak demenan gitu sama kamu." Gibran refleks menertawakan sikap cemburuan kekasihnya itu. "Kamu itu kerjaannya cemburu terus setiap hari. Cemburu sih boleh-boleh aja, Sayang, tapi sewajarnya. Aku sama Rinka nggak ada hubungan apa-apa. Aku menganggap Rinka hanya sebatas teman, nggak lebih. Kalau kamu nggak percaya, tanya aja sama Rasya, gimana hubungan aku sama Rinka pas di rumah sakit." Lara memilih menyandarkan kepalanya. Sebenarnya ia paling malas berdebat seperti ini. Namun, tidak ada satu pun perempuan yang rela melihat kekasihnya jalan dengan perempuan lain, meski hubungan mereka hanya sebatas teman. "Pokoknya besok-besok jangan berani lagi jalan berdua sama Rinka tanpa seizinku ya? Awas, kalau sampai diulangi lagi." Lara memberi peringatan. "Oke, Sayang, oke," sanggup Gibran yang masih sibuk menyetir. Lara memilih menyudahi pertengkaran ini. Ia lalu memfokuskan diri untuk melihat jalanan di luar dari balik kaca mobil. Tiba-tiba saja Lara memekik. Ia kaget setengah mati ketika di kaca mobil bagian luar, terdapat wajah seseorang yang tampak mengerikan dan rusak. "Astaghfirullahal'adzim ...." Lara refleks menutup mata dengan kedua tangan sambil ketakutan. Melihat keanehan pada kekasihnya, Gibran mulai merasa panik. Lelaki itu lalu menepikan mobilnya di pinggiran jalan. "Kamu kenapa? Kamu lihat apa, Ay?" Gibran mematikan mesin kemudi lalu mencoba menenangkan Lara. Membujuk gadis itu agar menurunkan tangan dari kedua matanya. "Kamu kenapa sih? Kamu lihat apa?" Lara merasa lidahnya kelu. Bukannya menjelaskan, gadis itu justru memeluk Gibran sambil menangis. Gibran mencoba menenangkan Lara dengan cara mengusap-usap lembut helaian rambut gadisnya. Ia putuskan untuk melihat kaca mobil di dekat Lara. Kosong, tidak ada apa-apa. Pikir Gibran mungkin Lara baru saja melihat hal yang mengerikan di sana. Namun ternyata ia tidak melihat apa-apa. "Ada apa, Sayang? Kamu lihat apa?" tanya Gibran kembali. Lara perlahan melepaskan pelukannya. Ia lalu mengusap kasar wajahnya. Mau berbalik badan untuk melihat kaca mobil lagi, ia merasa tak punya nyali. Di jalanan ramai dan terang benderang seperti ini bisa-bisanya ada penampakan hantu mengerikan yang mengganggu dirinya. Lara sempat tak percaya dengan apa yang ia lihat tadi. Ada wajah wanita yang mengerikan, rusak, berdarah, tiba-tiba nemplok begitu saja di kaca mobil luar ketika Lara tengah asyik melihat-lihat jalanan. "T-tadi aku lihat anu ... pokoknya serem banget," jelas Lara dengan nada suara gemetar. "Lihat anu? Serem? Ngomong apa sih? Orang nggak ada apa-apa kok." "Hah?" Lara terbengong. Benarkah Gibran tidak melihat apa-apa padahal tadi dirinya sangat jelas melihat adanya hal mengerikan di kaca mobil tersebut? "Iya, Sayang. Nggak ada apa-apa. Coba deh kamu cek sendiri." Meski terasa ragu dan takut, tapi Lara beranikan diri untuk menoleh ke samping kiri. Mengecek apakah wajah mengerikan itu masih nemplok di kaca mobil atau tidak. Gadis itu bernapas lega karena yang dikatakan oleh Gibran benar adanya. Di kaca mobil sudah tidak ada apa-apa lagi. Tapi tetap saja Lara masih merasa takut karena ini kali pertama ia melihat makhluk tak kasat mata. "Syukurlah." Gibran kembali melanjutkan perjalanannya di saat Lara sudah mulai tenang. "Lihat apa kamu tadi? Demit ya?" Mendengar kata 'demit', bulu kuduk Lara langsung meremang. Ia paling malas jika harus membahas masalah perhantuan. Namun, Lara juga merasa aneh karena tiba-tiba saja ia bisa melihat hantu, padahal sebelumnya ia tidak bisa. Sebelumnya ia hanya peka terhadap suara-suara aneh yang diciptakan oleh makhluk tak kasat mata itu ketika 'mereka' sedang berusaha mengganggunya. "Nggak tau kenapa sekarang aku jadi bisa lihat 'mereka'. Salahku apa sih?" Lara merasa kesal dengan hal baru yang baru saja ia alami. "Dijalani ajalah. Aku aja sering lihat penampakan di rumah sakit. Macem-macem lah bentuknya. Ada yang muka rusak, muka rata, tangan doang, kepala terbang, badan bes--" "Stop! Jangan diterusin. Aku itu lagi ketakutan, kamu malah jabarin bentuk-bentuknya. Niat banget ya mau bikin aku pingsan ketakutan?!" Lara ngegas. Ia sangat sebal dengan kebiasaan Gibran yang sering kali menakut-nakutinya. Padahal Gibran sendiri juga seorang yang penakut jika berhadapan dengan makhluk-makhluk tak kasat mata itu. "Iya, iya, maaf. Lagian kan cuma ngasih tau doang." Gibran pun cengengesan karena ia telah berhasil meledek pacarnya. Akhirnya mobil Gibran sampai di pelataran rumah orang tuanya. Lelaki itu pamit untuk turun terlebih dahulu dan bergerak menuju bagasi untuk mengambil barang. "Kamu masuk dulu. Nanti aku nyusul. Aku mau ambil sesuatu di bagasi." Gibran pun turun dan meninggalkan Lara seorang diri di dalam mobil. Lara melepas sabuk pengaman dan berniat akan turun. Namun, pergerakannya sesaat terhenti ketika ada tangan yang tiba-tiba menahan lengannya. Tangan dengan kuku-kuku panjang nan hitam itu tampak mencengkeram kulit lengan Lara dengan kuat. Menjadikan Lara meringis kesakitan serta menahan rasa perih karena kulit lengannya telah tergores. Lara hanya sanggup menangis sambil menahan rasa sakit bercampur perih pada lengannya. Ia sama sekali tidak bisa bergerak. Ingin sekali kabur, ingin sekali berteriak, tapi lagi-lagi ia seperti tak memiliki daya. Tangan dengan kuku tajam itu masih senantiasa mencengkeram lengannya. Lara memilih memejamkan mata, air matanya mulai mengalir, ia hanya sanggup berdoa dalam hati agar bisa segera terbebas dari cengkeraman tangan misterius itu. "Ay, ayo turun. Loh kok kamu nangis?" Gibran membuka pintu mobil Lara dan langsung mendapati gadis itu tengah menangis sambil memejamkan mata. Mendengar suara sang kekasih, otomatis Lara langsung membuka kedua matanya. Tatapannya seketika beralih pada salah satu lengannya yang sejak tadi dicengkeram oleh tangan misterius itu. Saat ini lengannya sudah terbebaskan. Tidak ada lagi yang mencengkeram. Bahkan tidak ada bekas cengkeraman sama sekali di sana. "Kamu kenapa sih? Kamu nangis kenapa?" Lara tidak mengindahkan pertanyaan Gibran. Gadis itu lantas memberanikan diri untuk menoleh ke jok belakang. Di sana ia tidak mendapati siapa-siapa. "Nah, kamu pasti digangguin lagi ya sama 'mereka'? Yang sekarang model bentuknya kayak gimana?" tanya Gibran dengan nada meledek. "Tau akh. Minggir, aku mau keluar!" Lara mendorong Gibran supaya lelaki itu memberi ruang untuknya agar bisa turun dari mobil. "Mobil kamu itu serem. Jangan-jangan ada suster ngesot yang ngintilin kamu sampai ke rumah ya?" tebak Lara. "Ssstt ... jangan berani nyebutin nama 'mereka'. Nanti ada yang ngintilin kamu ke rumah loh," bisik Gibran. Refleks Lara menjadi ketakutan dan nempel-nempel padanya. "Ciye takut, ciye." Gibran paling senang meledek Lara. Baginya, wajah pucat ketakutan kekasihnya itu terlihat sangat lucu di matanya. "Berhenti nakut-nakutin aku. Kamunya sendiri juga penakut!" Lara putuskan untuk meninggalkan Gibran dan mulai bergerak memasuki rumah orang tua pacarnya itu. Sedangkan Gibran masih sempat-sempatnya cengengesan karena ia telah berhasil membuat Lara kesal. Lelaki itu pun bergerak menyusul Lara. Meninggalkan roda empatnya di pelataran rumah, yang saat ini di jok belakang mobil tersebut telah duduk seorang wanita dengan pakaian perawat berlumuran darah. Siapakah wanita tersebut? Tbc ...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
97.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.8K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook