Part 2. Malam Menakutkan

1944 Words
Oh Good-bye Days Ima, kawari hajimeta Mune no oku All Right Kakko yokunai Yasashisa ga soba ni aru kara La la la la la with you ... Dekireba kanashii Omoi nante shitaku nai Demo yattekuru deshou, oh Sono toki egao de Yeah, hello my friends nante sa Leta nara ii noni Onaji uta wo Kuchizusamu toki Soba ni ite I Wish Kakko yokunai Yasashisa ni aeta yokatta yo La la la la good-bye days ... Lagu milik Yui yang berjudul Goodbye Days--Lara nyanyikan dengan merdu di tengah-tengah pengunjung cafe. Seperti biasa, setelah selesai bernyanyi, Lara turun dari panggung kemudian menghampiri Aida yang telah menunggunya di meja paling ujung. "Duduk dulu sini, Ra. Ngegibah dulu kita," ajak Aida. Lara mengulas senyum simpul. Ia lalu duduk di depan Aida, kemudian meminum avocado juice yang sudah ia pesan sebelumnya. "Gimana urusan lo sama Gibran? Udah kelar?" Lagi-lagi Aida bertanya akan hal itu. "Oh, udah kelar semalam. Cewek yang jalan sama Gibran di toko perlengkapan bayi itu temen sesama dokter di rumah sakit," jelas Lara. "Temen tapi sampai segitunya nemenin belanja kebutuhan bayi ya? Jangan-jangan tuh cewek lagi bunting anaknya Gibran kali, Ra?" tebak Aida. "Nggak mungkin lah. Temennya Gibran itu nggak hamil, Da. Dia belanja perlengkapan bayi buat saudaranya." Lara kembali berpikir positif. Itu merasa cukup bosan terus-terusan curiga terhadap pacarnya. "Iya, iya. Untuk kali ini gue percaya sama lo. Sekali lagi, gue bukannya mau ngomporin, tapi gue cuma nggak mau lo bernasib sama seperti gue." Mereka memutuskan untuk membahas hal yang lain ketimbang terus-menerus mencurigai Gibran. "Eh, suara lo makin ke sini makin bening aja. Lo kenapa nggak ikut rekaman aja, sih? Suara bening begitu dianggurin. Kebetulan gue punya temen, buka studio rekaman gitu. Elo bisa tuh nyoba-nyoba jajal suara elo di situ. Barangkali jodoh, Ra." Aida menawarkan sahabatnya itu untuk rekaman, tetapi Lara hanya menanggapi dengan tawa kecil. "Gue ikut rekaman? Yang ada itu studio langsung meledek kalo gue rekaman di situ. Lagian Gibran nggak kasih izin kalau gue macem-macem mau rekaman segala. Takut gue ntar terkenal jadi penyanyi beneran. Banyak cowok di luaran sana yang ngantri, bisa-bisa Gibran ngamuk besar." Gadis berusia dua puluh lima tahun itu menjawab dengan enteng. "Idih. Itu laki lo overprotektif banget jadi cowok. Kalo pacarnya jadi penyanyi terkenal kan seneng juga." Aida hanya geleng-geleng kepala menanggapi watak Gibran yang kadang hobi mengatur Lara. Gadis berambut hitam itu berpamitan menuju toilet cafe. Saat ini ia tengah mencuci muka pada wastafel. Tak sengaja ujung matanya melihat sekelebat bayangan putih melintas di belakangnya. Tubuh gadis dengan celana jeans panjang itu seketika merinding. Tengkuk serasa ditiup-tiup. Hawa di dalam toilet mendadak dingin, mencekam. Saat Lara mendongakkan kepala, dari pantulan cermin terpampang jelas wajah seorang wanita berlumuran darah. Lara ternganga. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Memberanikan diri berbalik badan untuk memastikan seseorang yang tengah berdiri di belakang tubuhnya. Kedua matanya menatap sekeliling. Seisi toilet ia jelajahi, namun tak ada jejak sedikit pun dari wanita yang tadi sempat Lara lihat dari balik cermin. “Di-di mana dia ...?” Gadis itu mengusap-usap d**a, bersikap tenang. Mengatur napas sambil berdoa dalam hati. “Ta-tadi perasaan ada di sini ...?” Lara menggeleng-gelengkan kepala. Menghapus pikiran buruk. Kemudian bergegas meninggalkan toilet sambil berlari kecil. Ia menemui Aida kembali dengan raut wajah berbeda. Pucat dan ketakutan. Berkali-kali gadis itu menengok kanan dan kiri, merinding tak karuan. "Elo kenapa celingak-celinguk begitu? Kayak habis lihat setan aja." Aida menepuk pundak Lara. Sesaat gadis itu tersentak, kaget bukan main. "Ah! E-elu ngagetin gue aja! Ta-tadi gue lihat--" Kalimatnya terputus saat ponselnya tiba-tiba berdering. Lara meraih handphone dari dalam slig bag miliknya. Dahinya mengernyit, seseorang dengan nama Suster Vira melakukan panggilan lewat w******p. "Ha-halo, Sus." "Mba Lara cepat ke rumah sakit, yo. Dokter Gibran karo Dokter Rinka dari tadi duaan terus di ruangane Mas Dokter. Aku ki jadi curiga, Mba. Takutnya terjadi penganuan di antara mereka." Mendengar kabar itu, hati Lara seketika panas. Sedari dulu, Rinka selalu gencar mendekati Gibran. Ia langsung menduga kalau sebenarnya di antara mereka ada sesuatu. "Oke, Sus. Aku ke sana sekarang," sanggup Lara kemudian memutuskan panggilan telepon. "Siapa yang nelpon?" tanya Aida penasaran. Lara tak menjawab. Ia lalu merapikan diri, bergegas meninggalkan cafe tanpa peduli dengan panggilan sahabatnya berulang-ulang. "Woy, Raaa ...! Elo budeg apa lagi mogok ngomong? Gue nanya bener-bener malam dikacangin!" umpat Aida disaksikan oleh beberapa pasang mata di sekelilingnya. *** Mobil sport merah baru saja terparkir di pelataran salah satu rumah sakit yang menjadi tempat Gibran bekerja. Lara melepas sabuk pengaman, kemudian bergegas turun. Lara melangkah cepat melewati koridor rumah sakit menuju ruang kerja Gibran. Yang ada di pikirannya saat ini adalah menemui sang kekasih--melihat langsung kebenaran yang tadi diucapkan oleh Vira. Ia memasuki lift dan menuju lantai dua. Sampai di sana, gadis itu menuju sebuah ruangan khusus untuk ruangan para dokter. Ruangan itu terletak di sepertiga lantai dua. Gadis bertubuh mungil itu berhenti di salah satu pintu jati berwarna cokelat di depannya. Sambil mengatur napas yang tadi sempat memburu, Lara perlahan mulai mendorong handle pintu. "Udah, Rin. Udah. Nggakk usah nangis begitu. Yang namanya orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya." Lara seketika terpaku di tempatnya. Ia melihat Gibran tengah memeluk seorang dokter wanita, seraya mengusap-usap rambut perempuan berjas putih itu. Sang dokter wanita yang Lara duga adalah Rinka, tengah menangis manja di pelukan Gibran, seolah-olah lelaki itu adalah kekasihnya. "Aku nggak mau dijodohin, Ran ... aku sukanya sama orang lain!" Melihat hal itu Lara makin geram. Lantas ia menghampiri Gibran dan Rinka. Menarik paksa si dokter wanita dari pelukan kekasihnya. "Cewek ganjen!" ejeknya sambil mendorong Rinka sampai jatuh ke lantai. "Ay ...?" Gibran yang ketangkap basah oleh pacarnya pun bingung harus berbuat apa. Antara malu, takut, dan kasihan pada Rinka karena diperlakukan kasar oleh Lara. "Pada mikir nggak, sih? Ini rumah sakit! Seenak jidat main peluk-pelukan!" Lara mengomel, kemudian beralih menatap tajam pacarnya. "Ka-kamu salah paham, Ay." Gibran mencoba menjelaskan, tetapi bingung saat mendapati wajah Lara merah padam--kedua matanya pun melotot. "Salah paham apanya? Aku lihat sendiri kamu peluk-peluk dia! Ngakunya kerja, tapi di sini malah pacaran. Nggak tau diri banget!" "Kamu itu salah paham, Ay. Aku sama Rinka nggak ada hubungan apa-apa ya. Kita pelukan tadi ya karena ... refleks aja. Dia nangis, butuh sandaran. Aku nggak sengaja dipeluk. Ya udah, cuma gitu aja." Gibran menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa ia sadari kalau penjelasannya itu justru membuat Lara makin marah. "Buaya banget sih kamu?! Mau-mau banget dipeluk sama perempuan lain. Malah keenakan kamu ya?!" Lara semakin salah paham. Dengan langkah cepat, ia pergi meninggalkan Gibran sambil menangis. "Astaga ..., Ay. Aku berusaha untuk selalu jujur, tapi kamu malah semakin salah paham." Lelaki itu berniat mengejar kekasihnya, tapi Rinka tiba-tiba menahan lengannya. "Jangan dikejar. Biarkan dia tenang dulu. Perempuan kalau lagi marah, kalau dikejar-kejar, yang ada marahnya malah makin menjadi." Rinka memberi nasihat. Dan Gibran rupanya lebih percaya pada ucapan Rinka daripada pergi mengejar Lara. *** Posisi Lara telah sampai di lorong rumah sakit. Ia berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya, jengkel. Sesekali gadis itu menoleh ke belakang, berharap sang kekasih datang mengejar. Namun, batang hidung Gibran tak kunjung terlihat. "Jadi cowok udah tua, tapi nggak peka juga! Cewek ngambek bukannya dikejar malah didiemin! Hih ...! Aw!" Lara tidak sengaja menabrak seorang pria yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Dengan pakaian serba putih layaknya seorang perawat, pria itu terlihat tengah menunduk tanpa bersuara. "Eh. Ma-maaf, Mas. Nggak sengaja," ucap Lara gugup. Tiba-tiba saja aura merinding menyerang kembali. Rasa dingin pada tengkuknya seketika menerjang. Gadis itu tidak sengaja menurunkan pandangan. Ia tercengang bukan main. Kedua matanya terbelalak, saat melihat sang pria tengah menjinjing sepotong kepala di tangan kanan. Kondisi kepala itu penuh akan darah. Dengan keadaan mata melotot seakan ingin keluar dari tempatnya. Lara kembali menatap pria di itu. Tubuh seketika terhuyung. Ia bergerak mundur, saat perawat pria itu bergerak mendekat sembari memiringkan kepalanya yang nyaris putus. Pria itu semakin mendekat. Lara akhirnya terjebak, menabrak dinding. Lutut terasa lemas dan kaku. Ia terduduk lemas dengan isak tangis. Rasa takut akan keselamatannya tak bisa digambarkan dengan apa pun. Entah sejak kapan pria itu membawa senjata tajam. Tahu-tahu sebuah golok mengkilap tergenggam erat di tangan. Lara meringkuk ketakutan. Napasnya terdengar memburu. Ia begitu takut akan hal buruk yang mungkin sebentar lagi akan terjadi. Sang perawat menyeringai lebar. Bibirnya pun robek nyaris ke telinga--meneteskan darah yang baunya sangat menyengat. Pria itu hendak melayangkan golok ke arah gadis di depannya. Lara seketika menjerit. Ia menutup kedua mata sembari berteriak. "Ja-jangan!" Napas tersengal-sengal. Tubuhnya pun bergetar hebat. Lara duduk meringkuk sambil memeluk kaki. Pasrah, jika benda tajam itu memang akan melukainya. Namun, tak ada suara apa pun atau luka sedikit pun setelahnya. Lara perlahan mendongakkan kepala, menatap sekeliling. Yang ia dapati justru wajah seorang pria tengah menatapnya cemas. "Kamu nggak apa-apa, Ay?" Suara pria itu terdengar panik. Lara masih bergeming. Ia hanya menurut saat Gibran memapahnya berdiri. Gibran lalu merogoh saku celana kainnya. Meraih sapu tangan putih. Menyeka peluh di dahi sang kekasih dengan lembut. "Aku antar kamu pulang, ya. Udah malam." Dokter muda itu menatap wajah pucat kekasihnya. Ada guratan ketakutan tersirat di sana. Lara masih bungkam. Antara masih diliputi rasa takut, atau enggan berbicara dengan kekasihnya, ia sendiri pun tak tahu. Gadis itu seperti linglung. Dan akhirnya jatuh di pelukan Gibran karenablemas. "A-Ay ... kamu kenapa? Kamu sakit?" Gibran dirundung rasa khawatir akan kondisi pacarnya. Ia menangkup kedua pipi Lara. Memperhatikan dengan saksama tatapan risau yang tersirat dari kedua mata sang kekasih. "Ran ... a-aku--" "Kamu jadi begini karena terlalu cemburu sama Rinka?" Lara melengos, membuang muka, sebal. Alih-alih ingin mengadu akan ketakutannya, tetapi mendengar Gibran menyebut nama dokter wanita itu, mendadak membuat mood-nya makin buruk. "Nggak usah sebut-sebut nama dia! Kalian nyebelin!" Sekuat tenaga Lara mendorong dokter itu dari hadapannya, ia lalu berlari kecil meninggalkan Gibran sambil menangis. Pria berjas putih itu menatap punggung kekasihnya, hampa. Menyugar rambut frustrasi. Lara nyaris tak terlihat dari pandangan. "Kalau nggak dikejar, besok pagi gue pasti dihukum nggak boleh ketemu." Gibran melangkah memasuki lift menuju lantai dasar demi menyusul Lara. Sampai di lantai dasar, ia bergegas berlari menuju parkiran. Namun, sesampainya di sana, mobil Lara baru saja melaju. "Aish! Orang kalau lagi ngambek, apa-apanya serba gesit ya?!" Gibran sempat mengumpat, kesal, lalu ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya demi mengambil kunci mobil agar bisa mengejar Lara. Saat sampai di depan ruangannya, langkah pria itu seketika terhenti tepat di depan pintu. Ia tak sengaja melihat sekelebat bayangan putih melintas di lorong sebelah. Ada perasaan yang tengah berperang dalam hatinya. Antara ingin segera mengejar Lara, atau menuntaskan rasa penasaran akan bayangan itu. Sampai akhirnya rasa penasaran mengalahkan niatnya untuk menemui Lara. Gibran bergerak menelusuri rasa keingintahuan akan bayangan yang tadi sempat ia lihat. Ia pun berjalan mengendap-endap menuju lorong di sebelah ruangannya. Dari jauh, Gibran mendengar suara gaduh di sana. Selang beberapa menit, suaranya mendadak menghilang. Seketika diganti dengan rintihan serta tangisan seorang wanita. Ia melangkah menyusuri lorong gelap itu dibantu cahaya senter dari ponsel genggamannya. Tangisan si wanita terdengar makin jelas. Langkah Gibran akhirnya terhenti di depan ruang laboratorium. Suara tangisan begitu terdengar pilu dari dalam sana. Tangan kanan pria itu perlahan menekan gagang pintu, berniat membuka pintu ruang lab itu. Namun, tiba-tiba saja Gibran merasakan pukulan hebat menghantam kepalanya. Ia pun oleng, jatuh, terkulai di lantai. "Arghhh ...!" Sang dokter mengerang kesakitan. Pandangan mata mulai buram. Samar-samar, ia melihat seorang wanita berpakaian putih lusuh tengah berdiri di depannya. Wajah wanita itu tidak begitu jelas di penglihatan Gibran. Napas Gibran tiba-tiba tercekat, saat merasakan cekikan hebat pada leher. Cekikan itu ia rasa berasal dari kuku-kuku tajam, yang seketika menggores kulitnya. Gibran mencoba melawan. Menggapai-gapai tangan yang sedari tadi mencekiknya. Namun, sakit mendera tiba-tiba menyerang kepala. Sampai akhirnya kedua mata dokter itu perlahan menutup, gelap, dan sunyi. Tbc ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD