Bab 1B. Panggilan Dini Hari

1026 Words
"Revaaa, bangun! Hari ini lo ke kampus enggak?" Wajah Keysha mungkin sudah semerah tomat di seberang sana. Sedangkan telinga Revalia bagai disengat lebah, teriakan wanita itu seperti tepat di samping telinganya. "Iy–ya, Ba–wel! Ini su–dah ba–ngun," ucapnya malas. Sejenak, mata Revalia mengerjap beberapa kali lalu memandangi ponsel memastikan si penelpon. Kepalanya masih pening karena minuman yang dia tenggak semalam. "Gue juga ogah ngintilin lo mulu!" Revalia lebih memilih diam tak menggubris cercaan Keysha. "Sayangnya gue udah janji sama bokap nyokap lo! Gue jemput lo satu jam—" "Gue nggak di rumah, Key." Revalia terkekeh pelan, pelukan lengan kekar di pinggangnya mengendur. Si empunya berbalik membelakangi. "Lo?!" Revalia memutus sambungan, sebelum sumpah serapah Keysha malah membuatnya semakin malas beranjak. Pemandangan di sampingnya jauh lebih menarik dibandingkan harus memelototi wajah Dosen Perencanaan Proyek. Revalia sungguh menyesal harus memilih mata kuliah pilihan itu. Meski kesadaran Revalia belum sepenuhnya kembali, dia bisa melihat beberapa panggilan tak terjawab dari teman-teman kampus. Yah ... suara ponselnya teredam bantal. Akibat pergumulan semalam? Revalia terkekeh pelan, matanya melirik ke dinding. Penanda waktu menunjuk di angka sembilan. Kurang dari dua jam seharusnya dia sudah ada di kampus. Setengah mengumpat, Revalia melangkah ke kamar mandi. Seharusnya dia tidak terlalu banyak minum tetapi ... kurang sopan harus menolak suguhan. Pemilik Crowded Club tak memberikan sedikitpun celah untuk menghindar. Setelah berhasil menyelesaikan semuanya dengan waktu yang cukup cepat, hampir sejam, Revalia kini terburu-buru untuk pergi ke kampus. Apalagi saat ini adalah hari pertamanya memasuki semester tujuh. Dia tidak boleh telat, kalau tak ingin didepak. Cewek itu tampak rapi meski berbekal rok pendek dan tanktop semalam. Revalia lalu mengambil kemeja yang tersampir di kursi. Lebih serasi dibandingkan jaket hoodie-nya. "Gue pinjem kemeja lo, ya," bisik Revalina pada si pemilik lengan kekar. Tak merasa terganggu, cowok itu semakin menenggelamkan diri di balik selimut. Tidurnya sudah seperti mati saja, pakai toa pun sepertinya tak mampu membangunkannya. Satu sudut bibir Revalia terangkat, membentuk senyuman sinis. Dia bergerak menjauh, menutup pintu pelan setelah meninggalkan kecupan kecil di pipi laki-laki itu. "Maaf, ya, Dim. Keysha lebih menakutkan dari pada lo." "Lo, ikut gue!" Keysha menarik tangan Revalia dengan kasar, menggiringnya ke toilet yang tak jauh dari ruang kuliah. Revalia diam saja. Keysha ini jauh lebih galak dari maminya, menentangnya sama saja dengan petaka. Sejak diberikan hak prerogatif dari maminya, Keysha semakin semena-mena padanya. Keysha menyodorkan paper bag yang isinya pakaian ganti. Lengkap dengan printilannya. Lo itu nggak kapok-kapoknya, ya. Kalau hamil baru rasa lo!" Keysha mendorong Revalia masuk ke kubikel toilet. "Dosa tahu, Rev!" Di balik bilik, mimik wajah Revalia berubah-ubah dari mengernyit, mencebik, mencibir seirama dengan berbagai pesan moral dari Keysha. Duh, kuliah belum mulai rasanya Revalia sudah ingin pulang saja. Sampai Revalia keluar pun, Keysha terus saja mengomel. "Lo nggak mau DO 'kan? Ini sudah semester tujuh, Rev." Keysha menghela napas lelah. Revalia kembali mengernyitkan alis. Dia pikir, barusan Keysha hanya mengomel sambil salto atau bagaimana? Puncak hijabnya nyaris tak berbentuk, butiran bening mengucur di pelipis dan keningnya. "Kuy, kuliah." Revalia menarik tangan Keysha lalu merangkul pundak sahabatnya itu. Dia tak pernah bisa menjauhi Keysha meskipun omelannya sepanjang jalur rel kereta api. Harusnya dia bersyukur, yang mendekatinya tanpa pamrih hanya Keysha. Selebihnya ingin numpang tenar. "Thanks, ya." Jika sudah seperti itu, Keysha sudah tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sejak Ayah Revalia menjadi donatur Yayasan Jurusan membuat banyak orang mengejarnya, menarik simpatinya, mereka pikirnya bisa lulus dengan mudah! Orang-orang itu tak tahu saja, Revalia tidak pernah meminta diistimewakan. Dia tak ingin ada diskriminasi. Revalia berharap bisa menyelesaikan kelas dengan damai, tanpa ada omelan dari Keysha, apa lagi masih ada beberapa mata kuliah lagi hari ini. Di tahun keempat perkuliahan, mata kuliah pilihan sudah menanti. Harus lulus kalau tidak ingin berakhir drop out, dia sudah terlalu banyak ketinggalan. Biasanya untuk yang seperti ini, dosen akan menggabungkan beberapa kelas dan angkatan. Ruangan kuliah umum Jurusan yang tiga kali lebih luas dari ruangan kuliah biasa selalu jadi pilihan. "Kita duduk di sebelah kiri sana, ya," Revalia menunjuk kursi di pojok ruangan setelah memperhatikan sekeliling. Beberapa mahasiswa memilih duduk di undakan paling atas, sebagian lagi lebih suka di sisi kanan dan kiri ruangan berurutan dari dari undakan pertama sampai ketujuh. Telat sedikit saja, ruangan yang bentuknya setengah lingkaran itu nyaris tak menyisakan tempat untuk Revalia dan Keysha. "Wuaaahhh, Rev, kita gabung sama kelas A juga, loh," pekik Keysha menunjukkan wajah semringah tak membuat Revalia menghentikan aktifitas dengan buku-bukunya. Kalau dia masih di Sekolah Dasar, Revalia pasti bakal kena hukuman. Dia tidak membawa buku, diktat dan catatan. Mampus! Dia tidak sempat pulang ke rumah. Revalia memukul jidat, apa sebaiknya dia kabur saja sekarang? Yah, sebelum bertemu Sang Dosen Galak, secepatnya Revalia mengelak. "Rev," panggil Keysha sambil menowel-nowel lengan. Revalia seolah ditarik kembali dari alam pikirannya yang berkecamuk serupa benang kusut alih-alih sibuk mengaduk-aduk isi tas demi mencari pensil yang biasanya dia gunakan untuk menandai bahan bacaan maupun menulis penjelasan singkat dari Dosen. "Rev ...." Keysha kembali menari-narik ujung lengan baju yang Revalia gunakan. Cardigan hitam tanpa kancing. Inilah untungnya memiliki ukuran pakaian yang sama. Saat Revalia tak sempat pulang, Keysha selalu membawa baju untuknya. Meskipun ditambah dengan omelan dari cewek berhijab itu. Keysha sukses merusak mood Revalia. Apa sahabatnya ini tak tahu kalau dia sedang merenungi nasib sial yang sebentar lagi menghampiri? Atau cowok yang sengaja dia tinggalkan di kamar hotel tadi tengah mengeluarkan sumpah serapah untuknya? Duh, Revalia makin pusing mengingatnya. "Apaan sih, Key?" Revalia menoleh ke arah Keysha dan menatapnya dengan pandangan galak. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Keysha menunjuk ke arah pintu, seorang cowok jangkung dengan bahu lebar memasuki ruangan diikuti beberapa cewek yang berjalan bergerombol. Sesekali terdengar suara cekikikan dari mereka seperti ada yang tengah mengelitik pinggangnya. Berbeda dengan Revalia yang muak dengan pemandangan itu, si cowok jangkung tampak sama sekali tidak terganggu dengan suara-suara tawa genit di belakangnya. Memilih abai. Dia tetap melangkah tenang dengan wajah yang ditundukkan menuju kursi, letaknya tepat berada di tiga undakan sejajar di bawah Revalia. Merasa diperhatikan, cowok itu menoleh ke belakang mendongak menatap Revalia. Kelereng hitam gelap milik cowok itu tepat beradu netra cokelat madu milik Revalia. Bola mata serupa obsidian itu mengunci pandangan dan menghipnotisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD