Bab 2. Pertemuan Pertama

1082 Words
Cakep ... sayangnya cupu. Bukan tipe Revalia. Tetapi mengapa dia tak mampu berpaling? Lehernya seakan kaku untuk menoleh. Seperti ... kekurangan pelumas. Tatapannya bagai memiliki sihir yang tak bisa dia tangkal. Semua bukan karena jantungnya memompa atau hatinya bilang cinta. Revalia merasa yakin seperti pernah bertemu cowok itu. Tetapi kapan? Di mana? Kenapa dia tak ingat sama sekali? Apa karena selama ini ada begitu banyak makhluk berjakun yang dekat dengannya sampai tak bisa mengingatnya satu persatu? "Reva, napas dulu." Keysha memiringkan tubuh hingga bahunya menyentuh Reva. Cewek berhijab itu menggoda penuh arti saat si cowok jangkung mengalihkan pandangan ke depan. Berulang kali Keysha menyenggol-nyenggol bahu Revalia karena berhasil memergoki pandangan sahabatnya itu mengunci ke satu titik. Punggung lebar si cowok cupu. "Rev, lo baik-baik saja, 'kan?" Keysha mengelus pelan lengan Revalia dengan punggung tangan. "Duh, ada yang sampai lupa napas gitu lihatnya," sambungnya menjengkelkan. Revalia mendengkus menahan geram, dia ingin mengumpat. Ini tak seperti yang Keysha pikirkan. Yah, dia akui cowok itu cakep, ada pesona yang berbeda di balik wajah tenangnya. Tetapi ini bukan perasaan merah jambu layaknya cewek putih abu-abu, dia sendiri tak tahu apa yang tengah bercokol di kepalanya. "Hei! Lo baik-baik aja, 'kan?" "Ya, ya, gu ... gue baik," Revalia menjawab dengan nada tergagap. "Ecieee ... ada yang pal in lop ini?" Keysha berbisik sambil mengetuk pelan dahi Revalia dengan pensilnya. "Dia itu Imamable banget, the most wanted man, did you know? Namanya Janatra, Ketua Angkatan. Lo sih mainnya jauh mulu, ada yang deket enggak ke-detect." "Apa sih? Enggak!" Revalia berkilah sambil kembali mengaduk-aduk isi tas mencari pensilnya, kegiatan yang sempat tertunda karena seorang cowok cupu ... Janatra. "Aih ... aih, Revalia Eka Putri ternyata bisa juga naksir seseorang." Keysha tetap mengganggunya dengan tuduhan tak masuk akalnya. Revalia bahkan tak memikirkan sampai ke situ. "Siapa juga yang naksir?" "Enggak usah berdalih, Reva Sayang. Di dahi lo itu sangat jelas tertulis." Spontan Revalia mengusap dahinya. Keysha kembali tertawa, sekarang malah menakutkan. Revalia bergidik ngeri dibuatnya. "Suara tawa lo menakutkan, Key." Revalia mendelik tajam menatap cewek berhijab itu. "Plis, brenti ngejodohin gue sama si Cupu itu. He is not my type, not my cup of coffee!" "Yeee ... enak saja menakutkan, wajah lo tuh yang nakutin." Keysha kembali tersenyum menyeringai lebar, seakan menemukan mainan baru dengan menggoda Revalia seperti itu. That's not funny at all, Revalia sungguh terganggu. "Buat lo aja, gue enggak tertarik!" Revalia berbisik tegas. Keduanya tak lagi berdebat kala kedatangan Dosen yang mereka tunggu menginterupsi. Pertama kuberjumpa denganmu telahku landas di hatiku pertama kumelihat wajahmu Tak lepas dari ingatanku tergores di dalam dadaku Astaga, dia mulai aneh. Revalia menggelengkan kepala. Kenapa juga di otaknya kini bersenandung ria? Cinta? Oh, tidak! Ini sama sekali bukan perasaan merah jambu yang selalu dia hindari untuk tumbuh subur di hatinya. "Hei ... kemeja biru!" Janatra menoleh ke kanan dan kiri, tak ada siapa-siapa. Jelas dirinyalah yang dimaksud si pemilik suara itu. Janatra memilih jalan setapak di samping gedung perkuliahan demi menghindari kumpulan cewek yang biasa mencegatnya di jalan utama. Lebih baik menghindar dari pada menabur dosa. Janatra tak pernah berharap memiliki masalah dengan makhluk turunan Hawa, terlebih yang berkaitan dengan urusan hati. Dia hanya ingin segera lulus, bekerja dan membahagiakan orang tua. Biasanya hanya desau angin menerpa pepohonan rindang yang mengiringi langkahnya. Sekarang ... suara teriakan! Janatra belum tuli untuk memastikan itu adalah suara cewek. Memasang muka datar, hanya itu yang Janatra lakukan saat berbalik dan mendapati cewek tengah berjalan terseok menghampirinya. Itu 'kan cewek yang ikut kuliah pilihan kemarin? Apa yang dilakukannya di sini? Ya, Tuhan. Cuaca di penghujung bulan Maret ini tidak terlalu panas, malah sesekali hujan turun di awal hari, seperti tadi pagi. Namun, kenapa cewek ini seperti kepanasan sampai harus mengenakan pakaian minim bahan? Dalaman yang dia gunakan .... Ah, s**t! Janatra kembali merutuki diri sendiri sembari mengusap wajahnya lantas menundukkan pandangan. Dia yakin tampangnya sudah melebihi merahnya kepiting rebus. Apa yang telah dilakukannya? Mengapa pikirannya menjadi seliar ini? Janatra membayangkan cewek itu tanpa ... Sial benar nasibnya hari ini, bertemu satu cewek aneh alih-alih menghindar dari kerumunan se-gendernya. "Hei, gue manggil lo! Harusnya lo jawab bukannya menunduk." Si cewek terlihat kepayahan. Napasnya terasa berada di ujung d**a, tersengal. Tangannya refleks memegang lengan Janatra sambil mengatur napas. Yang dipegang gelagapan setengah mati. Salah tingkah. Nyawanya bagai ditarik malaikat maut. Ingin menyentak, si cewek pirang akan terjatuh, dibiarkan takutnya dosanya kian menumpuk. "Gue Revalia ... lo?" Senyum lebar nan cantik terpampang di wajah dengan mata yang nyaris meredup. Hidung Janatra otomatis mengirim sinyal ke otak. Fix! Cewek di depannya mabuk. Mungkin setengah mabuk karena dia masih mengenali Janatra. Apa yang dilakukan cewek ini di sini? Menunggunya kah? Dalam pikiran Janatra, dia melihat kepalanya mendadak menggembung, apalagi kalau bukan karena bangga dan jumawa. Ckckck, sekejap dia merasa seperti remaja labil yang tengah mencari eksistensi diri. Tidak konsisten. "Gue lupa nama lo." Revalia memutus jarak di antara keduanya, menempel di d**a. Janatra sontak mundur selangkah, mendesah salah tingkah. Namun, cewek itu tak jua melepas cengkramannya. Remasan satu tangan di kemeja Janatra menguat. Satunya lagi merasakan ketegangan di lengan Janatra. Janatra menutup hidung dengan punggung tangan. Debar di dadanya kian memburu. Mengharu biru, rusuh! Membuncah, gelisah! "Lo tuh ... cupu ... bukan tipe gue." Wajah mungil Revalia dia dongakkan menatap wajah si kemeja biru. Sekilas lirikan Janatra melihat kilauan seputih perak di hidung mungilnya. Astaga ... ada anting. Janatra bergerak pelan dalam kelesah, dia jangkung, menunduk pun, Revalia tetap harus mengangkat kepala demi mengindera setiap jengkal wajahnya. Jemari mungil Revalia terulur menyentuh rahang Janatra berakhir dengan mengalung di leher cowok itu. Janatra tersentak kaget, dia kembali mundur. Punggung lebarnya bertemu tembok gedung. Terperangkap oleh si cewek mabuk. Pandangan cewek itu tidak melepaskan tatapan Janatra, seakan meminta izin atas sesuatu hal yang akan dilakukannya. Namun gilanya Janatra, kepalanya berkonfrontasi, malah mengangguk. Melupakan alarm berbahaya yang sebelumnya menjadi respon terakhirnya Menjinjit, bibir Revalia menemuinya perlahan, menggigit kecil di bagian bawah. Kedua tangan mengalung cewek itu menarik kepala Janatra untuk mendekat ke arahnya. Awalnya ritme ciuman yang dia lakukan sangat lembut, seperti takut melukai. Namun perlahan-lahan dia percepat. Gerakannya seakan memaksa Janatra untuk mengikuti alur kegilaannya itu. Janatra kaget bukan kepalang. Dia mual karena aroma alkohol yang merasuk hingga ke otak. Cowok itu mematung, tak membalas. Ciuman pertamanya ... yang seharusnya dia jaga untuk kekasihnya kelak, terenggut. Pening pun menguasai. "Tapi bibir lo ... sek-si." Pagutan terlepas, lumatan terurai, Revalia jatuh, terkulai tertidur di d**a lebar Janatra. Cowok itu tak tahu harus berbuat apa selain merengkuh pinggang Revalia. Menyokongnya agar tak terjatuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD