Bab 3. RevAlkoholik

1095 Words
"Jadi ... Janatra, Reva sudah kamu antar ke klinik?" Laki-laki tua berkacamata itu terkekeh lantas mendengkus. "Dia mabuk lagi, 'kah?" Janatra mengangguk mengiyakan. Ketua Jurusan pun tahu kelakuan cewek itu. Kenapa tak ada sama sekali tindakan dari Jurusan? Kontribusi seperti apa yang telah dilakukan cewek itu sampai Jurusan tetap memberinya celah? Laki-laki itu pikir, masalahnya akan selesai setelah memapah Revalia ke klinik. Yang dia lakukan selanjutnya cukup menjaga jarak aman dengan cewek itu. Cukup sekali dia mencecap manisnya dosa. Bersentuhan dengan seseorang yang tidak sah-secara agama dan negara-untuknya. Namun, dia salah. Ketua Jurusan yang terhormat itu malah memberikan perpanjangan waktu. Dia masih harus berurusan lagi dengan si cewek mabuk dan ... bertindik itu. "Sebagai Ketua Angkatan, kamu pasti tidak ingin ada teman seangkatanmu yang kena DO 'kan?" putusnya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Janatra. Betul sekali, setiap Jurusan pasti tak ingin mahasiswanya Drop Out. Lantas mengapa Janatra yang harus menanggungnya? Ketua Jurusannya tak tahu saja kalau Revalia sudah membuat dunia Janatra jungkir balik dengan meninggalkan sebuah kecupan mesra di bibirnya. Pikirannya terus saja berkecamuk membayangkan si cewek. "Jadi ... saya percayakan DJ Rere padamu, ya? Ayahnya itu donatur tetap Jurusan, fasilitas yang kalian nikmati, sebagian besar dari beliau. Tolong bikin anaknya tobat." Laki-laki bertumbuh tambun itu menyeringai lebar lalu kemudian tertawa terbahak-bahak hingga semua lemak di tubuhnya ikut berguncang-guncang. Janatra mengernyit heran, mencoba mencerna satu demi satu ucapan sang Ketua Jurusan. Donatur? Orang kaya mah mau apa saja bisa. Jadi begitu rupanya, di mana-mana para sultan selalu gampang mendapatkan kemudahan, dalam perkuliahan pun begitu meski otak pas-pasan. Ah, pantas saja perlakuannya istimewa. Seolah sarana dan prasarana memang disiapkan untuknya. Tadi apa katanya? DJ Rere? Revalia itu seorang DJ? Jurusan tahu? Janatra merasa hidupnya tak lagi tenang. Ambyar sudah hari-harinya. Janatra duduk di samping ranjang tempat Revalia berbaring. Cewek itu tertidur dengan damai. Sesekali sudut bibirnya terangkat melukiskan senyuman. Entah mimpi apa yang dialami cewek itu. Janatra tak peduli tetapi matanya seakan tak mau melepaskan pandangan. Nalarnya meminta untuk berpaling, hatinya enggan. Terpaku, terkunci di satu titik. Setelah telinganya bagai mendengar Jaz bernyanyi, lima kata tiba-tiba terlintas di kepala. Bibir penuh Reva sungguh menggoda. Tindik di hidung mungilnya .... Janatra terkinjat, kedua tangan di samping tubuh mengepal. Sesaat dia menyesali pikiran liar yang berkali-kali muncul seharian ini. Hasrat primitif yang selama ini dia bendung kian tak terkendali. Janatra bergidik ngeri. Virus Reva ini menular. Dia harus melakukan sesuatu. Mencari penangkalnya, tetapi apa? Ribut dan gaduh dari arah pintu, mengundang Janatra untuk menghampiri. Terdengar suara cewek tengah berdebat dengan Perawat Klinik. Pemilik suara galak yang ternyata seorang cewek berhijab. Dia ngotot ingin bertemu dengan ... Revalia? Astaga! Cewek mabuk itu punya teman? Berhijab? Sesuatu seterang lampu 100 Watt melintas di otaknya. Ah, ya ... betul sekali! Kenapa bukan cewek ini saja yang mengurus Revalia? Dia tak perlu menghabiskan waktu untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatnya semakin terjatuh dalam kubangan dosa. Ya Tuhan, ini adalah cobaan Janatra. Ujian untuknya. Ternyata benteng yang dia bangun selama ini tak setebal yang dia sangka. Sumpah demi apapun di dunia ini, Janatra bahkan sempat berpikir .... Astaga! Cewek mabuk itu punya teman? Berhijab? Sesuatu seterang lampu 100 Watt melintas di otaknya. Ah, ya ... betul sekali! Kenapa bukan cewek ini saja yang mengurus Revalia? Dia tak perlu menghabiskan waktu untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatnya semakin terjatuh dalam kubangan dosa. Ya Tuhan, ini adalah cobaan Janatra. Ujian untuknya. Ternyata benteng yang dia bangun selama ini tak setebal yang dia sangka. Sumpah demi apapun di dunia ini, Janatra bahkan sempat berpikir .... "Hei, lo! Awas ya, kalau Reva sampai kenapa-napa ... lo harus tanggung jawab!" Janatra terkesiap, telunjuk si cewek berkerudung itu teracung tepat di depan wajahnya. Dia berhijab tetapi suaranya menggelegar, mengalahkan toa masjid. Tidak direndah-rendahkan sebagaimana seharusnya seorang cewek bersuara dan bersikap. Bukan mau Janatra sampai memiliki masalah dan harus berurusan dengan si cewek mabuk. Dia seribu kali lebih baik memilih mendaki Mahameru dibandingkan bertemu dengan makhluk Tuhan paling rumit itu. Janatra mendengkus, "Sorry! Tetapi sepertinya masalah ada di temen lo." Laki-laki itu berpaling ke selasar mencari Malik—sahabat yang membantu membopong Revalia—dan mendapatinya tengah tersenyum mengejek. Laki-laki itu pasti sedang bersuka cita, Malik sampai menyeringai lebar, seakan-akan bahagia melihatnya terperangkap di situasi yang kurang menyenangkan ini. Tahu sahabatnya akan seperti ini, Janatra juga ogah memanggilnya tadi. Cewek mabuk itu kurus, tubuhnya mungil, Janatra bukan tak mampu mengangkatnya sendiri. Namun, demi menghindari fitnah dia memanggil Malik. Meskipun dengan susah payah untuk merogoh ponsel di kantong pantalonnya. Rengkuhan Janatra harus menguat di tubuh Revalia, untungnya cewek itu tertidur, dia tidak perlu mendengar suara gaduh di balik rongga d**a Janatra. Malik, sahabatnya itu sempat mendelik tajam dengan tatapan galak. Namun, dia lanjutkan dengan suara gelak tawa membahana ke udara. Saat mendapati ada cewek di dadanya. Tertidur pula. Malik menganggapnya telah melakukan sesuatu yang tak pantas. Berduaan di tempat sepi, mengundang Iblis menghampiri. "Lo ganas banget! Bikin anak gadis orang sampai pingsan." Halo, cewek ini tertidur! Janatra bahkan belum melakukan apapun. Rasanya ... Janatra ingin mencongkel mulut Malik. Dia tidak tahu apa? Janatra sekuat tenaga meredakan sesuatu yang bergejolak di bawah sana, sensasi panas yang menjalar ke pusat tubuhnya. Sekarang, yang tadi dilakukan Malik terulang lagi pada satu turunan Hawa ini. Apakah cewek berhijab yang tak tahu sopan santun ini tidak tahu betapa mengerikannya harus berurusan dengan Revalia? Janatra sampai ... memikirkan ... dosa. "Lo mungkin lebih paham dia, teman yang baik seharusnya bisa mengajak pada kebaikan. " laki-laki itu beranjak menjauh. "Permisi, gue duluan. Lo urus sendiri lah teman lo itu." Janatra menghampiri Malik lantas keduanya menghilang di balik pintu. Keysha tercenung sesaat. Dia menyadari kalau telah berbuat salah, menuduh tanpa bukti, Keysha lalu membalas ucapan laki-laki itu dengan suara yang teramat pelan. "I–iya, makasih." Keysha merasa kalah ... telak. Anehnya, sehari kemudian, laki-laki itu muncul lagi di depan Keysa. "Lo Keysha, 'kan? Gue nyari Reva." Keysha mengernyitkan alis, "lo mau ngapain lagi?" Janatra menyerahkan lembaran yang berisi nama-nama mahasiswa yang terancam drop out. Mata bulat Keysha melebar, membaca ada nama Revalia yang tertulis di sana. "Gue hanya ingin bantu dia." Keysha memalingkan wajah. Ujung hijabnya meliuk diterpa angin. Awan berarak membawa butiran air hasil oksidasi. Menggantung di langit yang mulai tampak menghitam. "Dia di UKM Anggar," lanjut Keysha tanpa menoleh. "Cepatlah, latihannya hampir selesai. Dia enggak ada rencana ikut kuliah hari ini." Tergesa, Janatra berlari menuju tangga. Berderap cepat meloncati beberapa anak tangga hingga tiba di lantai dasar. Tungkai panjangnya menyusuri koridor belakang gedung Teknik. Gedung UKM terlihat setelah melintasi taman Monstera dan Ketapang Kencana. Namun, Janatra tetap kepayahan di jarak yang dianggapnya dekat itu. "Pemain, beri hormat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD